Puisi-Puisi Fina Lanahdiana

Lengan Patah dan Perasaan yang Merah, Dari Suara ke Diam, dan Tiga Puisi Lainnya

Lengan Patah dan Perasaan yang Merah, Dari Suara ke Diam, dan Tiga Puisi Lainnya
ilustrasi. (Mariam Sunshine/mariamsunshine.com)

 

PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Lengan Patah dan Perasaan yang Merah
 
kau meminjam lengan siapa. entah.
milikku patah. menyisakan kabel-kabel tak tahu diri
cara memaki: siapa yang telah menyeberang tubuhku
hingga jembatannya menyerang diriku sendiri?
 
banyak hal yang tiba-tiba tertukar, atau bertengkar
asing dan asin, mana yang lebih tak penting?
pesawat telepon ambruk
tak seorang pun mengabarkan tentang kau
kehilangan yang memilih bertarung dengan kaki
cedera dipukul ingin yang terus menerus
dari kalimat menjadi surat panjang
dengan alur yang saling melawan cerita
 
tak sama. rindu telah jadi musuh yang pecah
keping-kepingnya melukai diriku sendiri
mungkinkah kau juga?
 
angin membawa seluruh yang kupunya
ada kau di dalamnya
dan aku, dengan lengan yang telah patah
mesti berjalan memalingkan arah.
 
2016
 
 
 
Dari Suara ke Diam
 
suara melempar diam ke matamu
aku sungguh tidak tahu
cara menunggu
selalu asing setiap hari
meskipun di sini tak terlalu sendiri atau sepi
persoalan bertahan mempermainkan logika
 
kata-kata selalu tak sempurna
tanda baca yang tak tepat waktu
menjadikan kita tak mesti tahu
arti atau anti
semacam alergi panas matahari
 
nanti kau akan tahu tentang
sakit yang tak mesti merasakan sakit
lalu memutuskan minum kopi
yang tak menyelamatkan apa-apa
hanya pahit yang sedikit berjarak
puluhan banyaknya dengan manis
atau asin?
dan segalanya menjadi kembali
ke titik sebelum ada, sebelum bukan tiada.
 
2016
 
 
 
Angkasa Pikiran dan Perkiraan Cuaca
 
ibu memasangkan bibir ke keningku
demam sedang bersenang-senang
seperti masa kecil yang tumbuh
di sepanjang helai-helai rambutku yang merah
terbakar warna matahari
sebab gemar bermain bersama layang-layang
 
hijau rumput telah menjelma sebuah lintasan luas
landasan yang manamai diri sebuah permulaan
terbang. sebuah kata kerja yang bergerak
memindahkan benda-benda mati
seolah-olah bernyawa. seperti puisi.
 
di bawah, aku berlari menertawakan pagi
berwarna biru cerah dan tanpa awan
hari ini akan turun hujan, katanya.
seorang perempuan tersenyum di televisi
ia demikian lihai menaklukkan peta-peta cuaca
 
aku tidak percaya. orang-orang gemar menyihir diri
jadi peramal. gagal.
tak pernah tepat, meski telah belajar meyakinkan diri sendiri
sebab masa depan bukan tentang hari ini, katanya.
 
aku memasukkan kalimatnya ke dalam saku
di bajumu yang persegi
mengirimnya ke sebuah mesin penghancur kotoran
sampah sisa yang tak pernah ditakdirkan
jadi pelampung: pahlawan bagi tiap-tiap yang tenggelam.
 
2016
 
 
 
Titik Hubung
 
aku bertanya: apakah perasaan dialiri
kabel-kabel berwarna?
berisi kota-kota kecil yang hidup dari benda-benda mikro
ajaib, dihidupi pabrik-pabrik
dan warna
 
kadang-kadang semut berandai-andai jadi kotak pensil
atau cat air yang tabah dan selalu hidup
lebih lama dari usia
 
kau menjawab: perasaan diciptakan
dari magnet dengan banyak kutub
tidak hanya utara dan selatan
barangkali ada kutub atas dan bawah
seperti ketinggian. puncak?
setiap yang mendaki hanya merasakan luka
dan bukan mati saat jatuh. cinta?
ia seperti apa?
 
mata benda yang kerap insomnia
disusupi lupa meski luka
terlalu sering menggali ruang
hampa.
 
2016
 
 
 
 
Menyaksikan Pertunjukan Membaca Surat
 
aku berubah menjadi bayangan
di hadapan jendela yang menyembunyikan tawa
menyaksikan kau dengan kecemasan yang telah mencapai
tangga-tangga paling pedih
paling perih bagai luka paling bahagia
 
kau telah menyiapkan dari luar tubuhmu
kota-kota yang berisik dan hanya mencatat
rasa sakit, kesedihan panjang yang belajar membaca
huruf-huruf buta tak berwarna
lalu mencatat tanda-tanda untuk mendirikan tenda
 
sebuah merah menawarkan kekosongan lain
yang bisa dimasuki apa saja
di tubuhmu, menjelma sungai-sungai tak bernama
asing bagi setiap ingatan yang berloncatan
seriang anak-anak di hadapan rembulan
 
kuning mengecat rambutmu dengan gelungan yang manja
serupa bayi lelap di pelukan ibunya
kau masih dengan gerakan yang sama
membaca seluruh, menandai aku dengan udara yang terbuka.
 
2016 
(Dari lukisan  Johannes Vermeer, Girls Reading a Letter at an Open Window (1663)).
 
 
Fina Lanahdiana, partikel pemimpi yang menyukai biru dan minum kopi. Mengelola rumah kata filadina.blogspot.com dan medium.com/@filadina secara berkala dan sukarela. Beberapa tulisan termuat dalam antologi bersama, media cetak, dan online. Bisa dihubungi melaui twitter/ instagram: @filadina.


Berita Lainnya

Index
Galeri