Puisi-Puisi Lastri Sirait

Suara Pagi, Mari tetap terbang hari ini!, Meong Membumi

Suara Pagi, Mari tetap terbang hari ini!, Meong Membumi
ilustrasi. (Leonid Afremov/afremov.com)

 

PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Suara Pagi
 
Aku suka suara pagi
Sirene angin seorang kekasih sehidup semati
Kertak ranjang yang belasan tahun kutiduri
Kusen pintu terbuka yang lirih menghantui
mengiringi kunjungan ke dapur sebelah kiri
Renyah bukaan bungkus kopi 
dan gelak air panas yang menyirami 
Denting sendok menabrak dinding cangkir mini
Langkah kaki menuju teras rumah sederhana kami
Kernyit bangku rotan yang kini kududuki
Seruput demi seruput kafeinpun melalui
Air liur beraroma dan dengan kecapan lidah tanda mengakhiri
Inilah awal hidupku setiap hari
Apa kau sudah mulai merasa iri?!
 
Jakarta, 2 Juni 2016
 
 
 
Mari tetap terbang hari ini!
 
Awan terlalu dekat dan warnanya perlahan pekat
Angin harus dicari, mataharipun betah sembunyi
Terlihat satu burung berani pergi
Tak takut hujan yang kapan saja siap menghampiri
 “Kalau harus basah maka itu bukan untuk yang pertama kali”,
katanya dalam hati
Temannyapun akhirnya mengekori
Ada yang di ketinggian menemani
Ada yang lebih memilih loncat dari atap atau sekedar hinggap di kabel listrik yang tinggi
Apa saja kecuali menginjak bumi
Malu kepada sayap dan eyang rajawali
Sia-sia menjadi burung kalau mendung sedikit lantas sakit hati
Itu pelajaran yang kudapat dari kebanggaan mengamati
Karena akulah burung yang kuceritakan sedari tadi
Cukup bicaraku sampai di sini
Mari terbang lagi sampai kesudahan hari!
 
Jakarta, 2 Juni 2016
 
 
 
Meong Membumi
 
Aku seekor kucing pirang mandiri
Bertengger di atap coklat jajaran rumah sebelah kiri
Bagaimana aku bisa sampai di tempat ini?
Apa yang ada dipikiranku sampai mau naik setinggi ini?
Atap coklat ini mungkin terlihat indah dari bawah tadi
Tapi atap ini sesungguhnya terlalu tinggi  
Bahkan untuk binatang dengan sembilan nyawa seperti diriku ini
Aku tidak mau berlama-lama di sini
Baiknya aku mencoba perlahan menuruni
Meski curamnya membuat nyaliku ngeri
Aku berhenti turun hanya dua kali
Itupun karena antena tegar yang menarik hati
Dan daun lebar yang kupikir wangi
Akhirnya tanah mendatar menjadi pijakanku lagi
Janji tidak akan memanjat, setidaknya tidak setinggi tadi
 
Jakarta, 3 Juni 2016
 
 
Lastri Sirait. Penulis kelahiran Jakarta ini penyuka kopi. Selain menulis puisi juga membuat tulisan inspirasi yang bisa dinikmati dengan mengunjungi siraitlastri.blogspot.co.id. Kritik dan saran bisa disampaikan melalui email sirait.lastri@gmail.com. 
 


Berita Lainnya

Index
Galeri