Puisi-puisi Ratih Dwi Pratiwi

Teruntuk Hati, Merdeka, Dunia Kertas, Harapan, Nada

Teruntuk Hati, Merdeka, Dunia Kertas, Harapan, Nada
ilustrasi. (SadSacStudio/pinterest.com)

 

PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Teruntuk Hati
 
Terima kasih Tuhan
Hati ini Engkau ciptakan sedemikian hebat
Dia mampu menahan terpaan gelombang tatapan sinis,
Setiap ujaran yang menusuk 
Dan segala bentuk hal yang cukup menyakitkan 
Rasa sakit dan perih itu silih berganti datang 
Tidak mengenal waktu dan keadaan apapun
Tapi hati ini tetap tegar berdiri ditempatnya
Tak tergoyahkan meskipun di serang dari segala penjuru
Hati ini tetap mampu menemaniku 
Terima kasih masih menjadi bagian terkuat dalam tubuhku
Terima kasih sang Khalik
 
 
 
Merdeka 
 
Jika merdeka diartikan bebas dari jaman penjajahan
Maka entah bagaimana bisa muncul penjajah dari negeri sendiri
Mereka mampu dan tega menjajah sesama warga Indonesia
Mereka tega menebar fitnah dan caci untuk sesama warga Indonesia
Melalui ujung jari mereka, mampu menumbangkan seseorang, 
organisasi bahkan mungkin pemangku jabatan di negeri ini
apakah lembaga pendidikan tidak mampu mendidik mereka
atau memang demokrasi kita ini sudah lupa dengan tata kramanya 
sudah menjauhkan kita dari adat ketimuran yang dibanggakan 
 
 
 
Dunia Kertas
 
Setiap kenangan melukiskan warnanya sendiri
Kali ini teringat denganmu teman
Seseorang yang sungguh luar biasa menerima segala keajaibanku
Mendengar setiap mimpi yang mungkin terlalu tinggi untuk kuraih
Menertawakan setiap kemarahan yang selalu keluar dari ucapanku
 
Tidak kah engkau merasa sakit hati dan bahkan muak denganku
Dengan segala kejadian yang pernah kita lewati 
Engkau masih tetap bangga dengan posisi ini teman
 
Meski kini kita jarang bertemu
Dan keadaan yang tidak lagi sama
Hati ini masih tetap utuh untuk terus bersamamu teman.
 
 
 
Harapan
 
Harapan itu seperti sebuah napas
Harapan yang menjadi semangat ketika engkau membuka mata 
Harapan yang engkau bangun di atas cibiran orang
Harapan yang hingga kini belum menampakkan wujudnya
Harapan yang masih engkau harapkan
Tidakkah terasa asam ketika dia yang engkau sayang member label “pendusta”
Bukankah terasa sakit dan malu saat “ditelanjangi” dihadapan mereka
Harapan yang memberi candu dan berubah menjadi delusi
Apakah harapan itu masih mampu menampakkan senyumnya
Atau memang ini jalan cerita dari harapan itu sendiri
 
 
 
Nada
 
Bisikan lembut angin menerpa ujung hijau dedaunan beringin
Nada lembut dari gesekan ranting dan daun pohon pinus
Lambaian dari sulur pohon kelapa seperti mengajak mampir sebentar
Semua nada yang diciptakan alam begitu syahdu 
Langit yang biru
Tumbuhan berwarna hijau
Desiran angin yang menggerakan setiap helai daun itu
Menandakan ketenangan alam yang selalu mendampingi hari kita
Kita manusia yang menikmati 
Kita manusia yang merawat
Kita manusia yang merusak
Adilkah ini?
 
 
Ratih Dwi Pratiwi nama yang sejak lahir diberikan oleh ayah saya dan tentu saja di setujui oleh ibu. Mereka menyukai memanggil saya dengan nama yang mereka rasa pas ditelinga mereka sendiri. Ibu sering memanggil saya “mbak yu” dan ayah seperti kebanyakan ayah lainnya hanya memanggil nama kecil saya “wi”. Saya lahir dan besar di kota Makassar meskipun ayah dan ibu saya jawa tulen. Saya mempunyai dua orang saudara laki-laki. Anak kedua dari tiga bersaudara. Universitas Negeri Makassar adalah tempat saya menerima gelar sarjana sastra dan pendidikan bahasa Inggris. 
 
 


Berita Lainnya

Index
Galeri