PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
Sajaratun Muaratakus
Oi Nafiri!
Iringi perang pecah di darat, Sriwijaya akar kian menjalar, tumbang berderai hingga ke Semenanjung Melayu, di penobatan raja-raja, Prameswara kukuh kau alunkan, kapal berlayar Hang Tuah pun berhaluan
Oi Nafiri!
Hatiku lirih kau alunkan, tangis memekak di ujung senja, Portugis sadis mengiris manis, hentikan Tuan meniupkannya. Alfonso, hendak apa Tuan bertandang, tak sebulir peluru hendak bermukim, Bintan berdiri disanding pulau, tak akan gentar jiwa berjuang, Sultan Mahmud Syah menghitung jari, telah ditanam di Pekantua
Oi Nafiri!
Tak bosankah engkau dengan alunan, angkat jerangan Melayu dan Aceh, pesta-pesta telah dipersiapkan, tak akan gentar Melayu berperang, Portugis bersimpuh di kaki doa, Belanda berpesta engkau mengiba, Olang menari di bawah bulan, ketika bulan berlumur awan
Tuanku Tambusai!
Tiup Nafiri dil tarian Inai, malam-malam pasti kau kelam, Seremban tempat untuk sembunyi, suara jangkrik semakin kental, kegelapan sunyi di tapak kaki, meredam dan padamlah sudah, namun nyala sepetikpun jadi
Kotapraja Pekanbaru, darah menetes sungai airmata, Tanjung Pinang bermula kita panjikan, Muaratakus tegak di kakinya.
Padang, 28 Agustus 2016
Hujan yang Pernah Kau Dengar Rintiknya
Sejak aku bertemu awan,
di sanalah aku mulai mengenal hujan,
dari rinai yang berderai,
hingga deras berjatuhan
Aku tak sadar makin terbawa di ketinggian,
yang kau arak pada langit luas tak berbatas,
ulah angin sepoi melenakan,
di kepolosan warna tak bercela
Awanpun berarak membentur gunung karang,
putih warna menjadi kelam, lahirkan petir menyala-nyala,
suara-suara membunuh buta, dan hujan berjatuhan
Akhirnya kini kusadari, beningnya bertinagan,
samudera berbatas benua, langit hingga semesta,
hujanku di sini
Isyraf hatiku terluka,
tak seharusnya lebihkan rasa,
maaf yang kau campakkan,
berlari tinggalkan hujan,
rintiknya kau dengarkan,
tak mampu menggugah jiwa
Narasi terlisan kau ciptakan,
kebenaran dari puingnya,
hendak hancurkan untuk balasan,
karena yang mengalir bukan darahmu
Benarkah cinta itu ada,
benarkah teman seperti cinta, benarkah, benarkah?
Benar, yang jauh itu adalah masa lalu, kita sedekat jengkal kini telah sejauh bintang, hujan temani aku mengenang bening yang terlupakan.
Padang, 28 Agustus 2016
Kuda Pelejang Bukit
Manusia binasa, terlahir dari ketiadaan dan kemelaratan norma dan agama, berangkat mengusung mimpi, menyinggahi hutan, mengenal singa dan ular-ular, menjelajahi tebing, lembah dan meniti arus sungai
Matanya tajam, bersinar di kegelapan hutan, bertaring basah, runcing dalam mulut yang menganga, siap untuk menerkam siapa saja, memupuk nafsu, di lambung yang tak kunjung merasakan kenyang
Perjalanan terus menapaki lereng, penuh bebatuan dan duri, ketika lelah dan kepayahan, kuda mana saja jadi tunggangan
Oi hamparan daratan, bendera kejayaan aku kibarkan, kusulam dari benang-benang, berwarna darah dan kegelapan
Kekosongan menepuk dada, menutup kemungkinan dan kesempatan, demi kerakusan yang tak mengenal kenyang, membunuh mimpi dengan kecurangan, dan aku gemetar dengan kepalan.
Padang, 29 Agustus 2016
Muhammad Fadhli, penulis puisi yang berasal dari Padang, Sumatera Barat. Lahir di kota Padang pada tanggal 13 Oktober 1976. Selama menekuni dunia kepenyairan, ia telah menerbitkan tiga buku kumpulan puisi; Suluh Nurani (2013), Sejauh Bintang (2015) dan Bulan Menetas (2016). Ia bergabung dengan komunitas kepenulisan Forum Aktif Menulis (FAM) Indonesia Wilayah Sumatera Barat. Selain menulis puisi ia juga menulis cerita pendek. Cerpennya yang berjudul ‘Siti Rasani’ dimuat pada edisi perdana Majalah Glosaria (Mei 2016), adalah majalah yang diterbitkan oleh Badan Kepustakaan dan Kearsipan Sumatera Barat.