Puisi-puisi Rosi Farida Rosdian

Sayembara Pagi, Gentra Parahyangan, Januari Mengadu, dan Puisi Lainnya

Sayembara Pagi, Gentra Parahyangan, Januari Mengadu, dan Puisi Lainnya
ilustrasi. (Daniel Wall/absolutearts.com)

 

PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Sayembara Pagi
 
1/
Jagat warna bicara
Biar kutulis dalam puisi
Bagaimana kawanan burung memuja
Rahasia di waktu pagi
 
Tasbih gunung adalah penghormatan,
Dzikir laut adalah penyerahan,
Siluet subuh terbata di balik corong
Lanskap kehidupan menyongsong
 
Nama-Mu membasah di celah dedaun pagi
Dalam gema dan takzim
Pak tua merapal doa di surau kami
Gambaran terpuji juga alim
 
Ranting kering tersampir rapuh
Ihwal hati yang gundah; gaduh
Si kerdil sesat di alam kembara
Memamah luka tiada kira
 
Dalam hati, si kerdil bertanya: 
masihkah subuh jadi milikku?
Alih-laih lama tak bertandang
Jatuhan gerimis mengundang sesak pilu
Keangkuhan musabab penghalang
2/
Sinar matari menari di daun kelapa
Menyepuh tanah bermacam rupa warna
Berdebum ombak dalam kilat cahaya
Histeria pagi disambut para pemuja
 
Pagi dirayakan laiknya pesta atau 
kedukaan bagi segelintir yang tak percaya
Cangkir-cangkir mengepulkan aroma 
juga cerita tak sama
Para pemuja menghidu bau kopi dan teh melati
Kehangatan menyertai jalinan interaksi
 
Perempuan pilihan berlomba aroma gula dan bubuk merica
Berharap surga di balik butir-butir keikhlasan
Asap mengepul pertanda matang sempurna
Anak beranak berbagi suap di hangat perapian
 
Pak tua tak mau kalah
Dilemparnya sauh ke laut jauh
Dengan segenap harap ia menatap
Pagi menggertap berselimutkan asap
 
Lantas siapa jadi pemenang?
Tentang mereka yang datang 
pun menghilang
Tentang mereka yang melukis pagi di pesisiran
Adakah kau tahu jawabnya?
 
Anyer, 2016
 
 
 
Gentra Parahyangan
 
Haleuang, 
Gentra parahyangan
Kidung cinta mengawang-awang
Sejoli dipeluk ibun kasmaran
 
Dendang, 
Engkau undang aku datang
Bersama nyanyikan tembang
Di bawah taburan bintang
 
Kepundan rasa likat bertaut
Di pucuk tangkubanperahu
Getar rindu saling menyahut 
Pada jiwa yang malu mau
 
Dendang dan haleuang
Di bumi parahyangan
Mulut gunung menebar kenang
Cinta sangkuriang di batas angan
 
Langit redup berangsur terang
Gemintang tunjukkan jalan pulang
Alam menghadang nafsu meradang
Kidung cinta yang terhalang
 
Haleaung ...
Dendang ...
Menyambut datang
Melepas berpulang
 
Bandung, 2016
 
 
 
Januari Mengadu
 
Aku meraba lingkaran pelita
Asa bermandikan euforia
Janji baru terpahat bisu
Pada kisi-kisi jendela matamu
 
Di sini, di jantung kota
Kautanggalkan duka dalam gempita
Sebuah buku kaulempar pergi
Angin menari membawa lari
 
Akulah Januari
Awal dari memulai
Padaku, engkau mengadu
Bawa residu berbulan lalu
 
Kutatap kota dalam balutan doa
Penantian itu legam terkubur jelaga
Wajahmu pucat tidak terjaga
Kupandang sayang tiada daya
 
Maaf, bukan kulelah
Desember berlalu tiada arah
Janji dan mimpi urung terjamah
Sebab,
Kisahmu tak kunjung punah
 
Mimpi hanyalah bilangan
Mengenai tanggal dan waktu
Masaku habis oleh hitungan
Sebab, 
Februari mengantri di daun pintu
 
Bandung, 2016
 
 
 
Sketsa Wajah Kekasih
 
Sketsa wajah kekasih,
Menggantung di dua cekung mata
Tersenyum lepas menatap culas dinding-dinding kepalsuan
Tak berperasaan.
 
Di bening mata itu terpendam ribuan misteri 
yang ke dalamnya aku menyelam, kemudian tenggelam.
Di teduh wajah itu, 
madu dan racun tinggal setubuh-sebadan. 
Bersisian.
Di sisi mana aku harus berjalan untuk sampai ke labuhan?
 
Helai rambutmu berkisah memoar pajang
Hitam-kelam kehidupan
Senja berbaris pada ranum pipi 
Segaris tipis bibir yang rekah
 
Aduhai ...
Suaramu adalah dengung
Rasamu jauh di relung
Sedihku menyimpan kidung
Kisahkasih tak berujung
 
Ah, kekasih ...
Ingin kurobek bayangan yang memantul di dinding
Biar puas dan terbalaskan
Tapi apa daya? Ia serupa hantu gentayangan. 
Datang dan datang lagi
 
Sketsa wajah kekasih,
Potret bisu menyembul di saku celana.
Meronta manja ia hendak keluar. 
Lupa laku pernah dibuat. 
Tak tahu malu!
 
Bandung, 2016
 
 
 
Apa Yang Kulihat Secangkir Kopi
 
Apa yang kulihat di secangkir kopi,
Likat penuh hasrat. Beraroma memikat. Nikmat diminum selagi hangat. Seperti adanya dirimu
 
Apa yang kulihat di secangkir kopi,
Bubungan asap yang lamat-lamat menipis seperti potongan rindu yang mulai menjauh
 
Apa yang kulihat di secangkir kopi,
Kesepian yang menyayat-sayat. Jiwa merana rapatkan tangan mencari kehangatan
 
Apa yang kulihat di secangkir kopi,
Adalah pengasingan, khidmat di hening malam
 
Apa yang kulihat di secangkir kopi,
Sepekat perjalanan yang mengharu-biru saat potongan rindu kaukemas ke dalam ransel baju
 
Apa yang kulihat di secangkir kopi,
Kelam. Seperti bisikan yang tak terbacakan
 
Apa yang kulihat di secangkir kopi,
Wajah-wajah durja menari di kepala. Pahit. Seperti sesepah yang enggan kutelan di sisa penghabisan
 
Apa yang kulihat di secangkir kopi,
Canda-tawa melebur bersama air mata. Kata-kata menjelma ke dalam rasa
 
Apa yang kulihat di secangkir kopi,
Kejujuran bertutur di tiap sendoknya
Secangkir kopi tak pernah ingkar
Dirasa pahit saat kaujaga keasliannya
Dirasa manis saat kaububuhi gula dan (atau) susu ke dalamnya 
Dirasa hambar jika terlalu lama didiamkan
Pahit dikandung badannya. Ia tetap saja kopi yang punya jati diri
 
Bekasi, 2016
 
 
Rosi Farida Rosdian terlahir di Ciamis, 6 Oktober 1984. Saat ini sedang menekuni bidang tulis menulis. Beberapa karyanya pernah dimuat dalam antologi puisi yang berjudul Tubuh Bencana dan Rendjana.
 


Berita Lainnya

Index
Galeri