Puisi-puisi Budianto Sutrisno

Menepis Kelabu si Kerah Biru, Empedu Cinta, Separuh Surga

Menepis Kelabu si Kerah Biru, Empedu Cinta, Separuh Surga
Ilustrasi. (vkalart/vkalart.com)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Menepis Kelabu si Kerah Biru
 
Masih melekat dalam benakku wajah mereka satu per satu
semuanya kotor, dekil, kusam, dan kuyup dengan kucuran keringat
tapi sorot matanya menyalakan bara api
pertanda mereka menyimpan semangat dan harapan besar
gumpal otot dan urat yang merambat di sekujur tubuh jadi saksi kesungguhan hati
setiap tetes keringatnya adalah mutiara bagi keluarganya
setiap debu yang melekat adalah gambaran keras kehidupannya
setiap derap langkahnya adalah upaya menyambung hidup
yang kendalinya berada di genggaman tangan 
si tuan besar pemilik sawah ribuan hektar atau sang empunya pabrik raksasa
kerja maksimal dengan upah minimal adalah dunia kelabu si kerah biru
buruh yang diperah sampai sumsum tulang kerontang
 
Busana indah yang dihasilkannya tak pernah membalut tubuh mereka
sepatu mentereng hasil karyanya tak pernah dikenakannya
sawah ladang yang ditanami tak pernah dimiliki
rumah megah mereka bangun, tapi tak pernah jadi penghuni
mobil mewah yang mereka rakit, hanya dikendarainya dalam mimpi
nasib mereka acap kali tergusur, tersungkur, dan terlupakan
mereka berjasa tapi hanya dipandang sebelah mata
mereka ada tetapi seperti tiada
 
Tingkat pendidikan rendah membuat mereka tak berpikir panjang
si lidah ular menggeliat, semburkan racun hasutan ikut-ikutan
demo liar marak, menebar benih tuntutan tak masuk akal
mereka ditekan, diperalat habis-habisan
oleh sang pemimpin yang berlagak jadi penegak keadilan
wajah setan jahanam berbedak demokrasi menyeringai, keluarkan taring tajam
menyikat, membabat, dan menjerat kaum sendiri
wakil kerah biru menjelma jadi penindas baru
jurang pemisah antara pemodal dan buruh kian menganga lebar
perundingan alot tak pernah memanen buah ranum yang manis
 
Aku si kerah putih, cuma bisa sembunyi dalam balutan selimut gentar
aku hanya gemetar di balik tembok malu
aku tiada kuasa, tiada pengaruh apa-apa
aku jatuh tersungkur dan merapal doa
kiranya penghasut segera diusut dan dijatuhi hukuman setimpal
kiranya pengusaha dan buruh menghayati makna ’saling memberi dan menerima’
kiranya angin keadilan segera mengembuskan harapan baru
tuk menepis kelabu si kerah biru
 
***
 
 
 


Berita Lainnya

Index
Galeri