AKU sedang duduk berhadapan satu meja dengan Nay. Beberapa kali, kuperhatikan ia sibuk membetulkan letak kacamatanya. Ia kelihatan serius. Sebentar-sebentar mengernyit, sebentar-sebentar kedua alisnya menyatu. Nay mengenakan penjepit rambut warna biru langit diatas telinganya sebelah kiri. Rambutnya yang sebahu dikuncir sehingga tampak rapi. Begitu saj. Tapi seperti apapun Nay, ia selalu kelihatan cantik.
Wajahnya tertutupi buku yag sedang ia pegang.
“Eh Zak, emang beneran nih Bu Henny cuman ninggalin tugas itu doang?” Nay memandang ke arahku, menutup sebentar bukunya. Sudah dua kali ia bertanya seperti itu. Pertama, tadi sebelum aku dan dia memasuki ruangan—basecamp Osis. Kami terbiasa menghabiskan waktu di basecamp Osis ketika jam kosong. Kadang-kadang aku mengerjakan PR—yang terlupakan—disini. Tempat teraman dan ternyaman.
“Ya ampun Nay! Minggu lalu juga kan, Bu Henny sudah pamit..” ujarku lagi. Kupikir Nay sedang sedikit lupa. Ia membulatkan bibirnya lalu manggut-manggut.
Sudah 2 tahun 33 hari, aku sekelas dengannya. Selama itu pula aku menjadi kawannya. Aku dan Nay sama-sama aktif di Osis hingga sekarang. Malah, tahun ini ia sedang menjabat sebagai sekertaris umum. Dia gadis yang energik, bersemangat, suka bergurau, rajin dan dia cantik.
Aku menyukainya. Tolong, jangan ceritakan padanya!
Aku menguap beberapa kali. “Nay. Kantin yuk!” rengekku padanya. Nay masih sibuk dengan buku bacaannya.
“Duluan deh. Ntar aku nyusul!” Kata Nay, menanggapi tanpa beralih dari bukunya.
“Nay, masa kamu tega biarin aku sendirian? Laper nih. Seriusan!” Aku mendramatisir.