Cerpen Mawar Dani

Geluduk Pukul Sepuluh Pagi

Geluduk Pukul Sepuluh Pagi
Ilustrasi. (saatchiart.com)
HARUSNYA matahari sudah tersenyum dan naik sepenggalah. Pagi yang beda, entah karena aku harus segera kembali (sehingga mendung penggambaran sebuah kesedihan) atau waktunya hujan giliran membasahi bumi di mana rumah emak berdiri. Menurut cerita, sebulan menjelang bulan puasa kemarau sudah menghampiri. Sekarang, hampir delapan puluh hari dan baru pagi ini mendung tandang.
 
Aku merasakan kedinginan. Putri kecilku belum bangun sehabis merengek menjelang subuh tadi. Aku manikmati pagi. Udara yang masih segar, berbeda dengan tempat tinggalku sejak menikah. Meskipun tinggal di lokasi perumahan yang kata mereka masih sejuk serta udara lumayan segar, tapi di kampung emak semua itu masih tidak ada apa-apanya.
 
"Cepat kau masuk, hari mendung sebentar lagi akan turun hujan," ucap emak dari ruang tengah.
 
Aku menoleh. Hari memang semakin gelap. Kupandangi langit sekeliling, awan hitam yang berarak, dalam imajinasiku seperti berlarian tujuannya menyelimuti dunia dengan kegelapan.
 
Eca, bidadari kecil buah pernikahan dengan Bang Fauzy sudah dalam gendongan emak. Bocah berusia dua tahun lebih itu cukup dimanjakan neneknya. Aku saja ibunya sudah jarang menggendong karena bagiku lebih baik ia bebas berekspresi dari pada selalu dalam dekapan. 
 
"Cepatlah kau masuk. Ngapain lama-lama di luar?"
 
Kebawelan emak tidak berubah. Hal semacam ini dulu sering menjadi sumber kesalahpahaman antara aku dengan beliau. Aku merasa diperlakukan bagai anak kecil yang kurang mengerti. Barulah ketika aku melahirkan Eca, hal-hal macam begitu sedikit banyak kupahami. Rasa sayang yang terlalu besar pada buah hati terkadang menjadi sumber lahirnya sikap proteksi berlebihan.
 


Berita Lainnya

Index
Galeri