Cerpen Yuditeha

Kematian Seekor Anjing pun Tak Ada yang Sebiadab Kematiannya

Kematian  Seekor Anjing pun Tak Ada yang Sebiadab Kematiannya
Ilustrasi. (Extrospection Art)
AKU masih bisa memaklumi jika koran, majalah, tabloid dan media sosial banyak yang membicarakan tentang kematian pamanku. Dalam hati, aku menaruh hormat pada mereka karena hal itu bisa menjadi salah satu bukti bahwa sebagian warga negara ini masih punya hati yang welas, yang masih mau bersimpati terhadap kesengsaraan yang menimpa saudaranya. Mereka menganggap bahwa apa yang dilakukan pamanku adalah sikap kepahlawanan kepada lingkungan. Dan menurutku memang seperti itulah kenyataannya. Lalu mereka membuat tuntutan-tuntutan terhadap pemerintah untuk segera mengusut kasus kematian pamanku itu dengan tuntas. 
 
Salimi, begitu nama pamanku ini. Dia adalah aktivis lingkungan hidup, terkhusus di sekitar daerah yang kami tinggali. Selama ini beliau telah memperjuangkan agar maraknya penambangan pasir di sepanjang pantai Srondol dihentikan. Paman Salimi secara getol telah mengkritisi bahwa perilaku sewenang-wenang itu harus segera dihentikan.
 
Menurut paman Salimi, jika penambangan pasir liar itu tetap berlangsung, tidak menutup kemungkinan akan merusak habitat pantai. Tanaman bakau yang dulunya tumbuh subur di sana kini lambat laun hilang tak tersisa. Padahal kita tahu hutan-hutan bakau itu adalah palang utama untuk melindungi pantai dari gempuran ombak laut. Abrasi lahan di sepanjang hilir pantai akan terus berlanjut jika tak ada larangan bagi penambangan liar. Jika pantai itu rusak, lahan-lahan di sekitarnya akan hilang ditelan bentangan air laut yang terus bergolak.
 
Dengan begitu, orang-orang itu telah menganggap bahwa tindakan paman Salimi dinilai sebagai upaya yang berani, berani untuk menghadapi mafia-mafia tambang pasir. Bahkan banyak juga teman-temanku yang menulis status di facebooknya mengenai kematian paman Salimi. Setiapkali aku membacanya seperti mendapatkan penguatan  hati karena perasaan sedih yang kami tanggung. Semakin banyak aku membaca tulisan-tulisan itu semakin menyadarkan aku bahwa paman Salimi memang sosok yang baik. Sebaik yang kukenali selama ini. Bahkan bagiku dan saudara-saudaraku, kebaikan paman tidak sebatas pada kiprahnya di lingkungan hidup saja, paman Salimi adalah sosok yang mengantikan peran bapak yang sudah lama tiada. 
 
Tapi jujur, aku tidak suka dengan kepedulian yang ditunjukkan oleh orang yang satu ini, yaitu pak Drajat, kepala desa Srondol. Aku menamai apa yang dilakukannya sekarang ini adalah sebuah kemunafikan. Karena yang kutahu, sewaktu paman Salimi masih hidup, justru pak Drajat-lah orang yang paling berpengaruh menghalang-halangi protesnya. Aku menduga justru mafia-mafia tambang itu telah mendapat restu darinya. Dan kini, setelah tahu paman Salimi meninggal, dia bergaya suci dengan actingnya sebagai tokoh yang penuh semangat menyuarakan kepedulian terhadap nasib paman Salimi. Bahkan pak Drajat membuat spanduk yang sangat besar bertuliskan: Kematian  Seekor Anjing pun Tak Ada yang Sebiadab Kematiannya. Sebenarnya aku suka kata-kata itu, yang bisa memberi pengertian lebih dari kematian yang mengerikan tapi karena aku menangkap bahwa apa yang dilakukan pak Drajat itu tidak tulus, aku menjadi tidak suka. Entah apa tujuan pak Drajat melakukan itu semua tapi hatiku mengatakan bahwa pak Drajat punya pamrih tertentu. Bahkan aku menduga  justru pak Drajat-lah dalang pembunuhan terhadap paman Salimi tapi aku belum punya cukup bukti untuk meyakini apa yang kupikirkan itu benar.
 


Berita Lainnya

Index
Galeri