Tenaga Kerja “Aseng” sebagai “Wicked Problem” yang Mengancam

Tenaga Kerja “Aseng” sebagai “Wicked Problem” yang Mengancam
TKA dan TKI PT GNI di Kabupaten Morowali Utara, Sulawesi Tengah menunjukkan keharmonisan mereka pasc

Proses globalisasi dan liberalisasi membawa dunia menjadi pasar global yang bebas, hal ini juga tidak terkecuali pada pasar ketenagakerjaan (job market). Bebasnya pergerakan tenaga kerja (free personal movement), telah menerobos batas teritori sebuah negara, sebagai hasil dari liberalisasi job market (Agusmidah, Dilematika Hukum Ketenagakerjaan, 201, h. 349). 

Namun di samping itu, ada berbagai faktor lain yang juga menjadi pemicu pergerakan tenaga kerja. Pergerakan tenaga kerja juga berlangsung karena investasi yang dilakukan oleh negara lain, yang pada umumnya membutuhkan pengawasan secara langsung oleh pemilik/investor. 

Sejatinya pergerakan tenaga kerja tersebut sebuah fenomena sosial yang terjadi selama berabad-abad semenjak Industrialisasi dikenal oleh umat manusia, namun permasalahan yang timbul dari fenomena ini berkembang dan berubah-ubah dari zaman ke zaman.

Ketenagakerjaan di Indonesia khususnya tenaga kerja asing tidak luput dari perkembangan dan permasalahan. Hal ini dipicu oleh kesempatan kerja yang minim dan kualitas tenaga kerja yang memprihatinkan. Pertumbuhan penduduk yang tinggi namun ketersediaan kerja yang rendah menjadi faktor yang memperburuk kesempatan kerja. Selanjutnya, kemampuan bersaing yang rendah mencerminkan buruknya kualitas tenaga kerja di Indonesia (Agusmidah, Dilematika Hukum, h. 151). 

Merujuk data statistik, (Klasifikasi Pendidikan Tahun 2000-2001 dan 2007- 2014, Agustus, BPS),tahun 2014 pendidikan tertinggi yang dimiliki oleh angkatan kerja yang sedang bekerja, paling besar adalah tamatan Sekolah Dasar (32,952,556 pekerja) dan Sekolah Menegah Pertama (20,350,838 pekerja).

Urgensi dari fenomena tersebut maka pemerintah, membuat regulasi dan kebijakan untuk menjaga hak warga negara akan pekerjaan sekaligus menjamin hak kewajiban Tenaga Kerja Asing sudah diundangkan oleh berbagai rezim. 

Sejalan dengan amanat konstitusi bahwa setiap warga negara Indonesia berhak atas pekerjaan dan penghidupan layak bagi kemanusiaan, (pasal 27 ayat 2 UUD 45). Katakanlah, Undang-Undang no 13 tahun 2003 tentang ketenaga kerjaan, selanjutnya Permen RI no 97 tahun 2012, dan perpres no 72 tahun 2014. 

Paling mutakhir, pemerintah menerbitkan Peraturan Presiden No. 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing (TKA) sebagai upaya untuk meningkatkan investasi, alih teknologi dan alih keahlian kepada pekerja lokal, serta perluasan kesempatan kerja. 

Namun perhatian pemerintah tentang ketenagakerjaan seolah-olah tidak menjawab permasalahan yang terjadi. Seperti banyaknya perdebatan di kalangan cendikia tentang berderet aturan tersebut. Misalkan pandangan beberapa kritikus tentang Pasal 9, di mana izin menggunakan TKA tidak diperlukan lagi cukup dengan RPTKA (Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing). Selain itu, masih banyak TKA di Indonesia yang tidak memenuhi kualifikasi pendidikan dan keahlian sebagaimana diatur dalam Pasal 5, sehingga tujuan diundangkannya regulasi tersebut sebagai alih keahlian dan teknologi tidak benar-benar terjadi. 

Selanjutnya diiringi berbagai fakta di lapangan yang disorot pemberitaan nasional. Pada tahun 2016 diberitakan jutaan tenaga kerja asal Tiongkok bekerja secara ilegal di Indonesia (C Johnson, ‘Indonesia: New Task Force to Monitor Foreigners. Global Legal Monitor’, 2017). Meskipun ada bantahan dari pihak pemerintah bahwa isu tersebut tidak benar (H.S Soepardi, ‘Jokowi Sebut Isu “Serangan” Tenaga Kerja China Sebagai Fitnah’, 2016). Selanjutnya isu terakhir tentang konflik antara TKA dan pekerja lokal yang terjadi di PT. GNI Morowali awal tahun ini. Konflik ini telah memakan korban dari dua belah pihak.

Berkembangnya berbagai isu, yang beberapa belum tentu benar terjadi, namun sudah menjadi riuh rendah di kalangan publik, sudah menjadi jawab jinawab di kalangan cendikiawan dan kritikus,  bahkan sudah melahirkan korban. 

Seperti halnya yang terjadi di PT GNI Morowali pada bulan Januari, yang kita ketahui bahwa permasalahan tuntutan pekerja lokal terhadap perusahaan tentang keamanan pekerja, transportasi dan ketersediaan parkir. Jelas tuntutan tersebut tidak ada hubungannya dengan keimigrasian dan tenaga kerja asing. Namun tuntutan tersebut membawa konflik antara pekerja asing dan pekerja lokal, di mana kekecewan terhadap membludak Tenaga Kerja Asing yang sudah lama dan juga dipicu oleh tindakan oknum TKA yang cenderung memprovokasi.

Sejalain dengan kekecewaan dan perdebatan terhadap regulasi dan implementasi kebijakan pemerintah yang dipaparkan di atas, berbagai pelanggaran yang terjadi oleh pekerja asing juga terus bergulir. Tercatat selama tahun 2016 sebanyak 7.787 orang, dan 2017 sebanyak 11.307 orang asing yang diduga telah melakukan pelanggaran izin keimigrasian telah dipulangkan ke negara asal melalui proses deportasi. Selanjutnya, Maret tahun 2018 sebanyak 1358 orang telah dipulangkan ke negara asalnya akibat penyalahgunaan izin tinggal. (Muhammad Agil Aliansyah, ‘Imigrasi Sebut Hingga Maret Ada 1.358 Tenaga Kerja Asing Dideportasi’, 2018).

Berbagai kekecewaan, perdebatan dan fakta yang dipaparkan di atas merupakan kerusakan bawaan dari isu tenaga kerja asing. Meskipun sudah diakomodir melalui berbagai aturan kebijakan, namun tetap terjadi perselisihan dan konflik. Hal tersebut adalah indikator dari terganggunya rasa keadilan masyarakat khususnya keadilan dalam memperoleh pekerjaan. Sebagai negara demokratis, Indonesia harus mengedepankan konsep keadilan dengan peraturan-peraturan yang teratur dalam penegakannya tanpa pilih kasih. Sehingga menghasilkan hukum yang baik dan berkualitas demi tercapainya tujuan keadilan serta kesejahteraan bagi rakyat (Farida Sekti Pahlevi, “Keadilan Hukum dalam Peraturan Perlakuan bagi Tahanan,” Jurnal Al-Syakhsiyyah, Vol. I, No. 1, Januari-Juni 2019, 51).

Menurut Gustav Radbruch, keadilan hukum menempati prioritas pertama dalam menetapkan tujuan sebuah regulasi, hal ini penting untuk dilakukan guna menghindari konflik internal. Lebih lanjut Radbruch mengatakan bahwa, hukum adalah pengemban nilai keadilan di mana keadilan bersifat normatif sekaligus konstitutif. Bersifat normatif karena kepada keadilanlah hukum positif berpangkal. Bersifat konstitutif karena keadilan harus menjadi unsur mutlak bagi hukum. Tanpa keadilan sebuah aturan tidak pantas menjadi hukum (Bernard L Tanya dkk, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi , Yogyakarta: Genta Publishing, 2013, hal 117).

Mengabaikan keadilan dalam menetapkan tujuan hukum sering terjadi dalam berbagai praktek kekuasaan. Seperti halnya peraturan yang telah terbit nyatanya menimbulkan banyak pro-kontra di masyarakat. Karena dirasa merugikan, dan hanya menjadi tameng yang menguntungkan beberapa pihak saja. Salah satunya adalah Peraturan Presiden No. 20 Tahun 2018 tentang Penggunaan Tenaga Kerja Asing, yang dinilai memudahkan masuknya pekerja asing.

Fenomena tenaga kerja asing di Indonesia, yang cenderung mengusik rasa keadilan bagi warga negara menjadi sebuah “Wicked Problem” dan tantangan yang besar baik bagi pembuat kebijakan maupun bagi anak bangsa ke depannya. Sehingga hal tersebut menjadi permasalahan sosial baru meskipun eksistensi dari pergerakan pekerja sudah ada selama ribuan tahun. Disamping itu, pencarian solusi pada sebuah permasalahan yang tergolong “Wicked Problem” terkadang memperburuk keadaan (Horst Rittel and Melvin Webber, ‘Dilemmas in a General Theory of Planning’, Policy Sciences, 4 ,1973). 

Permasalahan yang disebut “Wicked Problem” yaitu permasalahan yang tidak dapat dipecahkan dengan menggunakan metode pemecahan masalah sederhana. Selanjutnya,  ini sulit untuk diselesaikan karena tidak adanya masalah maupun solusi yang pasti, disebabkan oleh banyaknya stakeholders yang terkait dan masalah yang terkait satu dengan yang lainnya (J Conklin and W Weil, ‘Wicked Problems: Naming the Pain in Organizations’, 1998). Karakteristik “Wicked Problem” terbentuk dari 3 (tiga) elemen yang saling terikat satu sama lain (Brian W Head, ‘Wicked Problems in Public Policy’, Public Policy, 3.2. tahun 2008, 101–18). Ketiga elemen itu adalah Complexity (kompleksitas), Uncertainty (Ketidakpastian), dan Value Divergence (Perbedaan Nilai/pandangan).

Kompleksitas permasalahan tenaga kerja asing di Indonesia, terlihat dari pengaruh multinasional yang saling berhubungan dan mempengaruhi sikap pemerintah Indonesia sebagai regulator dan Implementator. Hubungan multilateral Indonesia dengan berbagai negara secara politik sangat mempengaruhi permasalahan tenaga kerja asing. Seperti banyak di isukan tentang kemesraan politik Jakarta-Beijing, hal ini menggiring opini publik untuk tidak percaya terhadap pemerintah yang dianggap pro China. Sehingga kompleksitas ini melahirkan konflik di tengah masyarakat.

Selanjutnya, masyarakat ditawarkan sebuah ketidakpastian berita dan data. Peperangan media dan narasi dari berbagai kubu politik, koalisi dan oposisi pemerintah dalam hal isu tenaga kerja asing menjadi kontribusi besar pada permasalahan ini. Pelbagai berita yang berkembang bahwa jutaan TKA China mendominasi berbagai Industri Nasional, di sisi lain pemerintah menentang isu tersebut. Bahkan pemerintah cenderung mengabaikan kebenaran isu tersebut. Sehingga masyarakat dihadapkan dengan ketidakpastian, isu dan permasalahan tanpa penyelesaian yang pasti pula. Ketidakpastian ini mempertegas bahwa, isu tenaga kerja asing yang membanjiri pasar kerja nasional adalah sebuah “wicked Problem” yang lambat laun mengancam kestabilan nasional, dalam hal keamanan, sosial, politik dan ekonomi.

Terakhir, telah terjadi perbedaan nilai dan pandangan antara pemerintah sebagai regulator dan implementator dengan khalayak publik. Pemerintah yang mengedepankan nilai investasi dan ekonomi negara; yang sebagian besar akademis malah cenderung berpendapat berpotensi menguntungkan korporasi. Sementara nilai dan pandangan di tengah masyarakat justru ketersediaan pekerjaan adalah faktor ekonomi utama bagi mereka. Perbedaan nilai dan pandangan secara vertikal ini menjadi ancaman bagi kita sebagai bangsa, khususnya dalam kestabilitasan politik di Indonesia.

Maka dapat ditarik sebuah benang merah, pertama; Bahwa pergerakan tenaga kerja secara global adalah sebuah keniscayaan. Sebagai hasil dari globalisasi dan liberalisasi ekonomi, bahkan lebih jauh lagi semenjak lahirnya Industrialisasi. Kedua; Namun, keniscayaan ini membawa sebuah permasalahan yang terus berkembang dan berubah-ubah. Ketiga; Pemerintah sudah bertindak aktif melakukan tindakan dengan berbagai kebijakan yang dilahirkan. Namun kebijakan tersebut cenderung mengusik rasa keadilan masyarakat. Keempat; Kompleksitas, ketidakpastian dan perbedaan nilai antar elemen membawa permasalahan ini menjadi ancaman terhadap bangsa, bahkan lebih serius ke depannya. Sehingga permasalahan Tenaga Kerja Asing di Indonesia adalah sebuah “Wicked Problem” yang membutuhkan kearifan bagi pemerintah dalam menyikapinya, supaya tidak menjadi ancaman yang lebih besar ke depannya.

Rujukan:

Agusmidah, Dilematika Hukum Ketenagakerjaan, Tinjauan Politik Hukum, buku II, Jakarta: PT.Sofmedia, 2011.

Klasifikasi Pendidikan Tahun 2000-2001 dan 2007- 2014, Agustus, BPS.

C Johnson, ‘Indonesia: New Task Force to Monitor Foreigners. Global Legal Monitor’, 2017.

H.S Soepardi, ‘Jokowi Sebut Isu “Serangan” Tenaga Kerja China Sebagai Fitnah’, 2016.

detik.com,17 Januari 2022 [ https://news.detik.com/berita/d-6519168/7-fakta-terkini-bentrok-maut-tka-dan-tki-di-pt-gni-morowali-utara ]. 

Muhammad Agil Aliansyah, ‘Imigrasi Sebut Hingga Maret Ada 1.358 Tenaga Kerja Asing Dideportasi’, 2018 [Immigration said as of March there were 1,358 foreign workers deported | merdeka.com].

Farida Sekti Pahlevi, “Keadilan Hukum dalam Peraturan Perlakuan bagi Tahanan,” Jurnal Al-Syakhsiyyah, Vol. I, No. 1, Januari-Juni 2019.

Bernard L Tanya dkk, Teori Hukum: Strategi Tertib Manusia Lintas Ruang dan Generasi , Yogyakarta: Genta Publishing, 2013.

Horst Rittel and Melvin Webber, ‘Dilemmas in a General Theory of Planning’, Policy Sciences, 4 ,1973 [Rittel-Dilemmas-General-Theory-Planning-1973.pdf (ask-force.org).

(J Conklin and W Weil, ‘Wicked Problems: Naming the Pain in Organizations’, 1998

Brian W Head, ‘Wicked Problems in Public Policy’, Public Policy, 3.2. tahun 2008.

Disclaimer: artikel ini murni opini dan tanggungjawab pribadi penulis.

Khairul Fikri (Pengamat Kebijakan Publik, Alumni Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Nasional)


Berita Lainnya

Index
Galeri