Ironi-ironi Urban dalam Kosmopolitan

Ahad, 18 Juni 2017 | 20:25:53 WIB
Buku Aku Melahirkan Suamiku karya Ferry Fansuri. (ist)

Buku: Aku Melahirkan Suamiku
Penulis: Ferry Fansuri
Penerbit: Leutikaprio
Cetakan: Pertama, Juni 2017
Hal: 104 hal
ISBN: 978-601-371-420-9
Harga: Rp 33.500

Ironi-Ironi Urban Dalam Kosmopolitan
Oleh: Deni Dwi Eriyana

MEMBACA buku kumpulan cerpen “Aku Melahirkan Suamiku” milik Ferry Fansuri ini membawa kita ke dunia lain yang tidak terduga. Layaknya memasuki labirin kehidupan yang berbeda dan kita memilih peran di dalamnya. Terdapat 12 chapter cerpen yang tersaji di sini. Di dalamnya berbagai genre mulai dari suspense thriller, horor, komedi cinta, absurd dan surealisme tapi menuju satu pintu kehidupan manusia dan masalah di dalamnya. Bahkan yang sensitif sekalipun, macam hubungan sejenis atau yang lebih dikenal dengan LGBT yang begitu tabu jika bicarakan secara terbuka. Penulis yang merupakan mantan jurnalis ini jeli membedah hal tersebut dalam sisi yang lain dan terselip pesan moral di dalamnya.

“Tubuh dan pikiran tak menyatu, kau umbar keinginanmu untuk melampiaskan napsu yang tak berujung. Terus dan menerus untuk memuaskan jiwamu yang hilang itu” (Aku Melahirkan Suamiku)

Di dalam cerpen “Aku Melahirkan Suamiku”, sang penulis tidak menghakimi sosok penyuka sesama wanita atau meng-explore-nya tapi berusaha mengubah pandangan itu dari negatif menjadi positif. Karena tiap kehidupan akan menemukan jawabannya sendiri di kemudian hari. Diceritakan seorang perempuan lesbian bernama Nayala resah akan surat bersegel lilin merah yang ditinggalkan suaminya di malam pertama pernikahan rekayasa. Surat itu adalah jawaban dari semua pertanyaan Nayala tapi ia ragu untuk membukanya.

Tiap penulis pasti terinspirasi oleh penulis lainnya, begitu juga Ferry Fansuri. Ini bisa terlihat pada cerpen “Bangkai Pesawat Yang Menimpa Kami”. Terlihat sepintas mirip cerpen "Robohnya Surau Kami" milik AA Navis. Tapi penulis tidak melakukan plagiat tapi merekonstruksi cerita di dalamnya dengan versinya sendiri.

“Hidupmu bukan untuk kamu saja tapi buat orang lain, kamu diciptakan bukan dalam kesia-siaan saja” (Bangkai Pesawat Yang Menimpa Kami)

Sebuah percakapan manusia taat bernama Kamidi dengan malaikat dalam surga bahwa tidak hanya ibadah saja yang dilakukan manusia di dunia demi memuja Tuhannya tapi hidup untuk sekitar dan sesama, itulah fitrah manusia sesungguhnya. Ada nasehat rohani yang dicatut dari ayat-ayat suci Alquran, penulis berusaha memasukkan makna-makna tersirat di dalam cerpen ini.

Cuplikan ayat-ayat suci itu berlanjut dalam cerpen “Pria Yang Bersekutu Dengan Malaikat”.

“Sesungguhnya kami hanya cobaan bagimu, sebab itu janganlah kamu kehilangan kepercayaan padaNya” (Pria Yang Bersekutu Dengan Malaikat)

Sebuah kisah dalam surat Al-Baqarah yang menceritakan dua malaikat Harut dan Marut dihukum penciptanya karena dosanya dengan digantung terbalik dalam perut bumi yang paling dalam. Penulis mengolah cerita itu dalam versinya sendiri tentang perjuangan manusia bernama Penta untuk memaknai kata-kata Harta, Wanita dan Anak adalah perhiasan dunia.

Setelah bermain-main dengan surelisme dan absurd, sang pemulis membanting setir ke genre komedi satir agar otak lebih refresh. Kita dibawa ke dunia kaum urban yang bergelut dengan kerasnya hidup di kosmopolitan berbagai keruwetan di dalamnya. Ada dua cerpen “Pria Dengan Rasa Jeruk” dan “Mesin Mimpi Sarbot”.

“Kupandangi ujung botol plastik itu, tak sanggup jika harus memasukkan ujung kemaluanku di sana. Apalagi kondisi seperti ini, di dalam keramaian bis ini” (Pria Dengan Rasa Jeruk)

“Aku harus memiliki kamu biarpun sampai kukejar ke ruang mimpi sekalipun. Kau harus jadi milikku, bukan pria lain” (Mesin Mimpi Sarbot)

Kisah-kisah muram tentang pendatang urban, dalam Pria Dengan Rasa Jeruk mengisahkan pendatang musiman yang tiap tahun selalu masuk ke ibu kota untuk mengadu nasib. Perjalanan dalam bis, Sarwo harus berkutat untuk menahan kencing dan dilema hanya botol aqua plastik yang bisa menyelamatkanya. Lain sisi dalam cerpen Mesin Mimpi Sarbot, seorang jongos bernama Sarbot begitu menggilai Mikela sampai kebawa mimpi, maka mesin mimpi menjadi solusinya.

Sepertinya penulis tidak mau terjebak dalam genre tertentu, bidang horor thriller juga ia garap. Setidaknya terlihat ada 3 cerpen berbau “menyeramkan” tapi bukan horor kacangan, antara lain Kecoa-kecoa di Rongga Dadaku, Lang Pa Cha dan Perempuan jadi-jadian yang mati di bawah kasur.

Penulis juga menyentil penyakit sosial yang bukan rahasia umum di masyarakat mulai korupsi, human trafficking, phedofilia dan lainnya. Cerita-cerita itu ada dalam "Anak Kecil yang Menggenggam Revolver", "Semua Kucing Itu Dipenjara" dan "Bocah Penyihir dan Perempuan Bertatokan Kesedihan". Ketiga cerpen itu menceritakan pergolakan dan pergelutan manusia di jalanan. Ada seorang anak yang harus berkeliling nusantara untuk mencari seorang anak perempuan bernama Kantil atau kisah koruptor yang berubah menjadi kucing dan dipenjara.

Dilihat dari buku ini, penulis cenderung melihat arus bawah dan diangkat dalam semua temanya. Bukan tutur yang cengeng tapi kekekuatan manusia untuk tidak menyerah akan keadaan dan melihat hari esok yang tidak tahu nasibnya. Tetap berjuang dan percaya.

“Mereka tampak menikmati pekerjaannya, hujan tidak membuat mereka mengeluh karena mereka itu anak kecil yang sedang bermain dan jalanan adalah tempat bermain mereka” (Anak Kecil Yang Menggenggam Revolver)

Begitu juga kita tetap melangkah biarpun beban dipundak berat, mungkin sejenak kita letakkan baru kita berjalan kembali. Membaca kumpulan cerpen milik Ferry Fansuri terasa menemukan tujuan hidup yang lebih tangguh dan menyegarkan. *

 

Deni Dwi Eriyana adalah penikmat sastra terutama puisi kelahiran Surabaya. Lulusan Universitas Airlangga Surabaya fakultas Ilmu Sosial dan Politik jurusan Perpustakaan.

Terkini