Sajak Pohon, Membayangkan, Hal Baru yang Mesti Kujalani, dan 2 Puisi Lainnya

Jumat, 16 September 2016 | 17:40:03 WIB
Ilustrasi. (Katie Napiera/katienapierabstractartist.com)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Sajak Pohon
 
Aku tiba-tiba menjadi pohon. Ranting-rantingku dipermainkan angin. Tubuhku sebagiannya dibasahi percikan air dari jalanan berlubang yang dilewati kendaraan.
 
Apa menariknya menjadi sebuah pohon? Lampu-lampu jalanan, barangkali, menatap penuh dendam kepadaku. Dan besok pagi, mungkin aku akan ditebang petugas dari dinas kebersihan. 
 
Setiap malam aku menjadi saksi pertengkaran orang-orang yang mengaku saling mencintai. Lalu setelahnya, mereka berpelukan di bawah daun-daunku—saling mencuri ciuman.
 
Aku benci lampu supermarket di belakangku. Orang-orang datang menghabiskan tabungannya untuk merayakan kepalsuan. Mereka tidak sadar, sesekali aku butuh dipupuk.
 
Aku selalu ingin muntah dengan menggugurkan semua daunku. Aku juga butuh bernapas. Aku malu melihat tubuhku ditempeli bermacam-macam senyum beberapa warga kota. 
 
Di beberapa malam terakhir, aku berdoa kepada langit untuk menjatuhkan hujan dan angin. Aku ingin tumbang dan mati tanpa harus ditanya oleh malaikat. Atau mobil mewah datang menabrak tubuhku lalu melumurinya dengan darah dan alkohol.
 
Aku ingin kembali ke hutan dan menemui ibuku. Barangkali dia akan menyusuiku dan memelukku erat, lebih erat, dan sangat erat. Aku pun tidak ingin lagi menjadi manusia.
 
 
 
Membayangkan
 
Dari kejauhan di lautan, kampungku tampak damai di bawah kaki langit. Dulu, hanya pelita yang sibuk membakar sumbunya di tiap rumah. Dan cerita perihal datu yang bijaksana menjadi menu yang disajikan sempurna dalam kepala anak-anak kecil.
 
Rumah-rumah tidak perlu memagari dirinya agar terlihat angkuh. Orang-orang hanya perlu waspada ketika kapurung tak pernah cukup membuat kenyang. 
 
Aku selalu disibukkan oleh pikiran yang berkejaran di dalam kepalaku. Tangan langit seringkali membawa ayahku menuju lautan sebelum sempat mengucapkan cinta dan mengecup kening ibu.
 
Aku kerap duduk dan membakar dingin di depan tungku dan berharap langit menjatuhkan daun-daun dari pohon surga. Aku ingin berlayar bersama Sawerigading dan menemui cinta di ujung tanah. Tapi, remaja dalam tubuhku tiba-tiba ingin menjadi kanak-kanak lagi saat panaik mulai memusingkan kepalaku.
 
Aku lahir di sini dan dipaksa harus tunduk pada segala hal yang tidak meminta persetujuanku. Cinta memang mahal, tapi, barangkali tak perlu kugadaikan separuh kehidupan keluargaku untuk membelinya. 
 
Pada akhirnya, aku harus menjadi lelaki yang menampik tangan takdir dan mempertahankan keberadaanku di sini. Aku mencintai bulan sabit yang menyerupai lekukan senyumanmu— dan yang harus kutebus mahal suatu hari nanti.
 
Datu: gelar raja Luwu
Kapurung: makanan khas Luwu atau Palopo
Panaik: uang pernikahan
 
 
 
Hal Baru yang Mesti Kujalani
 
Aku membayangkan embun berhenti mendatangi pagi. Tak ada lagi suara ketuk angin di luar jendela kamarku. Segala yang kusebut harap menjelma orang lain saat aku membuka mata.
 
Alam menjadi sesuatu yang aneh dan sangat baru sepanjang pandanganku. Jika boleh meminta kepada Tuhan, aku ingin kau yang mencabut nyawaku saat aku sedang mengurai benci. 
 
Jalanan disesaki berita tentang perpisahan. Semua menerobos masuk ke dalam sepasang telingaku. Aku ingin segera tiba di tempat tujuan dan menyalakan pendingin ruangan meskipun di luar hujan sedang bercanda.
 
Orang-orang asyik tertawa dan menyesap kopi dari satu gelas yang sama. Mata rindu sedang mengatup dan tak ingin diganggu. Biarkan saja ia bangun saat gelas tinggal ampas.
 
Berita di koran pagi menuliskan namamu di halaman depan. Aku tidak ingin membacanya. Sering kali riak-riak dalam kepalaku menyatu dan menjadi air yang jatuh di sepasang mataku. 
 
Aku membayangkan kau hanya pergi di suatu tempat yang tak memiliki satu pun alat komunikasi—dan percaya, kelak kau akan mengetuk mesra pintu rumahku. Begitulah aku menutup luka. Dan jika besok seorang polisi menanyakan perihal kehilangan, aku akan menjawab seperti ini: kau ada tapi tidak pernah ditemukan.
 
 
 
Langit dan Puisi
 
Langit tak pernah lelah mengatapi bumi. Setabah seorang ibu menyelimuti bayinya yang sedang demam. Langit tak pernah angkuh dan membiarkan seluruh planet saling mencederai.
 
Langit mendekap doa-doa yang lepas bersama air mata. Tangannya telaten mengalirkan kepastian ke dalam panci ibumu di waktu pagi. Dari jendela, setiap orang akan mendapatkan satu senyuman dari langit.
 
Langit tidak bisu. Ia selalu berbicara kepadamu jika saja kau bersedia mendengarnya sebentar saja. Langit yang selalu mengucapkan selamat malam saat kau lupa membaca doa lantaran kelelahan sepanjang hari.
 
Langit bukan langit-langit rumahmu yang selalu siap menimpamu. Ia adalah lapangan tempatmu kelak berkejaran dengan keluargamu saat kau kembali menjadi kanak-kanak. 
 
Di sembarang tempat, langit tetaplah langit yang juga kaulihat di sembarang waktu. Ia teduh, seteduh tempat kerjamu saat tanggal muda. Ia tidak pernah cemburu ketika kau menjadikan atap sebagai langit terdekat.
 
Puisi ini juga langit. Barangkali bisa menjadi warna biru ketika kau terlampau sibuk di dalam ruang kerjamu. Kau boleh membacanya dan rasakan tiap hurufnya menjadi gerimis yang mendinginkan kepalamu.
 
 
 
Sepotong Lagu dan Rindu yang Diterbangkan Angin
 
Aku menyukai musik—dan entah mengapa aku takut bermimpi menjadi penyanyi. Musik kesukaanku adalah gumam ibuku saat aku terlambat bangun pagi. Selalu lebih indah dari apa pun yang diberikan oleh entah siapa.
 
Aku sering bernyanyi dalam hati. Kau boleh meminjam nyanyianku atau mengambil seluruhnya. Kau tak perlu meremas kerinduan menjadi benci ketika sepotong laguku belum sempat kauselesaikan.
 
Kelak kau akan menjadi kepingan yang tercecer di pelataran kantor dan tak kuasa lagi menyanyikan sepotong lagu yang kujanjikan. Kau hanya butuh kenangan yang tersimpan rapi di dalam file komputermu agar menjadi nada-nada seperti dalam acara musik.
 
Di kotamu akan ada sebuah karnaval. Barangkali sahabatmu akan mengajakmu bernyanyi di sana. Biar rindumu menjadi suara piano dari tuts yang ditekan sembarangan. 
 
Kata dan kita adalah irama melankolis yang diciptakan seorang komposer. Kau akan bisu sebab orang lain menggunakan pita suaramu untuk menyanyikan lagu kesukaanmu. Kau akan tersadar bahwa kelak di suatu tempat kau tidak akan menemukan satu pun kepingan yang kaucari.
 
Barangkali puisi ini bisa menuntunmu mencari kerinduan yang pernah kauempaskan setelah hari kau kehilangan separuh laguku. Aku bukan kekasih atau mantan kekasihmu. Aku hanya ingin mengembalikan sepotong lagu yang pernah kujanjikan. 
 
 
 
Muh. Arham, lahir Juli 1993 di Luwu, Sulawesi Selatan. Memiliki hobbi membaca dan menulis. Cerpennya yang berjudul “Semangkuk Kapurung dari Perempuanmu” menjadi juara ke-2 dalam “Lomba Menulis Cerpen Purnama Masai” yang diadakan oleh Forum Lingkar Pena Ranting Universitas Hasanuddin, 2015 lalu. Saat ini menjadi tenaga pengajar di SMAN 1 Bua Ponrang, Luwu. Dapat dihubungi via twitter: @AanLaminer dan surel: aantaheer@yahoo.com
 

Terkini