Sebilah Tanda Tanya, Suara-suara Mati, dan 3 Puisi Lainnya

Jumat, 16 September 2016 | 17:12:12 WIB
Ilustrasi. (Mandira Bhaduri/saatchiart.com)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Sebilah Tanda Tanya
 
/1/
Aku lahir ketika matahari membayang di ufuk barat, di tanah tandus kering berkarang.
Lontar melambai ombak menampar pantai.
Bapak… Bapak ….
Ibu menyebutmu dua kali selama ini, dan aku tak pernah tahu seperti apa kau seutuhnya, Ia lupa memceritakan wajahmu padaku.
 Disumbingnya kisahku.
aku mencari ibu, mencari wajah Bapak yang lupa kau ceritakan padaku
Siapa engkau Bapak?
Dan siapakah aku?
Mengapa kau wariskan semua ini?
Mengapa kau wariskan sebilah tanda tanya ini untukku?
Mengapa tidak kau wariskan saja aku tanah tandus yang kering di anyam kemarau.
Mengapa kau wariskan sebilah tanda tanya ini?.
Aku bertanya dihening maghrib yang menjelma tubuh kekarmu. 
Ada dendam dibalik kuburku nak. Tunaikan!
Aku tidak mengerti. meski mengangguk hening.
Kau seolah tersenyum dibalik gundukan tanah di pekarang rumah itu.
sejak aku berdiri telah tersemat pesan yang sulit kutafsirkan. aku meraba pesan yang kau kirim lewat sebilah tanda tanya itu. Dengan mata buta. Aku menerka.
Aku hilang arah tanpamu Bapak, jelaskan padaku apalah arti sebilah tanda tanya ini?
Desir angin, debur ombak, lambaian daun lontar yang ujungnya kecoklatan diujung kemarau, memanasi hatiku. Bertindak tanpa arah.
/2/
Apa yang bisa kubanggakan dengan sebilah tanda tanya ini?
Selain rawat dendam, tamparan ombak di bibir pantai, kegelisahan randu alam terhadap kemarau. Daun lontar yang mongering ujungnya.
Penghujan belum datang lagi nak, terakhir Ia menyapa saat bapakmu dengan tidak sengaja berpamitan dan pergi begitu saja untuk selamanya. Meninggalkan namanya dan kuburannya berbaring pekarang itu.
Aku terkesiap sesaat.
Apa yang ada dalam pikirmu Bapak? 
Tak kau pikirkan aku yang menanggung dendammu, merawatnya dengan terpaksa dan ditumpaskannya dikemudian hari, aku terluka Bapak, mengapa kau masih membuat luka baru ditubuhku, merajahnya dengan dendam dan kebencian.
Aku tak menemui alasanku merawat dendammu, dikemudian hari aku datangi kau ditempatmu berbaring. Dengan sebilah tanda tanya itu, aku berikrar padamu
“aku tak akan menuai dendam lagi, cukup aku dan cukup engkau yang merasakan getar pahit sebilah tanda tanya ini, takkan kubiarkan anakku, cucuku, cicitku memikul beban yang sama seperti kita.”
Aku menyesal telah menyanggupinya Bapak. Ibu tak pernah mengharapkan ada hujan apalagi badai setelah kepergianmu itu. Dan selalu aku tinggalkan harapannya itu, seperti hujan yang meninggalkan kemarau tanpa tanda.
/3/
Bau darah, bau amis, suara tangisan malam, jeritan wanita bertelanjang kakinya mengertak bumi. Aku tersadar, sebilah tanda tanya itu telah menunaikan tugasnya, merobek, mengoyak tubuh dingin kaku.
Dosa menebus dosa, karena hidup adalah belajar membalas dan selalu ditinggalkan.
Aku telah menunaikannya Bapak.!
Penghujan datang.
Dihapusnya dendammu dengan rintik dan riciknya yang menyapu bersih kepedihanmu.
Aku telah menunaikan tugasku.
Tak ada dendam yang harus aku rawat lagi.
Dikemudian, anak cucu kita tak harus memikul tanda tanya ini lagi, cukup ia terkubur bersamaku malam ini. Bersama dosa yang berselimut kabut.
Aku telah usai.
Semua telah usai, tak ada rawat dendam, tak ada lagi tangisan, lengkingan, dan jeritan yang memekakkan telinga. Sebilah tanda tanya itu telah membayar lunas semuanya, mungkin sudah usai bagiku tentang dendam yang telah kubesarkan selama ini dengan terpaksa. 
/4/
Gelap.
Hari memang sudah malam ingatku
Dan aku belum menemukan apa yang aku cari darimu Bapak,
Hanya sebilah tanda tanya yang setia kurawat dengan terpaksa ini.
Membekas dalam ingatan, terkubur bersamaku dan tetap terkenang dalam ingatan Ibu,
Mungkin.
Maafkan aku Ibu, aku belum menemukan apa yang Bapak cari.
Hanya tangis dan jeritanmu yang kuingat. Dan penyesalanku yang menghujamku bertubi tubi di tempat sempit ini.
aku terlalu bernafsu Bapak, sehiungga aku buta, tak berpikir jauh bertindak. Dan aku salah telah mengundang musim penghujan lebih awal di pekarang rumah kita itu. Karena penyesalan selalu datang terlambat menegur manusia, termasuk menegurku malam itu.
Dua gundukan makam, sama besarnya, sama merahnya, sama nasibnya, sama pencariaannya, sama keturunannya, sama takdirnya.
Memikul SEBILAH TANDA TANYA!
mencari jawaban, mendatangkan penghujan lebih awal sebelum musimnya.
Lalu datang gelap.
 
Pamekasan, 28 Agustus 2016.
 
 
 
Suara-suara Mati
 
/i/
Waktu itu, 
Tuhan melepasku dari rahim ibuku, membiarkanku mencari apa yang seharusnya Aku cari. Maka dari arah manakah keadilan yang Aku temui.
Hei!!! Aku yang mencintai langit dan bumi. Tuhan Memberiku keadilan.
Tetapi
Aku kini telah hilang dalam bayang-bayang kekuasaan hati yang merajut dan memintal Kuasa, dibumi tempatku mencari.
Ceceran darah, deru tangis, lengkingan dan sayatan yang tergores ditubuhku. Mengikutiku dari dekat. Anak istriku telah memanggilku dengan segala upaya. Tapi semua ditelan dengan buas oleh kekuasaan.
Oh, adil…. Adil…..
Adil yang mana yang Aku cari?
diseret dan diadili tanpa tahu apa yang Aku perbuat. Alasan mereka, hanya alasan seorang yang beralasan pada titik nadir kekuasan yang diselempangkan begitu saja dipundak, di tangan dan di kakiku.
Mampukah mulutku membungkam semua yang menyelinap lalu perlahan menusuk- nusuk jiwa itu,
/ii/
yang datang padaku malam itu bukan seorang malaikat maut yang ramah, tapi sekumpulan orang bersenjata malaikat maut yang bengis siap menyantapku.
Aku tak berkutit, anak istriku membayang seketika, “apa yang salah dengan daku yang minta keadilan?” jeritanku dalam sunyi yang menelan bulat-bulat teriakku.
Dihening malam itu, di pagi buta itu, di siang itu tenggorokanku kering bukan karena dahaga, tapi karena Aku tak mampu mengeluarkan sedikitpun kata tentang keadilan. Aku hilang, Aku hilang dibawa malang. Diadili diseret dan di….  Lenyapkan.
Aku tak menemui kesalahanku pada malaikat mautku sendiri, terkadang maut bukan karena takdir dari tuhan. Tapi direncanakan oleh kekuasaan yang berkuasa di bumi.
Oh… adil yang menyebutnya adil
Dan kebajikan yang menyebutnya kebajikan hakiki.
Dan kutak temui Dikau di belantara sana, di pantai yang hening dengan tangis yang belum redup dilahap malam.
Aku hanya meminta, dikasih tidak dikasih tak apa
Dan keadilan yang kucari dalam duka berakhir pada diriku yang celaka.
Dimana letak keadilan itu tuhan? kau letakkan dimana Ia yang kucari dari tubuhku yang terjarah oleh benda tumpul. Merajah duka dan luka pada tubuhku.
Wahai Engkau yang mencintai apa yang seharusnya kau cintai. Kekuasaan.
Bukan, bukan karena aku lelah, aku hanya meminta pada yang kuasa yang melihat dan mendengar duka di pinggir pantai yang rusak tertambang itu. 
/iii/
Aku celaka, yang maha kuasa. Siapakah yang salah? Dengan kisah sumbing yang kuderita. Anak isteriku telah lama menderita, maka jangan Engkau tambahi mereka dengan aku yang dirajah luka dan dendam pada yang kuasa.
Adil yang mana yang Engkau letakkan di tumitku? Hanya deru napasku yang terakhir yang kuingat, selain wajah anak isteriku yang terbayang dikemudian dalam gelap.
 
Lumajang, 24 Juli 2016 
 
 
 
Mozaik Laut
 
Dalam balutan berkabut
lautan selimut dingin 
 
Samudera bertepi nan terpisah, Walau terang penghabisan
cahaya-cahaya yang bertebaran, 
 
Tak tentu
Arah menghilang
Berhenti pula
Harapan
 
 
 
Di Jantungmu, Arek Lancor
 
Arek lancor, telaga rindu membara,
Dalam dirimu menyala semangat,
menantang kokoh sang langit, 
di kanan dan kirimu keagungan tuhan diagungkan.
 
Arek Lancor,
telaga dari telaga rindu yang tercipta api semangat perjuangan, 
api semangat yang tetap menyala-nyala di jantungmu, 
Ibu yang melahirkanmu dari rahim yang kau sebut lembah pertapaan. 
“Tegaklah nak, kobarkan semangatmu untuk terus mengabdi,
karena kau anak bungsuku yang akan selalu mengikuti anganku”. 
 
Di jantungmu, kau teguhkan dirimu. 
Dalam lautan penuh gelora, 
kau kobarkan api-api yang menjilat langit.
Di tanah tandus kering bebatuan yang kau sebut tanah anarki
Kau temukan senyum kepedihan yang berbalut tangis tak mengalir.
Darahmu bagai aliran air yang tersendat di lehermu.
Gugusan batu karang yang tersusun dari tanahmu.
Menjadikanmu kokoh.
Tanah tandus adalah jiwa-jiwa
yang membesarkanmu dengan gigih.
 
Arek lancor, tegaklah! meski sulit tangan meraih langit 
Mengejar ombak, mengeja jejak,
terbang menggapai bulan dan memeluk bintang.
Mengapai apa yang kau sebut asa.
Dengan daun lontar sebagai penggaitmu
 
 
 
Merupa Tanah Garam
 
Tanian lanjang*
Tarian dalam kesunyian alam
Mengalun alun membuat alun-alun
Utara laki-laki perempuan selatan
Di barat kiblat menyambut dan mengangungkan
Keadilan untuk Ibu yang dihormati
Bapak menganyomi, melindungi di depan ; tanian lanjang.
 
Tanian lanjang. 
Tanah sepi tapi tak kehilangan apa-apa
Bumi tak subur namun gempur
Arah timur adalah gerbang, arah barat adalah peraduan
Ibu di dalam rumah, bapak menunggu teras barokah
Di tanah anarki yang kau sebut surgawi : Ibu
Di tanah anarki yang kau sebut ladang basah : bapak
 
Tanian lanjang
Tarian sunyi merupa tanah garam
Tanian lanjang
Suara-suara lirih berbisik di laut keruh
Tanian lanjang
Nyanyian-nyanyian bisu pelaut dan jalanya
Tanian lanjang merupa tanah kering, tanah garam, tanah kapur : Madura!
 
 
*) Tanian Lanjang: halaman panjang, halaman rumah yang panjang, biasanya terdapat pada rumah-rumah kuno di Madura dimana suatu keluarga menempati lahan yang sama dengan rumah yang berjejer, dan di depan rumah itu terdapat halaman rumah yang panjang. 
 
 
 
Ach. Zaini Dahlan, dengan nama pena ~D~, Lahir di desa terpencil di bagian utara kota Pamekasan lahir pada tanggal 03 Juli 1993. Anak ketiga dari empat bersaudara ini memiliki hobby travelling dan menulis, lahir dari latar belakang masyarakat desa membuat karya-karya terasa mengalir bersama budaya dan kecintaannya pada kampung halamannya, datang dari tanah Madura mencari mozaik hidup di kota Jember. Saat ini sedang menjalani rutinitas sebagai mahasiswa di Program Studi Pend. Bahasa dan Sastra Indonesia Universitas Jember. aktif di Forum Lingkar Pena cabang Jember serta Teater Tiang FKIP Unej. kutipan Favoritnya “ Langkahmu takkan terhenti sebelum kau menghentikannya”.  Penggemar karya Sapardi Djoko Damono, Kahlil Gibran dan Andrea Hirata ini merintis kepenulisannya sejak duduk di bangku MTs sampai sekarang. Email ahzanboy@yahoo.co.id
 

Terkini