Tagar #2019gantipresiden Makar? Begini Kata Pengamat Komunikasi

Tagar #2019gantipresiden Makar? Begini Kata Pengamat Komunikasi
Pengamat Komunikasi, Muhammad Tazri.

PEKANBARU - Kisruh tanda pagar (tagar) #2019gantipresiden ternyata menjadi polemik panjang. Beberapa hari terakhir media disibukkan dengan pemberitaan yang itu-itu saja, yaitu permasalahan sosial yang disulutkan oleh gerakan #2019gantipresiden. Bahkan aksi penolakan terhadap gerakan ini selalu mendatangkan kekisruhan, sebagai contoh aksi penolakan kepada aktivis Neno Warisman beberapa hari yang lalu di Riau. 

Istana dalam hal ini menuding bahwa tagar tersebut adalah betuk makar (usaha penggulingan pemerintahan), namun pengamat komunikasi Muhammad Tazri memiliki pandangan yang berbeda, baginya tagar tersebut adalah gerakan sosial masyarakat modern sebagai bentuk menyampaikan aspirasi.

“Kalau dilihat dari konteks akademisnya, hashtag itu adalah sebuah gerakan sosial masyarakat modern yang memang kesehariannya difasilitasi teknologi dan media sosial, dan itu adalah cara menyampaikan aspirasi,” terangnya, Selasa (28/8/2018).

Tazri mengatakan bahwa apa yang terjadi saat ini adalah konsekuensi logis perkembangan zaman, di mana perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi tidak bisa dibendung yang kemudian melahirkan perangkat teknologi berbentuk gadget lengkap dengan fasilitas media sosialnya. Hal ini kemudian merubah budaya komunikasi masyarakat modern dengan menyampaikan pendapat via media sosial. 

Kemudian, Tazri menyambung argumennya bahwa ketika seorang pengguna media sosial menyampaikan pesan (dalam hal ini kita sebut cuitan status di media sosial) yang kemudian memiliki makna dan maksud yang sama dengan pesan (cuitan status) dari pengguna lain maka secara otomatis sudah ada dua pesan yang sama. Bayangkan jika pesan yang sama ini diserukan atau ditulis oleh jutaan pengguna media sosial, inilah yang kemudian menjadikan pesan ini menyatu dan memiliki kekuatan yang besar, kondisi inilah yang melahirkan berbagai macam hashtag di jagat dunia maya saat ini. 

“Coba kita ingat, hashtag tentang koin untuk Prita pada 2009 lalu, itu adalah bentuk gerakan sosial masyarakat modern, itu hanya gerakan pengumpulan donasi berbentuk koin untuk Prita, sama halnya dengan #2019gantipresiden yang sekarang,” sambung dosen Fakultas Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Riau ini. 

Kemudian perihal hashtag #2019gantipresiden dianggap makar, Tazri menyebut bahwa konten pesan itu muncul atas dasar evaluasi publik. Istana yang meganggap gerakan ini adalah makar harusnya mengapresiasi bahwa kinerja pemerintah diawasi oleh publik, dan ketika sebagian publik merasa tidak puas, publik wajar dan memiliki hak untuk menyuarakannya, dan menyuarakannya di media sosial adalah cara yang cukup efektif dan efisien untuk kondisi hari ini. 

“Akan menjadi celaka jika suara rakyat ini dibungkam, karna sudah diatur didalam konstitusi. Toh, pemerintahan masih akan tetap berlanjut kok sampai april 2019, tidak ada usaha publik untuk menggulingkan pemerintahan sebelum April 2019,” tambahnya. 

Menurut tazri, gerakan #2019gantipresiden itu bukanlah kiamat, sebab hanya sebagian masyarakat Indonesia yang menyuarakannya, buktinya ada juga kelompok yang menyuarakan #2019tetapjokowi atau #jokowi2periode. “Itu sama,” singkatnya.

Akhirnya, pengamat muda ini berpesan agar pemerintah fokus saja pada menyelesaikan program kerjanya, ketika Istana menuding gerakan ini sebagai bentuk makar, tentu ini akan terus menjadi isu "debatible" yang tidak akan berakhir. 


Berita Lainnya

Index
Galeri