Kunang-kunang untuk Rara

Senin, 13 Maret 2017 | 16:44:23 WIB
Ilustrasi.
DULU Frans pernah janji, suatu saat ia akan membawa banyak kunang-kunang untuk Rara. Mula kisahnya waktu itu, saat Frans baru pulang dari bermain. Ada sesuatu berkelap-kelip dan menempel di krah bajunya. Rara yang tengah bermain di pekarangan rumah saat itu, sangat tertarik pada kelap-kelip sesuatu itu.
 
"Tunggu! Tunggu, Frans...!" teriak Rara bergegas menghampiri Frans, bermaksud hendak meraih sesuatu itu dari krah baju Frans. Tetapi Frans tiba-tiba menepiskan sesuatu itu. Sesuatu itu pun terbang. Kelap-kelipnya memendarkan cahaya, seperti cahaya lilin kecil, menyinari ruang-ruang samar di bawah pohon manggis di sekitar samping rumah.
 
Rara menangis sejadi-jadinya waktu itu. Katanya, Frans jahat. Frans tidak pernah baik kepadanya. ?Rara tak mau lagi berteman dengan Frans!? kata Rara berulang-ulang. Untuk meredakan tangis Rara, Frans berjanji, kapa-kapan ia akan membawakan sesuatu yang berkelap-kelip itu untuk Rara. Janji Frans, ia akan membawa banyak, hingga kelap-kelipnya menyinari semua ruang-ruang samar di sekitar rumah-rumah mereka. Dan tangis Rara pun reda oleh janji itu.
 
*
 
Itu empatbelas tahun lalu. Waktu itu Rara baru berumur lima tahun, dan Frans berumur enam tahun. Rumah orangtua Frans dan Rara memang berdekatan, hanya berjarak beberapa rumah saja, sehingga halaman rumah tempat bermain mereka sering sama. Masa kanak-kanak mereka berjalan beriringan; pada sebidang gang yang tidak terlalu panjang, tidak terlalu sempit, tetapi juga tidak lebar.
 
Tidak hanya masa kanak-kanak, masa-masa remaja mereka pun beriringan. Oleh karenanya, pengajaran alam semesta seperti yang berlangsung di hampir semua belahan bumi, pun mereka terima beriringan. Hal yang patut tumbuh di hati anak-anak remaja, tumbuh secara alamiah di hati Rara dan Frans. Dan rasa itu tumbuh kian mekar ketika mereka memasuki tahun kedua di bangku SMA. Rara amat mensyukuri rasa itu. Ia senang. Ia bahagia, karena Frans juga tampak merasakan seperti yang ia rasakan. Rasa itu ia dekap erat-erat, agar tidak lepas, supaya tidak diambil orang.
 
Ketika suatu waktu ada bisikan yang hendak menggoyahkan hatinya; agar ia meragukan rasa itu, Rara bergeming. Ia tetap mendekap rasa itu. Merawatnya, dan selalu membawanya ke mana pun ia pergi.
 
"Hati-hati lho, Ra... Pastikan apakah ia memang benar mau pacaran dengan kamu. Sakit, kalau di ujungnya baru dia bilang bahwa kalian hanya berteman." kata Lulu, kakaknya Rara, suatu waktu.
 
"Iya, Ra. Mama gak mau kalau suatu waktu kamu jadi gak becus sekolahnya setelah tahu bahwa kalian hanya berteman. Lagian, sih... ngapain pake pacaran segala? Sekolah dulu! Nanti, setelah sekolah klar, baru pikirin soal pacaran!" kata si Mama ikut nimbrung. Rara hanya diam. Ia yakin, Frans tidak akan pernah mengatakan bahwa mereka hanya berteman. Dan soal pacaran di masa sekolah, SMA tentunya, bagi Rara itu no problem. Itu tidak perlu dibahas. Makanya ia tak memberi comment atas masukan si Mama.
 
*
 
Hingga memasuki semester genap di kelas tiga kemarin semua berjalan seperti biasa. Pertemanan bertanda petik antara Rara dan Frans berjalanan sebagaimana wajarnya. Pertemuan mereka selalu ada. Seperti sejak pertengahan kelas satu dulu, mereka selalu bertemu di perpustakaan sekolah saat jam istirahat, atau di ruang sanggar sastra setelah kelas sastra usai. Di sana mereka membicarakan karya-karya fiksi yang dimuat di koran-koran langganan sekolah mereka. Kemarin ini pun, mereka masih ketemuan di situ, dan masih membicarakan hal-hal yang sama.
 
Tetapi entah mengapa, terakhir ini Frans tiba-tiba bagai kapal yang takut pada terpaan angin, sehingga ia berbelok arah. Ia memang ada, tetapi yang tampak hanya punggungnya. Di sekolah, di sepanjang gang menuju rumahnya, atau di halaman rumah tempat mereka bermain masa kecil dulu, Frans selalu ada, tetapi yang tampak hanya punggungnya! Hingga beberapa hari setelah hari pengumuman kelulusan, Frans tak pernah kelihatan jelas.
 
Rara teringat kata-kata Lulu satu tahun lalu. Waktu itu, menurut Rara, menuruti saran Lulu itu adalah lebay. Memastikan apakah Frans memang benar mau pacaran dengannya, bagaimana caranya? Dari mana harus dimulai? Apakah Rara harus bertanya, ‘Frans..., apakah kau memang mau pacaran denganku?? Lucu! Itu pertanyaan yang menggelikan. Bagi Rara, lebih baik menunggu entah berapa lama dari pada harus menanyakan hal itu.
 
Tetapi sekarang saran itu terasa ada benarnya. Andai dari dulu Rara tahu bahwa Frans hanya berniat berteman saja dengan dirinya, tentu saat seperti ini tidaklah menjadi beban baginya. Andai Frans berbelok arah, atau bahkan hendak benar-benar hilang ditelan bumi sekalipun, tidak ada masalah.
 
Rara mendapat kabar, bahwa Frans akan ke Jogja. Ia akan kuliah di sana. Mungkin inilah yang membuat Frans sedikit lupa diri, lalu lantas berlagak songong. Dan inilah yang membuat Rara menjadi muak. Nnek rasanya untuk menanyakan kebenaran berita itu. Andai benar Frans akan kuliah ke Jogja, apa salahnya ia menemui Rara. Lalu memberitahu kapan ia akan berangkat, dan akan kuliah di universitas mana dia. Kalaulah harus mengucapkan ‘goodby, jangan ingat-ingat saya lagi, tidak apa-apa. Mungkin, kata-kata itu terasa sakit di hati Rara. Tetapi akan terasa lebih sakit lagi kalau Frans berbelok arah begitu saja, lalu hilang bagai ditelan bumi.
 
Jujur, Rara suka dengan Frans. Setahu Rara, setidaknya hingga awal semester genap kemarin, Frans itu orangnya tahu diri dan tak pernah sombong. Selalu teguh dan confident, terlebih soal kemampuan akademiknya. Inilah hal yang membuat Rara tertarik pada pribadi Frans, hingga ia pernah berhayal, pada masanya, ia akan hidup bersama dengan lelaki teman masa kecilnya itu. Tetapi apa lagi mau dikata? Keabadian itu memang hanya milik sang empunya kehidupan. Selain Dia, semuanya, setiap saat bisa berubah-ubah.
 
Sehabis mengaduk-aduk rasa jengkel di hatinya tentang Frans, yang bagai dihipnotis oleh alien itu, yang tiba-tiba selalu menghindar tanpa sebab musabab itu, Rara dikejutkan oleh sesuatu di atas meja di sudut kamarnya. Rara tidak tahu siapa yang meletakkan kotak seukuran kalender meja itu di situ. Di atasnya ada sepucuk surat. Hmm..., mahluk dari zaman purba manakah yang mengirimkan surat itu? 
 
Ra...,
Maaf, aku sudah membuatmu bertanya-tanya, kenapa aku selalu menghindar darimu. Aku bingung, saat ayahku memberitahu bahwa aku tidak mungkin memenuhi undangan dari UGM itu.
 
Kata ayahku, itu butuh biaya besar. Aku kan, hanya mendapat fasilitas tidak ikut seleksi. Bukan siswa yang mendapat beasiswa. Kalau undangan itu kupenuhi, kelanjutan sekolah ketiga adik-adikku akan terancam. Ternyata, satu bulan lalu, ayahku sudah diultimatum oleh perusahaan tempatnya bekerja, agar segera mengambil pansiun dini, sebelum tindakan pengurangan pekerja semakin parah.
 
Aku terpukul, Ra...
Begitu pun, aku tidak mau larut dalam keadaan itu. Aku tetap akan berangkat ke Jogja. Rencana awal, aku akan coba membujuk pamanku yang ada di sana, agar beliau bersedia membantuku supaya dapat kuliah. Kalau tidak berhasil, aku akan mencari pekerjaan di sana.
Kotak dan surat ini kutitip kepada Sasa, adikku. Setelah selesai membaca suratku ini, bukalah kotak itu. Di dalamnya ada botol kecil berisi sedikit binatang bercahaya. Ini pernah kujanjikan akan kubawakan untukmu. Hanya sedikit yang kudapat, Ra. Kumohon doamu, agar kelak, lima atau enam tahun nanti, aku bisa membawa yang lebih banyiak lagi. Salam.
 
Frans
 
Rara menyeka air matanya. Lalu membuka kotak itu. Ada puluhan cahaya berkelap-kelip dari dalam botol kecil di dalam kotak itu. Rara memadamkan lampu kamarnya, lalu melepas kertas penutup botol itu. Puluhan kunang-kunang beterbangan ke semua sudut kamar. Cahaya dari tubuhnya memendar, berkelap-kelip.***
 
 
 
Ranto Napitupulu, tinggal di Desa Tualang, Kabupaten Siak. Menulis cerpen dan esai di beberapa media cetak lokal.
 

Terkini