Rumod

Ahad, 16 Oktober 2016 | 06:31:09 WIB
Ilustrasi. (Ray Turner/pinterest.com)
DIA kini berumur 18 tahun. Waktu kecil, setahuku dia normal. Meski kami tidak satu sekolahan, tetapi aku masih ingat benar dulu dia sekolah di SD Negeri 2, sedangkan aku sekolah di SD Negeri 3. Setelah beberapa bulan aku tidak bertemu dengannya, tiba-tiba kudengar dia pindah sekolah di SLB yang berada di kota kabupaten. Pada saat itulah aku baru mengerti ternyata dia idiot. Satu hal lagi yang kuingat, dulu dia pernah mengalami demam tinggi yang tidak kunjung sembuh, ditambah lagi dalam perjalanan hidupnya sering ia mengalami sakit, hingga mengkonsumsi banyak jenis obat. Entah mengapa, lambat laun hal itu seperti mempengaruhi kondisi tubuhnya. Sejak saat itu tubuhnya sering kejang-kejang. Dokter memvonis dia menderita Epilepsi. Menjelang lulusan SD, aku melihat dia sudah tidak sekolah lagi. Dan pada saat aku duduk di bangku SMP, kami berdua menjadi karib. 
 
Selain dia idiot, memang dia penderita epilepsi. Orang Jawa menamainya dengan sakit ayan. Jenis penyakit yang jika kambuh seluruh badannya akan kejang-kejang tak berdaya. Saat kejang-kejang, dari mulutnya akan keluar busa. Pada saat begitu, tidak ada yang bisa kita lakukan selain menunggu dan membiarkannya sampai kejang-kejang itu berhenti sendiri. Jika aku menyaksikan dia sedang begitu, rasanya hatiku terasa teriris sembilu, seakan-akan aku ingin berlari menjauh karena tidak tega melihatnya. Tapi mungkin karena itulah aku ingin dekat dengan dia. Barangkali di hatiku ada perasaan iba.
 
Dia bernama Rumod. Orangtuanya salah satu warga masyarakat yang disegani di kampungku. Beliau sering mendapat jatah undangan kehormatan dalam berbagai acara resmi di kampung. Orang kampung biasa menyebutnya sebagai golongan priyayi. Rumod anak ragil dari empat bersaudara. Satu kakak perempuan dan dua kakak laki-lakinya kini telah menjadi orang gedean. Tapi untunglah orangtua Rumod tetap menyayanginya. 
 
Kini Rumod tumbuh menjadi pemuda yang sederhana dan baik hati. Dia hampir tidak pernah berbuat ulah. Hanya terkadang berperilaku seperti tanpa kendali jika sehabis dipermainkan pemuda-pemuda brandal di kampung ini. Mereka sering tidak bersikap baik pada Rumod, sering mengajari berperilaku yang tidak pantas dan berkata-kata rusuh. Mereka memang orang-orang yang tidak punya perasaan.
 
Setiap pagi Rumod selalu mengajakku sepedaan. Dia selalu bangun di waktu subuh, lalu segera pergi menghampiriku. Setelah sampai di depan rumah, dia akan berteriak, memanggilku dengan sebutan: Boss. Lafal bicaranya tidak jelas. Sepertinya dia tidak dapat bilang R dan sulit membilangkan huruf konsonan di awal kata. Seperti pagi itu aku dipanggil-panggil dari luar rumah, hendak mengajakku sepedaan.
 
“Kau suka bangun pagi, ya?” tanyaku begitu bertemu.
 
“Uka," jawabnya singkat.
 
“Kalau bangun pagi begini, kau dibangunkan atau bangun sendiri, Mod?”  
 
“Endili.”
 
“Pakai jam weker, ya?”
 
“Endili.”
 
Yang kuhafal dari Rumod, selain bicaranya, juga sepedanya. Sepeda yang dia pakai adalah sepeda yang unik. Bagian belakang sepeda, dekat as roda diberi potongan botol plastik bekas tempat air minum mineral hingga potongan botol plastik itu menyentuh ruji-ruji sepeda. Jika roda berputar akan menimbulkan bunyi seperti suara mesin sepeda motor. Aku jadi ingat suatu kali aku sempat menanyakan hal ini kepadanya.
 
“Otol etlil.” jawabnya waktu itu.
 
“Apa?”
 
“Otol etlil, lon.. lon.. “ jawabnya lagi sembari kedua tangannya memperagakan sedang mengegas handel stang sepeda motor.
 
“Maksudmu motor trail?”
 
“O..o,” jawabnya bersemangat sambil mengangguk-anggukkan kepalanya.
 
Rupanya disaat dia sedang menaiki sepedanya itu, dia sedang membayangkan sedang mengendarai sepeda motor trail. Karena begitu, lalu aku menanyakan ada apa dengan motor trail? Atau mengapa harus motor trail? Lantas dia menjawab panjang lebar yang intinya dia sangat mengimpikan mempunyai motor trail karena dia sangat menyukai olah raga ketangkasan mengendarai motor trail. Bagi dia olah raga motor trail tidak terlalu membahayakan. Jika disaat mengendarai sepeda motor trail, kebetulan ayannya kambuh dia akan terjatuh di tempat yang lunak, karena arena olah raga ini berada di medan off the road yang biasanya berupa area tanah terbuka.
 
Meskipun apa yang dikatakannya tidak sepenuhnya benar, tetapi aku sangat menghargai apa yang menjadi keinginannya itu, sebuah hobi ketangkasan mengendarai motor trail. Orangtua Rumod tidak mengijinkan anaknya ini menekuni hobi itu, dan itu berarti orangtuanya juga tidak akan pernah membelikannya sepeda motor trail. Meski Rumod sudah berjanji tidak akan mengendarai motor trail di jalan raya, tetap saja orangtuanya tidak mengabulkan keinginannya.
 
Pernah suatu pagi, seperti biasanya kami berdua sepedaan. Tapi menjelang akan pulang dia menyuruhku pulang duluan. Dia bilang mau mampir di tempat lomba ajang ketangkasan motor trail di daerah tanah lapang yang biasanya digunakan sebagai arena sirkuit. Aku tidak tega meninggalkannya sendirian. Berangkat bareng, pulang juga harus bareng, pikirku. Apalagi nanti kalau ketemu orangtuanya, pasti mereka menanyakan keberadaan Rumod. Aku takut resiko, akhirnya dia kutemani nonton dengan konsekuensi aku bolos kerja.
 
Kebiasaan Rumod yang lainnya adalah kesetiaannya menunggu matahari terbit setiap pulang dari sepedaan. Di seberang depan rumahnya ada pelataran yang cukup luas kepunyaan kantor kecamatan. Di sanalah Rumod menanti munculnya matahari pagi, kemudian berjemur sejenak.
 
“Apa yang kau lakukan di situ, Mod?” tanyaku suatu hari.
 
“Atahali,” jawab Rumod.
 
“Matahari? Kau menunggu matahari?”
 
“O.O..”
 
“Kau suka matahari, ya?”
 
“Uka. Atahali agi.”
 
“Mengapa kau suka matahari pagi?”
 
Dengan lafal yang belepotan, dia berusaha menjelaskan padaku. Menurutnya sinar matahari pagi memberikan kekuatan pada dirinya. Semacam energi yang membuatnya bersemangat menjalani hidup. Dia juga meyakini bahwa sinar matahari akan menyebabkan dia tidak kambuh. Oleh karena itu dia sangat mencintai matahari. Matahari pagi.
 
***
 
Pagi ini aku bangun kesiangan, dan perasaanku mengatakan seperti ada yang kurang. Kucari-cari apa yang menjadi penyebabnya, tapi aku tidak segera mengetahuinya. Sehabis mandi aku baru ingat, ternyata subuh tadi Rumod tidak ke rumahku, dia tidak mengajakku sepedaan pagi seperti biasa. Sebenarnya aku ingin pergi ke rumahnya, melihat keadaannya, tetapi kutunda karena aku harus berangkat kerja. Baru pada sore harinya aku main ke rumah Rumod. Ibunya menyambutku ramah.
 
“Rumod ada, Bu?” tanyaku.
 
“Ada, itu di kamar. Masuklah,” jawab si ibu.
 
“Apa Rumod sakit, Bu?”
 
“Tidak. Tapi mungkin kecapaian karena kemaren sore dia kambuh lumayan lama.”
 
Waktu aku masuk ke kamarnya, dia sedang tiduran sambil mendengarkan tape recorder.
 
“Hai, Mod!” panggilku.
 
“Ae,” Rumod tersenyum memandangku.
 
“Tadi pagi tidak sepedaan, ya?” 
 
Dia hanya menggeleng lesu.
 
“Capek, ya?”
 
“O.o.”
 
Setelah itu, pelan-pelan kusinggung masalah kambuhnya kemarin. Aku bertanya padanya, selain kelelahan adakah sesuatu yang menyebabkan dia bisa kambuh. Menurutnya, dia pasti akan kambuh jika, baik disengaja atau tidak sengaja menjumpai tukang topeng monyet yang sedang membunyikan kendangnya. Entah kenapa hal itu dapat menjadi penyebab kambuh?
 
Pada saat itu aku juga sempat menanyakan tentang bagaimana rasanya waktu dia mengalami kambuh. Jawaban dari pertanyaan ini semakin membuatku tidak ingin menyakitinya. Katanya dunia seperti sedang dilanda gempa yang hebat, semuanya bergoyang termasuk dirinya. Tidak ada kekuatan sedikitpun di tubuhnya. Lemas seperti lumpuh. Bahkan untuk mengatupkan mulut atau berkedip saja, tidak mampu dia lakukan. Seluruh badannya seperti mendidih, oleh karena itu semua lobang di badannya dapat mengeluarkan cairan berbusa. Tidak terasa di sekitar kelopak mata dan hidungku memerah karena tidak kuasa menahan rasa prihatinku terhadapnya. Sontak aku berjanji dalam hati, aku ingin menjadi sahabat dia, selamanya.
 
***
 
Minggu pagi yang cerah, sebagian besar pemuda kampung berkumpul di perempatan besar. Sementara kami baru tiba selepas sepedaan, dan seperti biasanya Rumod langsung menuju pelataran kantor kecamatan untuk menunggu matahari terbit dan siap berjemur di sana. 
 
Ron… ron… ron… ron….
 
Tiba-tiba suara motor trail meraung-raung di kampung kami. Sekilas motor trail itu seperti berhenti di perempatan besar. Aku bergegas menuju ke sana, demikian juga dengan Rumod, begitu mendengar suara itu dia langsung lari tergopoh-gopoh mendekat. Di perempatan besar dusun kami sudah banyak berkumpul anak muda. Di antara kerumunan itu, ada Drajat sedang duduk di atas motor trail. Rupanya motor trailnya baru. Drajat adalah teman sepantaranku, tapi aku tidak terlalu akrab dengannya. Dia anak yang sering berbuat ulah di kampung kami. Dia anak ragil Bapak Bayan. 
 
“Oleh.. aku.. aik?” pinta Rumod tiba-tiba pada Drajat.
 
“Kau mau naik? Boleh saja, tapi kau harus berdiri di belakang! Mau?” Drajat menawarkan.
 
“Au..”
 
“Mod! Jangan Mod!” teriakku.
 
Rumod tidak mempedulikan suaraku, dia nekat menaiki motor trail itu. Dia berdiri di jok belakang. Perasaanku mulai tidak tenang. Dan motor trail telah melaju cepat. Ron, ron, roooonn….
 
Aku terbengong-bengong. Seiring menghilangnya suara motor trail karena menjauh, lamat-lamat aku mendengar suara lain yang tidak kuinginkan kehadirannya. Tukang topeng monyet?! Dia berada di kampung ini…. Oh, mendadak aku teringat Rumod, teringat tentang gempa bumi, teringat lumpuh dan tubuh mendidih. Tanpa pikir panjang lagi aku berlari pulang, mengambil motor dan mengejar mereka. 
 
Harapanku satu, semoga mereka tidak berpapasan dengan tukang topeng monyet itu. Karena kukejar dengan kecepatan tinggi akhirnya mereka kususul. 
 
“Rumod! Rumod berhenti, Mod!”
 
Rumod semakin bergirang, mungkin dia menganggap aku turut larut dalam kegembiraannya ini. Akhirnya aku memilih untuk meneriaki Drajat, tapi Drajat justru menambah laju kecepatannya dan aku mengejarnya. Sekilas di depan, kami akan berpapasan dengan sebuah mobil. Kami terus berkejaran, kulihat Drajat berhasil melintasi mobil itu. Setelah itu aku tidak ingat lagi, yang kutahu semuanya mendadak gelap. Pekat. ***
 
Buat Yuson
 
 
 
Yuditeha. Penulis yang hobi melukis wajah-wajah dan bernyanyi puisi. Aktif di Komunitas Sastra Alit Surakarta. Tinggal di Jaten RT. 01 RW. 14 Jaten, Karanganyar Jawa Tengah.
 

Terkini