Nabi Tanpa Wahyu, Untuk Yang Dirindukan, Menjadi Udara dalam Balon, Tahu Cinta, Jendela Kamarmu

Rabu, 07 September 2016 | 20:12:17 WIB
Ilustrasi. (Nikhelbig/nikhelbig.com)
PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
 
 
Nabi Tanpa Wahyu 
 
Buku-buku, dilenyapkan dalam bara api 
memaksa mereka cengkerama dengan jelaga 
Sobekan akan memenuhi ruang baca 
perilaku barbar pasukan tiran suruhan raja 
Dan seorang pengagumnya hanya sanggup meratapi 
menangisi tinta-tinta hitam 
menangisi lembar-lembar lusuh 
lunglainya pena-pena lelah 
Punggung beku oleh perenungan setiap malam 
sungai berubah menjadi hitam legam dawat 
padat kental oleh guru yang dilempar dari rak semayamnya 
Bisa jadi ini hanya sebuah jeda 
 
Seorang pengagum diam-diam memasukkan buku ke dalam jubahnya 
buku boleh dibara, namun tidak dengan ilmu 
sebab dia hanya perantara pikir, nabi tanpa wahyu 
Pelepas rasa penasaran dalam benak 
pengantar menuju alam khayal nan nyaman 
pengusir sepi agar mengurusi dirinya sendiri 
penyibak tirai ilmu yang selama ini menunggu 
Dia boleh dibara, tapi ilmunya lebih nyala 
 
Seorang pengagum tiba di rumahnya 
dikeluarkan pena dan tinta, lilin sekadarnya dinyalakan 
dikeluarkan pula papirus lusuh warna kemuning 
mulailah dia menyalin isi buku, digandakan agar tak benar hilang 
Dan lima ratus tahun kemudian, buku tersebut tetap ada di sebuah perpustakaan 
bersiap menumpah ilhamnya pada orang-orang haus ilmu 
dan sang pengagum bertambah jumlahnya jadi seribu 
 
Tak ada buku yang benar-benar tenggelam 
Tak ada buku yang benar-benar hangus 
Utusan Tuhan akan selalu selamat 
 
-Makassar, Mei 2016 
 
 
 
Untuk Yang Dirindukan 
 
Dalam redupnya lampu kamar,  aku mulai berpikir mengenai kemayumu yang sesekali muncul di kamar tidurku. 
Ada perasaan selalu lintas, perasaan tidak pernah lelah untuk susul-menyusul dengan rasa penat yang membeku. 
Wangi aroma rambutmu, semerbak percik rembulan yang menembus lubang-lubang kecil dinding besar kukuh. 
Wajah bening bila diterpa awan-awan yang berarak menuju birunya laut serta merahnya rona bibir tanpa lapis gincu. 
Dan sebuah obrolan menenangkan akan dimulai ketika suaramu mulai berayun di pekarangan penuh rumput palsu rumahku. 
Lalu kita akan merenungi setiap perbuatan bodoh yang kita lakukan secara rahasia dan tergesa di masa-masa lalu. 
Semilir angin yang gairah, menyematkan kata sepakat bahwa tempat singgah paling tepat adalah pundakmu. 
Semakin malam, semakin deras arus membawa kita berdua menuju ruang tamu berhias ratusan ribu cahaya bola lampu. 
Kita jelang pagi sembari saling mendekap, pelukan menjerat dalam rasa takut akan kehilangan. Aku cinta kepadamu. 
 
-Makassar, Maret 2016 
 
 
 
Menjadi Udara dalam Balon 
 
Kau tiupkan ruh nafasmu 
aku hidup, menggembung 
bersiap meliuk seperti naga 
namun kali ini tanpa bara api 
Kau tiupkan ruh nafasmu 
kulitku hanya embun tipis 
seikat tali menahannya di bumi 
batas antara bebas dan terikat 
Kau tiupkan ruh nafasmu 
aku begitu rapuh, mudah diculik 
angin malam membelai helai 
pelukan selaksa hidang 
Kau tiupkan ruh nafasmu 
biarkan bermain, seutas rekah 
ajarkan engkau lekuk pijak dari angkasa 
undang senja bertamu lebih awal 
Ada yang luput, aku tersesat di batas cakrawala 
 
-Makassar, Juni 2016 
 
 
 
Tahu Cinta
 
Tahu apa dia soal cinta? 
Tukang kukus kacang kedelai untuk menjadi tahu pun tahu 
bahwa cinta tidak pernah tahu dirinya sendiri. 
Apalagi tahu mengenai apa yang diinginkan oleh pasangan, 
tahu bukan salah satu poin dari daftar panjang keinginannya. 
Dan tahu-tahu kita putus, dulu bermanja cengkerama hangat 
sekarang membuang muka berlagak tidak tahu siapa kamu. 
Dua bulan kami berhubungan, aku baru tahu kalau dia 
ingin dibelikan tas buatan Eropa. Dan selepas itu 
aku pura-pura tidak tahu dia dan letak rumahnya. 
Ah, coba aku tahu kita akan begini jadinya, 
lebih baik aku pacaran dengan 
anak pembuat tahu di samping rumahku. Aku tahu dia cantik. 
Kutengok hidangan yang ada di meja makan, 
ada hidangan tahu sambal dan tahu orak-arik. 
Aku tahu ini pasti buatan ibu. Aku tahu ini tahu buatan tetanggaku. 
Mendadak ada rasa ingin mencari tahu. 
 
-Makassar, Mei 2016
 
 
Jendela Kamarmu 
 
Menatap jendelamu 
ada nyanyian yang kau sembunyikan di balik tirai lusuhmu 
menunggu dilepaskan menuju udara, berontak dalam aliran nadi 
Menatap jendelamu 
terdengar pertanyaan kau ucap mengenai arah angin dan cahaya bulan 
memaksa mereka bicara tanpa gema, belaian tanpa jari tangan 
Menatap jendelamu 
ada diriku, enggan dipersilakan masuk 
 
-Makassar, Juni 2016 
 
 
 
Achmad Hidayat Alsair. Lahir di sebuah kota kecil bernama Pomalaa, Sulawesi Tenggara, 15 Mei 1995. Tengah berkuliah di Universitas Hasanuddin Makassar, FISIP, jurusan Ilmu Hubungan Internasional, semester 7. Hobi menuangkan hal-hal yang melintas di pikirannya ke atas kertas. Puisi-puisinya pernah dimuat di Fajar Makassar, Tanjungpinang Pos, Jurnal Asia Medan, Litera.co.id, FloresSastra.com, ReadZone.com, SultraKini.com, MahasiswaBicara.com, NusantaraNews.co, BuanaKata.com dan beberapa antologi puisi. Yang terbaru, salah satu puisinya tergabung dalam buku antologi bersama Temu Penyair Nusantara 2016 “Pasie Karam”. Bisa dihubungi melalui sur-el ayatautum95@gmail.com. 
 

Terkini