PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
Nabi Tanpa Wahyu
Buku-buku, dilenyapkan dalam bara api
memaksa mereka cengkerama dengan jelaga
Sobekan akan memenuhi ruang baca
perilaku barbar pasukan tiran suruhan raja
Dan seorang pengagumnya hanya sanggup meratapi
menangisi tinta-tinta hitam
menangisi lembar-lembar lusuh
lunglainya pena-pena lelah
Punggung beku oleh perenungan setiap malam
sungai berubah menjadi hitam legam dawat
padat kental oleh guru yang dilempar dari rak semayamnya
Bisa jadi ini hanya sebuah jeda
Seorang pengagum diam-diam memasukkan buku ke dalam jubahnya
buku boleh dibara, namun tidak dengan ilmu
sebab dia hanya perantara pikir, nabi tanpa wahyu
Pelepas rasa penasaran dalam benak
pengantar menuju alam khayal nan nyaman
pengusir sepi agar mengurusi dirinya sendiri
penyibak tirai ilmu yang selama ini menunggu
Dia boleh dibara, tapi ilmunya lebih nyala
Seorang pengagum tiba di rumahnya
dikeluarkan pena dan tinta, lilin sekadarnya dinyalakan
dikeluarkan pula papirus lusuh warna kemuning
mulailah dia menyalin isi buku, digandakan agar tak benar hilang
Dan lima ratus tahun kemudian, buku tersebut tetap ada di sebuah perpustakaan
bersiap menumpah ilhamnya pada orang-orang haus ilmu
dan sang pengagum bertambah jumlahnya jadi seribu
Tak ada buku yang benar-benar tenggelam
Tak ada buku yang benar-benar hangus
Utusan Tuhan akan selalu selamat
-Makassar, Mei 2016
Untuk Yang Dirindukan
Dalam redupnya lampu kamar, aku mulai berpikir mengenai kemayumu yang sesekali muncul di kamar tidurku.
Ada perasaan selalu lintas, perasaan tidak pernah lelah untuk susul-menyusul dengan rasa penat yang membeku.
Wangi aroma rambutmu, semerbak percik rembulan yang menembus lubang-lubang kecil dinding besar kukuh.
Wajah bening bila diterpa awan-awan yang berarak menuju birunya laut serta merahnya rona bibir tanpa lapis gincu.
Dan sebuah obrolan menenangkan akan dimulai ketika suaramu mulai berayun di pekarangan penuh rumput palsu rumahku.
Lalu kita akan merenungi setiap perbuatan bodoh yang kita lakukan secara rahasia dan tergesa di masa-masa lalu.
Semilir angin yang gairah, menyematkan kata sepakat bahwa tempat singgah paling tepat adalah pundakmu.
Semakin malam, semakin deras arus membawa kita berdua menuju ruang tamu berhias ratusan ribu cahaya bola lampu.
Kita jelang pagi sembari saling mendekap, pelukan menjerat dalam rasa takut akan kehilangan. Aku cinta kepadamu.
-Makassar, Maret 2016
Menjadi Udara dalam Balon
Kau tiupkan ruh nafasmu
aku hidup, menggembung
bersiap meliuk seperti naga
namun kali ini tanpa bara api
Kau tiupkan ruh nafasmu
kulitku hanya embun tipis
seikat tali menahannya di bumi
batas antara bebas dan terikat
Kau tiupkan ruh nafasmu
aku begitu rapuh, mudah diculik
angin malam membelai helai
pelukan selaksa hidang
Kau tiupkan ruh nafasmu
biarkan bermain, seutas rekah
ajarkan engkau lekuk pijak dari angkasa
undang senja bertamu lebih awal
Ada yang luput, aku tersesat di batas cakrawala
-Makassar, Juni 2016
Tahu Cinta
Tahu apa dia soal cinta?
Tukang kukus kacang kedelai untuk menjadi tahu pun tahu
bahwa cinta tidak pernah tahu dirinya sendiri.
Apalagi tahu mengenai apa yang diinginkan oleh pasangan,
tahu bukan salah satu poin dari daftar panjang keinginannya.
Dan tahu-tahu kita putus, dulu bermanja cengkerama hangat
sekarang membuang muka berlagak tidak tahu siapa kamu.
Dua bulan kami berhubungan, aku baru tahu kalau dia
ingin dibelikan tas buatan Eropa. Dan selepas itu
aku pura-pura tidak tahu dia dan letak rumahnya.
Ah, coba aku tahu kita akan begini jadinya,
lebih baik aku pacaran dengan
anak pembuat tahu di samping rumahku. Aku tahu dia cantik.
Kutengok hidangan yang ada di meja makan,
ada hidangan tahu sambal dan tahu orak-arik.
Aku tahu ini pasti buatan ibu. Aku tahu ini tahu buatan tetanggaku.
Mendadak ada rasa ingin mencari tahu.
-Makassar, Mei 2016
Jendela Kamarmu
Menatap jendelamu
ada nyanyian yang kau sembunyikan di balik tirai lusuhmu
menunggu dilepaskan menuju udara, berontak dalam aliran nadi
Menatap jendelamu
terdengar pertanyaan kau ucap mengenai arah angin dan cahaya bulan
memaksa mereka bicara tanpa gema, belaian tanpa jari tangan
Menatap jendelamu
ada diriku, enggan dipersilakan masuk
-Makassar, Juni 2016
Achmad Hidayat Alsair. Lahir di sebuah kota kecil bernama Pomalaa, Sulawesi Tenggara, 15 Mei 1995. Tengah berkuliah di Universitas Hasanuddin Makassar, FISIP, jurusan Ilmu Hubungan Internasional, semester 7. Hobi menuangkan hal-hal yang melintas di pikirannya ke atas kertas. Puisi-puisinya pernah dimuat di Fajar Makassar, Tanjungpinang Pos, Jurnal Asia Medan, Litera.co.id, FloresSastra.com, ReadZone.com, SultraKini.com, MahasiswaBicara.com, NusantaraNews.co, BuanaKata.com dan beberapa antologi puisi. Yang terbaru, salah satu puisinya tergabung dalam buku antologi bersama Temu Penyair Nusantara 2016 “Pasie Karam”. Bisa dihubungi melalui sur-el ayatautum95@gmail.com.