PESERTA LOMBA CIPTA PUISI HUT PERTAMA RIAUREALITA.COM
Gadis Kecil
Ada gadis kecil, menari di pojokan.
Diseret ke pinggir dan ditertawakan.
Berdarah dan terluka,
tapi si gadis kecil tidak mau menyerah.
Oh, gadis kecil, gadis yang malang....
Kupu-kupu malam, itu julukan barumu.
Tak mendapatkan keadilan, kesucian di ujung tanduk.
Menangis darahpun, tidak ada gunanya.
Hai, gadis kecil, kini kau telah beranjak dewasa.
Tapi, suara tawa yang memekakkan telinga,
masihkah kau teringat?
Dan pertanyaan muncul, akankah kata “maaf” terucap?
Gadisku... masa lalu bukanlah bagian dari sekarang.
Amarahmu untuk yang bersalah padam,
tapi kebencian untuk yang benar masih berkobar.
Ingin kau apakan hatimu, gadis malangku?
Menunjukkan bahwa kau sudah besar dan mampu menggengam dunia,
ataukah kau hanya ingin mendengar kalimat penyesalan?
Tapi aku mengerti keinginanmu, gadisku, sebuah pengakuan.
Bahwa dirimu adalah suci dan berharga.
Sajak untuk sang Pujangga
Saat masih muda, ku banyak membaca,
tak terkecuali karya dari Sang Pujangga.
Saat kepala penuh dengan tanya,
Sang Pujangga tau bagaimana cara memberi makna.
Kubuka, kubaca, kuresapi, namun tanpa bercacat cela,
Indah tak terkira!
Kata- kata Sang Pujangga tak pernah terbuang sia-sia.
Selalu bisa memompa semangat, membangkitkan asa.
Teruntuk yang kubanggakan, wahai Sang Pujangga!
Telah lama kau bertemu dewa-dewa, di nirwana,
Apakah nirwanamu -nirwana penuh cahaya kata-,
sama seperti milik mereka?
Hai, Pujangga yang tengah bermain kata di sana,
kami merindukan semangatmu yang membara.
Walaupun kami orang dua atau tiga, serasa
berlaksa-laksa menggenggam dunia
Kuingat saat Bangsaku belum merdeka,
Engkau turun tangan ikut membela.
Sindiran tajam, pedas, Kau bergaya.
Tak pelak hancurkan kebanggan musuh yang merasa berjaya.
Tak lupa kau gambarkan para prajurit dan perwira,
yang setia dan kokoh berjaga di benteng utara.
Yang merindukan isteri, anak, dan sanak saudara.
Kau abadikan jerit pilu tangis mereka.
Menyayat hati yang mendengar, memberi arti apa
yang dimaksud dengan pengorbanan untuk Negara!
Engkau pula bagaikan cerminan sejarah manusia.
Merangkum dalam bait, melukis lewat peribahasa,
bertarung melalui suka dan duka,
tak pernah mengeluh saat tak diingat atau diberi bintang tanda jasa.
Sungguh mulia...
Walau kadang kau tak bisa terlelap, tak bisa!
Tak bisa menulis dengan damai dan sejahtera,
karena selalu dikejar oleh oknum tak berhati, yang tega.
Dan sekarang, Pujanggaku yang tercinta
Siapakah yang mampu menggantikannya?
Haruskah kupilih dari barisan para pemuda,
atau itu kutinggalkan, hanya menjadi kenangan saja.
Tapi kutau Sang Pujangga ingin memiliki penerus kerjanya.
Dia yang punya keberanian untuk mengangkat pena,
dan yang mampu membungkus kebenaran dalam untaian kata.
Pujangga baru yang kehadirannya tidak ada.
Aha, cuma bercanda!
Bukannya tidak ada, hanya belum ada.
Purnama
Hai, kamu yang ada di sana,
yang selalu membuatku tersenyum dalam diam.
Apakah kau melihatnya juga?
Purnama yang sedang ada di langit.
Katakan “Iya”, maka aku akan terbang ke sisimu.
Menyadarkan kepada di bahu bidangmu,
tempatku biasa menangis dan berteriak.
Dan kau tersenyum menyambutku, menghadiahkan pelukan mesra.
Ah, aku pasti sedang berkhayal.
Karena kurasakan jam weker di dahiku.
“Uh, hanya mimpi”, tapi tak apa,
karena itu sungguh nyata.
Kuyakin aku akan bertemu denganmu,
dengan mawar putih di genggaman.
Tertusuk durinya pun takkan terasa,
karena melihatmu sungguh membuatku berdebar.
Sama seperti nelayan yang berdebar saat
datangnya bulan purnama, takut akan gelombang.
Dan begitulah, bagaikan laut yang tengah menggelegar,
hatiku juga tengah menghadapi gelombang perasaan.
Bilamana bintang jatuh, ku akan abaikan.
Tapi saat purnama datang, kupandang dengan sungguh.
Seperti jendela, aku tahu rembulan mengintip wajahmu
yang juga tengah menatapnya dengan penuh harap.
Semoga tatapan kedambaan itu untukku.
Dan senyum lembut yang canggung namun memikat.
Oh, kau sungguh seperti coklat, berkulit gelap dan manis.
Dan kini wajahmu kulihat jelas di rembulan yang sedang purnama.
Juga, terima kasih untuk senyumanmu tadi siang.
Kata orang, tidak ada alasan untuk mencintai seseorang.
Tapi aku punya, yaitu kau, adalah alasanku mencintaimu.
Sekarang, di bawah sinar rembulan, ku kembali memimpikanmu.
Pahlawan
Berani...
Gagah perkasa,
Sang Pejuang di antara semak hijau
Tertusuk duri tak apa,
selama jiwa dan raga terus membara,
tak’kan apa bila menderita!
“MERDEKA”, itu kata yang mereka cari.
Berguling di tanah, terbenam di lumpur,
bergerilya dengan penuh harapan.
Hanya untuk satu tujuan,
akan masa depan tanpa penjajahan.
Untuk masa depan yang penuh harapan.
Walaupun ditodong senapan dan diancam ditahan,
selama jiwa dan raga terus membara,
tak’kan apa bila menderita.
Berjuang sampai titik darah penghabisan,
meninggalkan keluarga tercinta, tak pernah bersua.
Pengorbanan tanpa akhir, tanpa jaminan,
hanya untuk satu keyakinan,
akan masa depan yang tanpa ada penjajahan.
Akan satu waktu di mana mereka yang mampu bertahan,
bisa berteriak, “MERDEKA!” di tanah sendiri,
tanpa ada suara desingan senapan.
Untuk semua itulah mereka disebut
sebagai seorang “Pahlawan”.
Pemuda di Ujung Masa
Untuk kalian yang terlena akan kemajuan zaman.
Untuk kalian yang tenggelam di dalam dunia khayalan.
Pemuda-pemudi di ujung masa, yang bahkan jati diripun
tersesat tak tahu arah, tak ada kabar berita!
Pernahkah kalian menjerit akan keadaan hidup ini?
Pergaulan bebas, narkoba, minuman keras,
menghancurkan rantai kepenerusan bangsa ini.
Di manakah yang dikata orang sebagai generasi emas?
Yang kulihat hanya orang muda yang berdiri lemas.
Dengan tungkai kering, dan mata memerah, tapi
dapur rumahnya masih bisa mengepul.
Heran, sungguh heran aku dibuatnya.
Tak ‘kan ada artinya emas-emas di lemari,
bila hanya dijadikan pajangan bagi orang tua.
Tak akan ada artinya!
Wahai, kalian pemuda-pemudi...
Yang kini tersesat dalam derasnya arus globalisasi.
Pejamkanlah matamu barang sejenak,
dan bayangkanlah sebuah hutan yang gelap
namun riuh rendah karena suara ledakan dan desingan senapan.
Bayangkanlah teriakan pejuang yang bertarung,
Hingga titik darah penghabisan, berteriak, menjerit, sakit.
Tak kah kalian ingin menangis?
Hanya untuk bisa mengucapkan kata ‘Merdeka’.
Hanya untuk bisa melihat kalian bebas dari
romusha, rodi, atau apalah namanya itu.
Dan apa yang kalian berikan sebagai balasan?
Duduk di atas kepala patung mereka?
Atau bahkan membuat lelucon tentang Pancasila.
Duhai pemuda-pemudi yang tengah berdiri di ujung jurang,
mereka berjuang hanya demi sebuah keyakinan.
Bahkan yang lain mati tanpa tahu kenyataan.
Tidak kah itu membuatmu ingin menangis?
Iya, menangis? Tidak? Tidak, ingin.
Maka sekarang menangis. Menangislah!
Bukan untuk mereka yang telah kalian kecewakan,
tapi untuk diri kalian yang harus berlari menuju arena perlombaan.
Memenangkan pertandingan, dan kembali membangun bangsa ini.
Supaya orang-orang tahu, siapa yang disebut sebagai
Generasi emas dari Macan Asia!
Indriani Nadila. Lahir di Pulau Telo, 18 Mei 1997 dan merupakan anak pertama dari dua orang bersaudara. Meskipun lahir di Pulau Telo, ia menghabiskan masa kecil di sebuah desa bernama Mantangai, yang terletak di Kabupaten Kapuas, Provinsi Kalimantan Tengah. Di desa itulah ia menempuh pendidikan dari Sekolah Dasar (SD) hingga tamat Sekolah Menengah Atas (SMA) dan sekarang sedang melanjutkan pendidikan di Universitas Palangka Raya, Jurusan Bahasa dan Seni, Program Studi Pendidikan Bahasa Inggris angkatan tahun 2014/2015. Selain suka berenang, hobinya yang lain adalah menulis cerita pendek dan puisi