HARUSNYA matahari sudah tersenyum dan naik sepenggalah. Pagi yang beda, entah karena aku harus segera kembali (sehingga mendung penggambaran sebuah kesedihan) atau waktunya hujan giliran membasahi bumi di mana rumah emak berdiri. Menurut cerita, sebulan menjelang bulan puasa kemarau sudah menghampiri. Sekarang, hampir delapan puluh hari dan baru pagi ini mendung tandang.
Aku merasakan kedinginan. Putri kecilku belum bangun sehabis merengek menjelang subuh tadi. Aku manikmati pagi. Udara yang masih segar, berbeda dengan tempat tinggalku sejak menikah. Meskipun tinggal di lokasi perumahan yang kata mereka masih sejuk serta udara lumayan segar, tapi di kampung emak semua itu masih tidak ada apa-apanya.
"Cepat kau masuk, hari mendung sebentar lagi akan turun hujan," ucap emak dari ruang tengah.
Aku menoleh. Hari memang semakin gelap. Kupandangi langit sekeliling, awan hitam yang berarak, dalam imajinasiku seperti berlarian tujuannya menyelimuti dunia dengan kegelapan.
Eca, bidadari kecil buah pernikahan dengan Bang Fauzy sudah dalam gendongan emak. Bocah berusia dua tahun lebih itu cukup dimanjakan neneknya. Aku saja ibunya sudah jarang menggendong karena bagiku lebih baik ia bebas berekspresi dari pada selalu dalam dekapan.
"Cepatlah kau masuk. Ngapain lama-lama di luar?"
Kebawelan emak tidak berubah. Hal semacam ini dulu sering menjadi sumber kesalahpahaman antara aku dengan beliau. Aku merasa diperlakukan bagai anak kecil yang kurang mengerti. Barulah ketika aku melahirkan Eca, hal-hal macam begitu sedikit banyak kupahami. Rasa sayang yang terlalu besar pada buah hati terkadang menjadi sumber lahirnya sikap proteksi berlebihan.
"Aku masih menikmati udara segar. Lagi juga siapa tahu jadi bahan tulisanku."
Sekali waktu aku ingin mencoba sesuatu yang berbeda. Melukiskan keindahan pagi sebagai unsur romantis sebuah cerita yang akan kugarap. Senja sudah terlalu biasa dianggap sebagai keindahan paling maha, terlebih sekelompok muda mudi dimabuk asmara.
"Cepatlah kau masuk dan letakkan HP mu. Kau tidak takut geluduk!?" seru emak lagi.
Aku hanya menghela napas. Bangkit dari posisi duduk paling santai di halaman rumah yang ditanami rumput jepang.
"Tenanglah, Mak. Hujannya juga belum turun kok," kilahku menggoda.
"Tidak pernah berubah. Selalu membantah omongan orangtua, aku lebih paham kehidupan ini," cecarnya kemudian.
"Xi xi xi. Mak ... Udahlah. Ngapain langsung ngomel, lupakanlah."
Emak melongos masuk ke dalam. Eca tetap anteng dalam gendongannya. Aku mengedipkan mata padanya, sesaat kemudian di layar monitor nomor Bang Fauzy memanggil.
Aku dan suami hanyut dalam obrolan meskipun baru tiga hari berpisah. Cuti lebarannya sedikit, hingga ia mengalah pulang lebih dulu karena aku izin akan menghabiskan kerinduan bersama emak di kampung saja.
"Sudahlah hentikan itu. Kau memang tidak takut geluduk ya!" Terdengar lagi seruan emak dari jarak beberapa meter.
Sepertinya hujan, geluduk dan telepon satu kesatuan paling klop membuat kebencian emak tidak pernah surut. Aku menyudahi perbincangan itu, untunglah Bang Fauzy sudah sangat memahami hal satu ini.
Kemudian tawa kecil Eca terdengar dari belakang. Rumah mungil ini memang tidak bisa menghalangi suara dari segala sumber. Eca tengah asyik bermain air saat dimandikan neneknya. Tawanya renyah. Emak pasti menikmati kebersamaan mereka. Langkahku sudah menuju kamar. Aku ingin bermalas-malasan saja di ruang istirahat itu.
"Aaaaa"
Teriakan pertama setelah geluduk pada pukul sepuluh pagi ini. Eca mungkin terkejut, begitupun aku, mungkin juga emak. Beliau segera memberi perintah pada putriku. "Ayo cepat, nanti cucu nenek yang cantik ini kedinginan."
***
Emak tidak pernah menaruh curiga terhadap aktivitas bapak, terlebih sejak awal menikah memang terbiasa berpisah jarak. Dalam seminggu hanya dua atau tiga hari saja kebersamaan mereka. Pekerjaan satu sama lain saling memberatkan. Tepatnya tak satupun di antara mereka bersedia mengalah, melepas atau pindah cari pekerjaan lain agar bisa kumpul bersama.
Emak yang juga punya tanggung jawab pekerjaan pun tidak pernah ikut campur urusan pribadi bapak. Mereka seperti saling mengikat kepercayaan atas nama cinta. Semua memang baik-baik saja sebelum hujan mengguyur istana kami. Hingga petir menyambar serta meluluhlantakkan segalanya.
Bapak jarang pulang dengan alasan pekerjaan semakin menumpuk. Sejak menerima jabatan baru memang aku menyaksikan beliau sering pulang dengan oleh-oleh setumpuk berkas. Aku yang sudah duduk di kelas dua SMA pun sering membantu. Hingga wajar jika bapak sering absen dari rutinitas kebersamaan kami akhir pekan.
Pagi itu, mendung yang tidak pernah terlupakan. Setelah hampir sebulan bapak tidak pernah kembali. Terpaksa harus dikejutkan oleh sebuah berita.
"Sejak kapan kalian menjalin hubungan?"
Aku mengintip dari balik pintu. Menguping pembicaraan emak lewat telepon. Saat itu terjadi, komunikasi memang sudah mudah. Kampung kami sudah memiliki tower pemancar jaringan selular. Keabsenan bapak bisa digantikan lewat sapaan dari ujung telepon. Lalu, mengapa harus begini?
Emak terisak lalu dengan tegasnya mengeluarkan sebuah kalimat perintah atau larangan. Aku tidak bisa membedakan. Pastinya, hari itu hatiku turut hancur.
"Jangan pernah kembali bila masih bersamanya!"
Geluduk saling bersahutan. Pagi itu, sekitaran pukul sepuluh langit sangat hitam. Pekat. Tiada cahaya matahari. Tidak ada kehangatan. Sejak itu aku tahu, aku harus tumbuh menjadi anak mandiri. Begitu juga emak.
***
Hujan turun dengan lebatnya. Ribuan jarum langit berjatuhan dan pecah di bumi. Di atap, pada dedaunan, kelopak bunga dan ke segala arah. Geluduk pun turut serta. Saling sahut dengan suara memekakkan telinga.
Emak masih saja bernyanyi soal larangannya menyentuh HP. Sementara Eca sudah larut dalam permainan cerdas cermat meskipun yang ia nikmati hanya berupa suara penanda jawaban benar atau salah.
Aku tahu jika bermain HP pada waktu hujan memang berbahaya. Sekali dua kali aku mendapati kabar bila ada yang tersambar petir ketika hujan turun dan mereka tetap memainkannya.
Bukan. Bukan karena Eca atau berita itu. Aku tahu. Hampir sepuluh tahun sejak hari itu, geluduk pukul sepuluh pagi seperti penanda bila ia telah kehilangan suami. Seperti geluduk yang tiada pasti datangnya, hubungan nerekapun sama. Terkadang tegas juga harus jelas.
Geluduk pukul sepuluh pagi. Entah sampai kapan emak bisa berdamai.
Asahan, 16062016
Mawar Dani, tinggal di Jl Perintis Kemerdekaan Desa BP Mandoge, Asahan.