Kematian Seekor Anjing pun Tak Ada yang Sebiadab Kematiannya

Ahad, 17 Juli 2016 | 14:34:52 WIB
Ilustrasi. (Extrospection Art)
AKU masih bisa memaklumi jika koran, majalah, tabloid dan media sosial banyak yang membicarakan tentang kematian pamanku. Dalam hati, aku menaruh hormat pada mereka karena hal itu bisa menjadi salah satu bukti bahwa sebagian warga negara ini masih punya hati yang welas, yang masih mau bersimpati terhadap kesengsaraan yang menimpa saudaranya. Mereka menganggap bahwa apa yang dilakukan pamanku adalah sikap kepahlawanan kepada lingkungan. Dan menurutku memang seperti itulah kenyataannya. Lalu mereka membuat tuntutan-tuntutan terhadap pemerintah untuk segera mengusut kasus kematian pamanku itu dengan tuntas. 
 
Salimi, begitu nama pamanku ini. Dia adalah aktivis lingkungan hidup, terkhusus di sekitar daerah yang kami tinggali. Selama ini beliau telah memperjuangkan agar maraknya penambangan pasir di sepanjang pantai Srondol dihentikan. Paman Salimi secara getol telah mengkritisi bahwa perilaku sewenang-wenang itu harus segera dihentikan.
 
Menurut paman Salimi, jika penambangan pasir liar itu tetap berlangsung, tidak menutup kemungkinan akan merusak habitat pantai. Tanaman bakau yang dulunya tumbuh subur di sana kini lambat laun hilang tak tersisa. Padahal kita tahu hutan-hutan bakau itu adalah palang utama untuk melindungi pantai dari gempuran ombak laut. Abrasi lahan di sepanjang hilir pantai akan terus berlanjut jika tak ada larangan bagi penambangan liar. Jika pantai itu rusak, lahan-lahan di sekitarnya akan hilang ditelan bentangan air laut yang terus bergolak.
 
Dengan begitu, orang-orang itu telah menganggap bahwa tindakan paman Salimi dinilai sebagai upaya yang berani, berani untuk menghadapi mafia-mafia tambang pasir. Bahkan banyak juga teman-temanku yang menulis status di facebooknya mengenai kematian paman Salimi. Setiapkali aku membacanya seperti mendapatkan penguatan  hati karena perasaan sedih yang kami tanggung. Semakin banyak aku membaca tulisan-tulisan itu semakin menyadarkan aku bahwa paman Salimi memang sosok yang baik. Sebaik yang kukenali selama ini. Bahkan bagiku dan saudara-saudaraku, kebaikan paman tidak sebatas pada kiprahnya di lingkungan hidup saja, paman Salimi adalah sosok yang mengantikan peran bapak yang sudah lama tiada. 
 
Tapi jujur, aku tidak suka dengan kepedulian yang ditunjukkan oleh orang yang satu ini, yaitu pak Drajat, kepala desa Srondol. Aku menamai apa yang dilakukannya sekarang ini adalah sebuah kemunafikan. Karena yang kutahu, sewaktu paman Salimi masih hidup, justru pak Drajat-lah orang yang paling berpengaruh menghalang-halangi protesnya. Aku menduga justru mafia-mafia tambang itu telah mendapat restu darinya. Dan kini, setelah tahu paman Salimi meninggal, dia bergaya suci dengan actingnya sebagai tokoh yang penuh semangat menyuarakan kepedulian terhadap nasib paman Salimi. Bahkan pak Drajat membuat spanduk yang sangat besar bertuliskan: Kematian  Seekor Anjing pun Tak Ada yang Sebiadab Kematiannya. Sebenarnya aku suka kata-kata itu, yang bisa memberi pengertian lebih dari kematian yang mengerikan tapi karena aku menangkap bahwa apa yang dilakukan pak Drajat itu tidak tulus, aku menjadi tidak suka. Entah apa tujuan pak Drajat melakukan itu semua tapi hatiku mengatakan bahwa pak Drajat punya pamrih tertentu. Bahkan aku menduga  justru pak Drajat-lah dalang pembunuhan terhadap paman Salimi tapi aku belum punya cukup bukti untuk meyakini apa yang kupikirkan itu benar.
 
Dulu paman Salimi pernah cerita kepadaku, bahwa sesungguhnya pak Drajat itu adalah teman karibnya semasa remaja. Hubungan itu mulai merenggang saat mereka menginjak dewasa, terlebih saat pak Drajat mendaftarkan diri sebagai calon kepala desa Srondol. Sifat pak Drajat yang cenderung menghalalkan segala cara tidak disukai oleh paman Salimi. Termasuk ketika di pesisir pantai Srondol tiba-tiba datang beberapa penambang pasir liar, pak Drajat tidak berusaha menghalangi penambangan itu meski saat kejadian itu dia telah menduduki kursi kepala desa. Jika pak Drajat mau, cukup memperingatkan kegiatan itu akan selesai masalahnya karena dia mempunyai wewenang untuk itu. Dan tentu saja tragedi pembunuhan paman Salimi tak akan pernah terjadi.
 
Oya, baik paman Salimi maupun pak Drajat sama-sama mempunyai kekuatan. Tubuh mereka tidak mempan oleh senjata apapun. Hanya bagaimana ceritanya kedua orang ini sampai punya kekuatan seperti itu yang berbeda. Pada satu kesempatan paman Salimi menceritakan hal itu kepadaku.
 
"Dari sejak muda, paman sangat menyukai alam. Paman senang bersahabat dengan alam. Sebisa mungkin paman menjaga kelestarian alam ini. Dari situlah tanpa paman sadari sepertinya alam membalas perhatian paman. Tahu-tahu paman seperti mendapat wahyu. Setiapkali kaki paman menginjak tanah, seperti ada aliran energi yang merasuk ke tubuh paman. Jadilah paman mempunyai kekuatan itu," Begitu penjelasan paman dulu. 
 
"Sepertinya tidak masuk akal," tanggapanku dulu.
 
"Jika kamu baik dengan alam, alam akan membalas kebaikan kamu," sahut paman.
 
"Bagaiamana dengan pak Drajat, Paman?" tanyaku kemudian.
 
"Kekuatan Drajat diperoleh dari bersekutunya dia dengan iblis," jawab paman.
 
"Apakah masyarakat tahu hal ini, Paman?" tanyaku lagi.
 
"Tidak ada yang tahu. Mereka hanya menduga-duga dan menganggap kami berdua berasal dari satu perguruan yang sama."
 
*** 
 
Saat ini aku sedang menghadiri panggilan dari pihak kepolisian. Polisi akan menanyakan beberapa pertanyaan kepadaku sebagai saksi. Proses tanya jawab sedang berlangsung. Dari awal pertemuan tadi aku dapat lancar menjawab semua pertanyaan polisi dengan jujur. Di sela-sela waktu tanya jawab itu, ada dua polisi sedang berbincang membicarakan sesuatu. 
 
"Yang kutahu, orang-orang yang punya kekuatan seperti itu biasanya punya pengaapesannya."
 
"Apa itu?"
 
"Semacam rahasia cara melumpuhkannya."
 
Ketika aku mendengar obrolan itu aku menjadi yakin kalau pak Drajat-lah dalang dari pembunuhan paman Salimi. Tubuh paman Salimi ditemukan di atas papan kayu setinggi kira-kira dua meter seperti sebuah bangunan panggung dengan badan terpotong menjadi tiga bagian dan sebagian kepalanya remuk. Lalu aku ingat percakapanku bersama paman Salimi dulu. 
 
"Selama paman masih menginjak bumi, senjata apapun tak akan mampu melukai tubuh paman," begitu katanya.
 
"Paman hebat!" sahutku.
 
"Dan kami berdua saling tahu pengaapesannya," sambung paman.
 
"Kalau pengapesan pak Drajat apa, Paman?"
 
Tak kusangka, waktu itu paman Salimi menjawab pertanyaanku. Jadi sekarang aku akan menunggu dulu bagaimana kiprah kepolisian ini. Jika  mereka kewalahan barulah aku akan turun tangan. ***
 
 
 
Yuditeha. Aktif di Komunitas Sastra Alit Surakarta. Tinggal di Jaten, Karanganyar.
 

Terkini