Sebut Masyarakat Indonesia Bermental Gratisan, Dewan: Sri Mulyani Blunder

Sebut Masyarakat Indonesia Bermental Gratisan, Dewan: Sri Mulyani Blunder
Menteri Keuangan, Sri Mulyani Indrawati. (foto: afp)

JAKARTA - Kalangan dewan menyesalkan pernyataan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati yang menyebutkan bahwa masyarakat Indonesia bermental gratisan.

Anggota Komisi XI DPR RI, Heri Gunawan heran, pernyataan tersebut bisa dilontarkan Sri Mulyani, padahal dia sendiri mengakui bahwa investasi di tiga sektor infrastruktur, pendidikan, kesehatan sangat mahal.

"Kita tak bisa salahkan rakyat. Yang salah itu pemerintah sendiri. Pemerintahlah yang telah membentuk watak seperti itu. Dalam waktu yang cukup lama, mereka telah keliru menjalankan pembangunan," jelas dia dalam keterangan tertulis, Kamis (3/8/2017).

Hal itu, menurutnya, karena program-program yang dimunculkan pemerintah bersifat jangka pendek, miskin pemberdayaan, dan sangat pragmatis. Ujung-ujungnya, masyarakat menjadi pasif. 

"Tidak usah jauh-jauh mengambil contoh. Saat ini, pemerintah bisa dengan gampang menjalankan program cukup pakai kartu ini-kartu itu. Tidak ada penjelasan yang cukup, kenapa kartu itu dibuat, untuk apa, dan tujuannya kemana, lalu masyarakat musti bagaimana. Sama sekali tidak mendidik. Yang penting masyarakat sudah dapat “uang duduk”. Semua beres. Segampang itulah pembangunan dijalankan saat ini," urainya.

Politisi Partai Gerindra ini menilai, selama ini, masyarakat hanya menjadi objek "proyek” pembangunan. Padahal, UU 25 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional misalnya, dibentuk agar masyarakat bisa terlibat aktif dalam pembangunan sejak perencanaannya. 

"Namun, dalam praktiknya, jauh dari harapan. Masyarakat hanya jadi pelengkap formalitas proses pembangunan yang telah digariskan. Bahkan, dalam banyak kasus, apa yang dibutuhkan masyarakat, jarang terealisasi," sesalnya.

Dalam proses pengentasan kemiskinan misalnya, lanjut Heri, masyarakat lagi-lagi hanya jadi objek dari "proyek” itu. Hasilnya, yang miskin tetap saja miskin. Bahkan, kata dia baru-baru ini dilaporkan angka kemiskinan bertambah sebesar 6.900 orang. 

"Yang mengejutkan, ketimpangan malah semakin lebar. Angkanya hamper 40 persen. Artinya, ada 1 persen orang yang menguasai 40 persen kekayaan nasional. Sedang 99 persen sisanya dibiarkan tergantung, tidak mandiri, dan rentan terpojok dalam kemiskinan," imbuhnya.

Investasi yang diharapkan mampu mengerek pertumbuhan produktif pun menurut dia tidak terlalu efektif. Investasi untuk mengerek sektor-sektor produktif seperti UMKM serta sektor pertanian, kelautan, perikanan juga belum maksimal. Padahal, menurutnya sebagian besar masyarakat kita hidup dan bekerja di sektor itu, bahkan lebih dari 50 persen. 

Hal itu semua dikatakannya adalah akibat dari proses pembangunan yang salah dan jauh dari prinsip “kemanusiaan dan keadilan sosial.” Pembangunan semacam itu lahir dari suatu model ekonomi neolib yang menghadirkan pembangunan dengan gebyar-gebyar kemewahan di tengah-tengah kemiskinan. Pembangunan infrastruktur di tengah-tengah kecemburuan akibat ketimpangan yang lebar. Pembangunan yang hanya dikuasai oleh segelintir orang yang membentuk kartel, dan cenderung mengarah kepada Kartelisme.

"Pada akhirnya, akibat dari pembangunan neolib itu, masyarakat jadi cap capek oleh kemiskinan; capek oleh iklan-iklan mewah; capek oleh janji-janji. Ujungnya, yang muncul adalah apatisme. Mereka tak berdaya dan memilih pasrah. Sebab itu, sekali lagi, pemecahannya satu: bagaimana pemerintah kembali ke jalan ekonomi konstitusi yang sesuai semangat Pancasila dan UUD 1945 untuk sebesar-besar "kemakmuran dan kesejahteraan yang dilandaskan pada keadilan sosial bagi seluruh rakyat." 

"Dengan begitu, maka pemerintah akan mampu menjalankan sebuah pembangunan yang mampu mengangkat harkat, mengangkat martabat, yang melihat masyarakat bukan sebagai objek, tapi subjek pembangunan," pungkas Heri. (max/rmol.co)


Berita Lainnya

Index
Galeri