Opini

Uji Kompetensi Wartawan, Ambang Kepunahan Jurnalisme Warga yang Menawan

Uji Kompetensi Wartawan, Ambang Kepunahan Jurnalisme Warga yang Menawan
Ilustrasi.
Oleh: Makmuriyanto
 
Perusahaan pers dan wartawan, yang benar-benar berada di "jalannya", tentu sangat setuju dengan adanya aturan mengenai verifikasi perusahaan pers dan kompetensi wartawan oleh Dewan Pers yang beberapa bulan terakhir kembali marak diperbincangkan. Pemberitaan hoax menjadi salah satu penyebab terkuat untuk mengabsahkan lagi "langkah" ini.
 
Mengenai peraturan dan perundang-undangan dalam hal ini, saya tidak akan bahas, tidak pula akan saya singgung mengenai perusahaan pers dan wartawan "abal-abal" secara mendalam. Karena semua sudah tersedia dalam mesin pencarian seumpama Google. Saya ingin mengajak untuk "menepi" sedikit ke Jurnalisme Warga.
 
Tak dapat ditampik, bahwa keberadaan Jurnalisme Warga sangat berperan dalam keberlangsungan profesi kewartawanan. Buktinya, hampir setiap media, dari yang "mapan" hingga yang "pas-pasan" dan yang sudah "direstui" hingga yang masih berada dalam "bayang-bayang" aturan, telah menyediakan ruang khusus bagi keberadaan mereka.
 
Jurnalisme Warga, sebagaimana dicatat Wikipedia, adalah kegiatan partisipasi aktif yang dilakukan oleh masyarakat dalam kegiatan pengumpulan, pelaporan, analisis serta penyampaian informasi dan berita. Pada hakikatnya, Jurnalis Warga ini hidup "amfibi" dalam hal memilih wadah untuk menyampaikan informasi. Sebab, mereka bisa memilih ruang-ruang khusus dari sejumlah media tadi atau sekadar menyiarkannya melalui blog maupun media pribadi.
 
Jika dilongok kembali, Jurnalisme Warga merupakan produk jurnalistik. Sebab, ia telah memenuhi defenisi tentang jurnalisme itu sendiri sebagaimana yang tercantum dalam KBBI, yaitu pekerjaan mengumpulkan, menulis, mengedit, dan menerbitkan berita dalam surat kabar dan sebagainya.
 
Hal lain yang memperkokoh peran Jurnalis Warga dalam menyampaikan berita adalah, mereka berada di mana saja dan kapan saja. Artinya, tak semua kejadian tak terduga akan dapat tertangkap oleh wartawan sekaliber apapun di dunia. Peristiwa Tsunami di Aceh beberapa tahun lalu menjadi bukti konkretnya.
 
Lebih jauh lagi, produk-produk dari Jurnalisme Warga juga mampu "disulap" menjadi pundi-pundi yang dapat menolong perekonomian. Itulah yang membuat pekerjaan ini menjadi tampak lebih "menawan". Lalu, akankah peraturan di atas "melumpuhkan" kaki mereka dalam "menjejaki tangga" dunia jurnalistik? Inilah yang kemudian menjadi pertanyaan.
 
Sebenarnya, Jurnalis Profesional dan Jurnalis Warga berdiri sejajar di "mata pena" jurnalistik. Mereka hanya dibatasi oleh "tembok" bernama "kartu pers" yang dijadikan "tempat bernaung" bagi Jurnalis Profesional dalam melakukan pekerjaannya. Maka, hak untuk mengumpulkan data bagi mereka sama kuatnya.
 
Sementara, sejak peraturan Dewan Pers itu digulirkan, "angin" berhembus kencang mengenai pembatasan dalam instansi maupun lembaga pemerintahan yang hanya akan menerima wartawan "berlabel khusus" untuk melaksanakan kegiatan peliputan. Contoh terdekat yang saya ambil adalah di Provinsi Riau, meski belum seluruh kabupaten/kota menerapkan.
 
Jika sudah demikian, lalu lambat-laun instansi maupun lembaga pemerintahan di seluruh pelosok negeri ini mengaminkan, alhasil, Jurnalisme Warga akan berada di ambang kepunahan.
 
Maka seyogianya, cukuplah peraturan-peraturan itu berjalan di "poros" yang sepatutnya. Tak perlu ada pembatasan-pembatasan yang mendiskreditkan. Sebab, menggali dan menyebarkan informasi, dari, kepada dan untuk siapa, adalah hak segala warga negara Indonesia. Terkait baik dan buruk pengaplikasiannya, sudah ada hukum yang berbicara. Mari kita nikmati demokrasi yang indah itu bersama-sama. *
 
 
Makmuriyanto, S.I.Kom. Pimpinan Umum Riaurealita.com. Menyelesaikan pendidikan terakhirnya di jenjang Strata I Universitas Abdurrab Pekanbaru, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Jurusan Ilmu Komunikasi.
 


Berita Lainnya

Index
Galeri