Enggang

Enggang
Delvi Adri
“Pergilah, tapi Abang harus janji akan pulang.” Itu kalimat terakhir yang kudengar dari bibir manisnya beberapa tahun yang lalu. Namanya Anita, dan dia kekasihku.
 
Dulu sewaktu masih  di kampung, aku dan Anita hampir setiap sore menghabiskan waktu bersama. Banyak hal yang kami lakukan. Bernyanyi dengan petikan gitar yang kumainkan, tertawa dan bersenda-gurau. Terkadang membuat lelucon-lelucon aneh. Tak jarang pula kami menghayal tentang kehidupan kami di masa yang akan datang. Anita ingin mempunyai dua orang anak dariku, sedangkan aku ingin memiliki empat orang anak darinya. Jika sudah menghayal seperti itu, Anita selalu merebahkan kepalanya di pundakku. Aku rindu masa-masa bersamanya. Namun, yang tidak pernah kami lewatkan setiap sore adalah memperhatikan tingkah pasangan burung enggang yang bersarang di pohon besar di sisi kiri rumah Anita yang berjarak sekitar 200 meter.
 
Pernah Anita berkata padaku, “Bang, lihat enggang-enggang jantan itu. Begitu  setia pada betinanya, selalu mengantar dan memberi makan ketika sang betina mengerami telur-telur mereka.” Aku hanya tersenyum sembari memandangi tingkah beberapa pasang enggang yang bersarang di pohon besar itu. 
 
“Bang, aku ingin abang selalu setia, abang janji ya?” Anita memandangku dalam, aku hanya bisa tersenyum, mengangguk, dan berusaha meyakinkannya.
 
Lalu, apakah enggang benar-benar setia pada pasangannya? Anita pernah mengatakan hubungan kami persis seperti pasangan enggang. Karena kesetiaan enggang menurut Anita sama dengan kesetiaanku yang selalu menemaninya setiap sore. Setiap kali kami memperhatikan tingkah enggang-enggang itu, Anita selalu saja memintaku agar berjanji untuk selalu setia padanya. Seperti biasa, aku hanya tersenyum, mengangguk, dan berusaha meyakinkannya.
 
Sebenarnya aku ragu apakah aku bisa menepati janji-janji yang diminta oleh Anita. Bukan karena aku tidak sungguh-sungguh padanya. Namun sebaliknya, aku ragu apakah Anita sungguh-sungguh ingin hidup bersamaku.
 
Ada satu hal yang ingin aku sampaikan pada Anita. Aku ingin sekali merubah kehidupanku. Sudah lama aku berkeinginan untuk mencari kehidupan yang lebih layak di kota. Aku belum bisa mengatakan keinginanku itu pada Anita, takut dia  akan kecewa. Dan itu juga kenapa janji-janji itu begitu berat kurasakan. Bisa saja jika aku sudah berhasil di kota, aku jadi lupa diri, lupa semua janji-janjiku pada Anita. Atau sebaliknya, jika aku tidak berhasil di kota, bagaimana mungkin aku bisa melamar Anita. Aku ragu meninggalkan Anita. Aku pun takut Anita tidak bisa menungguku untuk waktu yang lama, apalagi hubunganku dengan Anita hanya sebatas sepasang kekasih.
 
Pernah suatu malam aku bermimpi. Di dalam mimpiku itu Anita dilamar seorang pemuda yang jelas sekali status ekonominya melebihi yang aku punya. Namun, karena Anita bersikeras hanya ingin menikah denganku, maka pemuda itu berupaya untuk menyingkirkanku.  Pemuda itu mencelakaiku dengan sebilah pisau, ia menghujamkan sebilah pisau tepat di perutku. Melihat tubuhku yang bersimbah darah dan kritis, Anita berlari menghampiri dan memangku kepalaku.
 
Saat pandanganku mulai gelap, aku melihat Anita mengiris nadi tangannya. Terakhir sebelum terbangun dari mimpi, aku melihat Anita terkapar di sampingku. Sekilas mimpi yang pernah kualami itu hampir mirip dengan kisah percintaan Jayaprana dan Nyoman Layonsari.  Dalam legenda Bali itu, Layonsari memilih bunuh diri karena tidak mau dinikahi penguasa yang telah membunuh Jayaprana suaminya. Sungguh aku ingin sekali Anita memiliki kesetiaan yang dimiliki Layonsari.
 
Sore itu aku kembali menemui Anita dengan maksud menyampaikan keinginanku untuk merantau. Mencari kehidupan yang layak di kota dan merancang kehidupanku di masa depan bersama Anita. Sebenarnya aku tidak tega mengatakannya. Namun, tekadku yang telah bulat memaksaku untuk mengatakannya. Walau pun aku tahu, Anita  pasti kecewa.
 
“Bang, apa ada sesuatu yang membuat abang begini?”
 
“Tidak Anita, abang hanya.” Belum sempat aku melanjutkan perkataanku, Anita sudah menimpali dengan pertanyaan lain.
 
“Apa abang sakit?” sangat jelas sekali seraut kecemasan terpancar dari wajah Anita.
 
“Anita sayang...” Aku menatap dalam mata Anita dan mengatakan keinginanku padanya. Sungguh berat meninggalkan Anita, apa lagi melihat air mata yang menggenang di kedua matanya. Namun, aku harus pergi, demi masa depan kami.
 
***
 
Hari berganti minggu, bulan berganti tahun. Aku mendapat surat dari Anita. Semenjak aku tinggal dan bekerja di kota, Anita memang setiap bulan selalu mengirimiku surat. Namun, kali ini surat yang dikirim Anita cukup membuatku terhenyak. 
 
Untuk, Bang Amran:
 
Assalamualaikum wr. wb.
Apa kabar bang Amran? Semoga Abang dalam keadaan sehat. Bang, Kapan abang akan pulang? Sudah terlalu lama rasanya Anita menunggu abang. Sudalah, Anita tidak mau  berharap terlalu banyak bang. 
 
Bang, beberapa pejantan enggang sudah tidak pernah lagi datang mengantarkan makanan untuk betinanya. Anita juga melihat beberapa betina tak lagi mengerami telur-telur mereka. Apakah kesetiaan enggang-enggang yang kita agung-agungkan itu bisa memudar? akhir-akhir ini Anita selalu memikirkan abang, setiap kali melihat satu persatu enggang di pepohonan mulai meninggalkan sarangnya. Entah apa yang terjadi, apakah mereka sudah mendapatkan persinggahannya yang baru?  
 
Bang, Ada hal yang ingin Anita bicarakan. Sebenarnya ingin sekali Anita bertemu dengan abang untuk membicarakan ini. Namun, Anita pikir tidak mungkin rasanya untuk kita bertemu. Bang, dua hari yang lalu bang Asrul datang ke rumah. Bang Asrul bicara pada Bapak perihal keinginannya untuk melamar Anita. Anita harap abang bisa pulang.
 
 
Tanjung Harapan, November1990    
 
 
    Salam hangat, 
    Anita
 
 
Itulah surat terakhir yang kuterima darinya. Bukan aku tidak mau pulang untuk menemui Anita. Hanya saja saat itu, sangat tidak memungkinkan bagiku untuk pulang. Aku pun tidak membalas surat terakhirnya. Bukan sengaja tidak membalas, tapi aku memang tidak tahu harus berbuat apa. Terakhir, aku mendengar kabar, Anita sudah memiliki seorang anak lelaki
 
Sejak aku menetap dan mencari kehidupan di kota ini, hanya satu kali aku kembali ke desa. Saat gema takbir mulai berkumandang. Itu pun setelah aku tahu Anita sudah memiliki putera. Paginya, saat matahari sudah 30 derajat di ufuk timur, aku harus kembali ke kota.
 
Sepanjang jalan, aku mengamati, suasana desa tidak lagi seperti dulu. Aku teringat pada Anita dan selembar surat terakhir darinya. Enggang tidak pernah meninggalkan pasangannya. Tetapi, rumah tempat mereka memadu kasih sudah berganti dengan ribuan akasia setinggi lima meter.
 
Pada kepulanganku itu, bukan aku tidak sempat bertemu Anita, untuk sekedar silaturahmi. Aku tidak yakin, apakah aku sanggup bertemu dengannya. Aku tahu, Anita masih berada di desa dan tinggal bersama puteranya yang mulai beranjak dewasa. Entah kapan aku akan bertemu dengannya. Aku pun tidak tahu apakah aku akan kembali lagi ke desa dalam waktu dekat. Atau mungkin, aku akan kembali saat kematian mengantarku, bersama penyakit yang ku derita sejak menetap di kota bedebah ini.**
 
 
Delvi Adri adalah seorang jurnalis dan peminat sastra. Beberapa karyanya pernah dipublish di beberapa media lokal di pulau Sumatera, seperti Riau Pos, Medan Bisnis, Batam Pos, Metro Riau, Majalah Sagang, Koran Riau dan lain-lain. Beberapa karyanya juga terangkum dalam antologi  SALAD BOWL ‘AJAIB’ (2011) dan Antologi Puisi Mutiara Relung Hati (2011). Cerpen Idealis salah satu cerpen pilihan Riau Pos (Hikayat Bunian) 2015. Menetap di Pekanbaru.


Berita Lainnya

Index
Galeri