Opini

Media, Mengontrol atau Dikontrol?

Media, Mengontrol atau Dikontrol?
Jufri Hardianto Zulfan. (Foto: Ist)
Oleh: Jufri Hardianto Zulfan
 
PADA awalnya, cita-cita ini sama. Cita-cita sejak awal kemerdekaan di era kepahlawanan hingga di awal reformasi, yaitu di era memperjuangkan keadilan dan kejujuran masih tetap sama. Sama-sama berharap maju dalam kemajuan yang bermartabat dan bermoral untuk Indonesia. Rasanya, tidak ada satupun persoalan yang belum dimiliki dan memiliki hukum untuk mengaturnya karena memang sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 BAB I tepatnya pada Pasal I Ayat (3) menyatakan, “Negara Indonesia adalah negara hukum”, semua perihal telah diatur dengan berbagai macam bentuk peraturan, namun yang mencengangkan adalah, semakin banyak aturan justru tidak semakin berkurang segala bentuk tindakan kejahatan dan perbuatan yang tidak bermoral lainya. Ini membuktikan kepada kita bahwa tidak serta-merta banyaknya aturan akan beriringan dengan berkurangnya kejahatan dan kebobrokan moral. Sedangkan indikator dari moral tersebut adalah rasionalitas, kejujuran, bertanggung jawab, adil dan produktif. (lihat, Soerjono Soekanto dan Mustafa Abdullah 1980:166, dalam Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, 2008:8).
 
Jika kita telisik di zaman modern ini, segala sesuatu dapat saja kita saksikan, baca dan apapun itu dengan leluasa melalui media (baik itu media cetak ataupun media lainya). Perkembangan ini menunjukkan kepada kita bahwa hanya ada dua kemungkinan yang akan terjadi ketika seseorang mulai berhubungan dengan media tersebut, yaitu kemungkinan baik dan kemungkinan buruk, sehingga kemungkinan-kemungkinan ini sangat memungkinkan pula untuk terjadinya penipuan publik secara umum dan terbuka serta memungkinkan juga adanya arahan-rahan pihak tertentu untuk memberitakan dan tidak memberitakan suatu berita tertentu kepada masyarakat. Di sisi lain, pers memiliki posisi yang sangat penting di dalam berjalan tidaknya roda pemerintahan yang demokratis, hal ini senada dengan eksis atau tidaknya pemerintahan tersebut. 
 
Di negara-negara demikian, pers pada kenyataannya tidak sekadar memberikan suatu peristiwa yang berkembang di dalam masyarakat. Tidak sedikit pers juga memberikan penilaian-penilaian tentang peristiwa-peristiwa itu. Berkaitan dengan kekuasaan, atau kebijakan-kebijakan yang akan atau telah dibuat, pers bisa melakukan kritikan atau bahkan oposisi, atau sebaliknya memberi dukungan.
 
Di dalam sistem politik yang demokratis, adanya kritik atau oposisi dan dukungan merupakan energi yang cukup baik bagi berjalanya suatu sistem. Kritik akan memungkinkan pemerintah untuk lebih hati-hati dan lebih responsive serta accountable di dalam membuat berbagai kebijakan. Tetapi di banyak negara, pers juga memberikan dukungan, baik kepada elite tertentu maupun kepada kebijakan-kebijakan yang dibuat dan diimplementasikan oleh para elite itu. Dukungan seperti ini juga berfungsi karena melalui dukungan semacam itu berarti ada legitimasi. Dengan demikian, keputusan-keputusan yang dibuat juga memiliki dukungan yang cukup. (Kacung Marijan, 2011:295).
 
Di  sisi lain, dalam pemilu, media massa bisa saja mempublikasikan berbagai macam isu, termasuk program-program yang ditawarkan oleh calon dan partai, media massa juga bisa mengkritisi isu-isu tersebut, dalam situasi terakhir ini media massa bisa menguntungkan atau merugikan calon dari partai tertentu atas publikasinya, dapat juga media menambah maupun mengurangi dari kehendak pemberitaan yang dimaksud tersebut. Selain itu media massa juga bisa menjadi saluran khusus bagi calon ataupun partai untuk mempromosikan dirinya. Kecendrungan terakhir ini semakin menguat setelah mendapati realitas bahwa kehadiran  pemberitaan yang positif dan iklan di media itu relative menguntungkan calon atau partai. Melalui citra yang positif di media, bisa memperkuat pilihan seseorang, atau bahkan bisa mengubah pilihan seseorang dari politisi atau partai yang satu ke politisi atau partai yang lain, hal ini mengingatkan kita bahwa betapa besarnya peran media dalam penentu opini masyarakat terkait suatu objek tertentu.
 
Namun, penulis memberikan pertanyaan sederhana terkait hal di atas tersebut, di antaranya:
 
1. Bagaimana jika sebagian media yang telah memaparkan suatu informasi hoax atau berita bohong dan berita ini telah menyebar ke seantero negeri?
 
2. Bagaimana pula dengan media yang telah 'ditunggangi' oleh berbagai politisi dan partai dengan berbagai kepentingan? Sehingga dimuat atau tidak dimuatnya suatu berita tergantung dari “Request” mereka yang 'menunggangi'.
 
Kita harus sadar bahwa jika media yang melakukan pembodohan itu berarti ia telah melakukan pembodohan secara publik yang memakan korban tidak sedikit. Hingga kita tidak mengetahui lagi siapa dan bagaimana cara menentukan media yang benar-benar jujur dalam pemberitaannya. Seandainya saja pemilik media memahami dan menginsyafi bahwa jika satu kali berita bohong saja yang ia kabarkan maka kita perhatikan berapa banyak dan bahkan berapa ribu orang di dunia ini yang telah tertipu dengan satu pemberitaan, dan selanjutnya bagaimana pula jika pemberitaan-pemberitaan palsu ini terjadi secara berulang.
 
Sejujurnya, ada beberapa kensekuensi yang seharusnya dijaga oleh para pemilik media, di antaranya:
 
1. Mereka harus sadar bahwa satu pemberitaan palsu yang mereka lakukan, itu sama dengan penipuan lebih dari satu juta manusia yang mendapati berita tersebut untuk lingkup satu negara, namun bagaimana jika lebih dari satu negara.
 
2. Mereka harus sadar bahwa pemberitaan palsu yang mereka kabarkan dapat menyulutkan kebencian massa yang bermuara kepada saling fitnah dan berujung kepada hilangnya kerukunan dan berakhir dengan peperangan.
 
3. Mereka harus sadar bahwa mereka itu ada hanya untuk mengabdi dengan menyajikan berita-berita terjujur yang memang benar-benar terjadi di lapangan bukan sebaliknya.
 
4. Mereka harus sadar bahwa segala sesuatu yang mereka beritakan itu didipertanggung jawabkan di dunia dan di akhirat, dan percayalah Allah Subhanhuwata’ala mengetahui segala apapun yang dilakukan.
 
Yang perlu dipahami secara betul adalah setiap orang berhak untuk mendapatkan suatu informasi dan hal-hal yang terkait dengannya. Hal ini tercantum dalam Undang-Undang Dasar 1945 BAB X Tentang Hak Asasi Manusia tepatnya pada Pasal  28 F yang berbunyi, “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.
 
Tidak ada salah dan ruginya media jika mereka menyajikan berita-berita yang jujur dan benar kepada masyarakat dan justru perbuatan ini akan menbuat meningkatnya tingkat kepercayaan publik kepadanya dan tetap yang diuntungkan media itu sendiri tentunya. Namun penulis tekankan, bahwa benar, jika para pemilik media juga manusia seperti halnya manusia yang lain dan dapat saja khilaf dan lupa, namun jika perbuatan buruk itu dilakukan dengan terencana dan juga dilakukan secara sadar dan juga bernilai materi apakah itu juga dapat dikategorikan sebagai khilaf dan lupa? Percayalah, cepat atau lambat kita semua juga akan kembali kepada Tuhan Yang Maha Esa. Tidak ada satupun yang abadi di antara kita. Jika pekerjaan hari ini adalah sebagai pemberi kabar, maka berilah kabar yang jujur dan benar karena percayalah sekecil dan sebesar apapun suatu perbuatan yang telah dilakukan itu akibatnya juga akan kembali kepada si pelaku yang melakukan perbuatan tersebut. Penulis sampaikan, “besar dan kecilnya hasil dari suatu perbuatan yang telah dilakukan seseorang tidak akan berbeda jauh dengan besar dan kecilnya usaha yang telah dikerjakan oleh seseorang tersebut.” ***
 
 
Jufri Hardianto Zulfan. Lahir di Tandun, Rokan Hulu, 19 Juni 1994. Mahasiswa Ilmu Hukum, Fakultas Syariah dan Hukum UIN Suska Riau. Telah beberapa kali menjadi utusan UIN Suska Riau dalam even debat ilmiah tingkat nasional.
 


Berita Lainnya

Index
Galeri