ISTANBUL - Parlemen Turki mulai membahas rancangan undang-undang (RUU) kontroversial yang akan memungkinkan Presiden Recep Tayyip Erdogan berkuasa hingga 2029.
Dalam pembahasan RUU di parlemen, pendukung Erdogan berpendapat Turki membutuhkan kekuasaan penuh dari presiden untuk mencegah koalisi yang rapuh dalam pemerintah selama ini. Tetapi pihak oposisi menganggap legislasi itu akan menghasilkan pemerintahan yang otoriter.
Erdogan mendapat dukungan awal sebanyak 338 suara di parlemen. Sementara agar RUU lolos untuk referendum, dibutuhkan dukungan dari setidaknya 330 suara dari 550 kursi parlemen. Perdebatan itu sendiri diperkirakan akan berlangsung hingga 24 Januari mendatang.
Di bawah Turki berstatus reformasi, Erdogan akan berwenang mengangkat dan memberhentikan menteri, mengambil kembali kepemimpinan partai yang berkuasa, dan memerintah Turki sampai 2029.
RUU itu dicanangkan akan segera dibawa dalam referendum yang direncanakan pada Maret atau April tahun ini. RUU akan menggantikan undang-undang yang dibuat setelah kudeta oleh militer Turki pada 1980.
Selain itu, rancangan tersebut akan meningkatkan sistem pemerintahan kepresidenan Turki pertama kalinya setelah kekuasaan Ottoman.
Para kritikus mengklaim langkah itu bagian dari rencana Erdogan untuk mendapat kekuasaan penuh presiden menyusul upaya kudeta yang terjadi pada Juli 2016.
Namun, Erdogan dan anggota Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP) menegaskan sistem Presiden baru itu akan membawa Turki sejajar dengan negara-negara seperti Perancis dan Amerika Serikat. Selain itu, bakal melicinkan urusan administrasi pemerintah.
RUU itu juga meniadakan jabatan perdana menteri untuk memberi jalan kepada satu posisi baru yang bakal diwujudkan yaitu wakil presiden Turki.
"Tidak ada lagi (posisi) perdana menteri. Kami tidak terpaku pada kekuasaan. Sepatutnya seorang saja menavigasi kapal dan bukannya dua orang," kata Binail Yildrim, Perdana Menteri Turki dalam satu pidato di parlemen sambil disambut tepuk tangan oleh anggota parlemen AKP.
Presiden Erdogan terus melakukan konsolidasi untuk menguatkan kekuasaannya sejak memenangkan pemilu pada tahun 2014.
Berbagai tindakan kekerasan pun merebak yang menyasar anggota oposisi, akademisi, wartawan dan aktivis hak asasi terus terjadi sejak kudeta militer gagal pada Juli tahun lalu, setelah pemerintah mengumumkan keadaan darurat. (max/tmp)