Opini

Benang Merah antara Seorang Politisi dan Seorang Negarawan

Benang Merah antara Seorang Politisi dan Seorang Negarawan
Jufri Hardianto Zulfan.
Oleh: Jufri Hardianto Zulfan
 
Indonesia  merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945. Kemerdekaan yang direbut merupakan kemerdekaan kedaulatan berbangsa dan bernegara dalam hal penyelenggaraan negara yang bebas dan sesuai dengan prinsip kerakyatan keindonesiaan yang sampai saat ini kemerdekaan tersebut masih kita rasakan dan nikmati tanpa harus bersusah payah seperti halnya pejuang kita dahulu dan kita bersyukur karenanya.
 
Namun, untuk kemerdekaan perekonomian, kesehatan dan pendidikan ataupun lengkapnya penulis sebut dengan kemerdekaan kesejahteraan masih dalam “proses”. Adapun maksud penulis mengatakan kemerdekaan kesejahteraan masih dalam proses merupakan suatu keniscayaan, karena kesejahteraan rakyat yang dimaksud tersebut sangat ditentukan oleh suatu kebijakan yang bijak dari pemerintahan suatu Negara.
 
Kebijakan yang bijak tidak akan terlahir dari seorang pejabat yang memiliki dan mementingkan kepentingan pribadi ataupun kepentingan  golongan dalam suatu perencanaan suatu kebijakan. Terbayang oleh kita betapa makmurnya suatu golongan di atas golongan yang lain sementara di sisi lain betapa sengsaranya satu golongan di bawah golongan yang lain, maka dengan hal demikian penulis beranggapan bahwa kemerdekaan kesejahteraan untuk negara kita, negara Republik Indonesia masih dalam status "proses" menuju kesejahteraan. 
 
Dalam studi ilmu kebijakan publik, kita dapat mengatakan terjadinya political bargaining (tawar menawar politik) itu semua dilakukan oleh para oknum yang memanfaatkan jabatan yang ada padanya sebagai seorang pejabat pemerintahan dengan berbagai cara sehingga baik atau buruk, berlaku atau tidaknya suatu aturan dan suatu kebijakan semuanya tergantung seberapa besar harga yang ditawarkan, sehingga banyaknya aturan-aturan yang hanya menjadi rancangan perundang-undangan seolah-olah mengantri menunggu giliran yang tidak dapat ditentukan masanya untuk segera dijadikan undang-undang lalu diaplikasikan untuk kemaslahatan masyarakat.
 
Para birokrat yang menjalankan pemerintahan memiliki dua kecenderungan yang berbeda, kecenderungan yang pertama adalah:
 
1. Kecendrungan sebagai seorang politisi, yang menjadi maksud penulis di sini adalah bukan politik, karena kata ini memiliki makna suatu cara/mekanisme yang berkaitan dengan pemerintahan, sementara politisi merupakan para pelaku atau oknum yang berperan sebagai pemain utama. Politik adalah aktivitas untuk mendapatkan, mengembangkan, menggunakan kekuasaan dan sumber-sumber lainnya untuk memperoleh hasil yang diinginkan dalam situasi di mana adanya ketidakpastian atau adanya ketidaksepakatan tentang suatu pilihan (Jones, 1985). Untuk menyelesaikan konflik sesuai dengan keinginan individu atau sub unit seringkali harus terlibat dalam perilaku politik untuk meningkatkan kekuasaan dan pengaruhnya.
 
Lebih lanjut, yang harus kita garis bawahi adalah seorang politisi tidak harus memiki jenjang pendidikan yang tinggi, ia hanya saja dituntut untuk mengetahui problema perpolitikan yang ada dan yang sedang terjadi hingga ia dapat mencari cara jika ia berambisi untuk duduk di kursi pemerintahan dan mempertahankannya. Penulis sampaikan juga bahwa semua orang bisa saja menjadi seorang politisi karena untuk menjadi seorang politisi itu dapat dilakukan dengan melakukan hal-hal yang telah penulis sebutkan di atas.
 
Kita masih ingat perbandingan antara hukum dan politik, determinasi politik di atas hukum akan membuat hukum menjadi sebagai budak yang akan selalu patuh terhadap kata dan keinginan tuannya. Di sisi lain, determinsasi politik terhadap hukum menyebabkan hilangnya kontrol kekuasaan sehingga tidak salah lagi jika terjadi kediktatoran yang benar-benar menindas
 
2. Kecendrungan sebagai seorang negarawan. Penulis sampaikan, negara merupakan suatu organisasi terbesar yang memiliki wilayah tertentu, pemerintahan, memiliki warga (warga negara) serta adanya pengakuan dari negara lain, berbeda halnya dengan maksud dari seorang negarawan yang merupakan pelaku atau pemeran utama dari pelaksana pemerintahan itu sendiri, kebalikan dari hal di poin pertama di atas bahwa tidak semua orang dapat menjadi seorang negarawan dikarenakan seorang negarawan memiliki kekhasan tersendiri dibandingkan dengan seorang politisi. 
 
Sekilas kita dapat mengatakan bahwa antara seorang negarawan dan seorang politisi itu sama saja dan tidak ada perbedaan. Namun kenyataan di lapangan dapat kita lihat ada perbedaan yang signifikan. Penulis membahasakannya dengan kalimat sebagai berikut, “setiap seorang negarawan merupakan seorang politisi akan tetapi tidak setiap seorang politisi merupakan seorang negarawan”. 
 
Seorang negarawan merupakan para pelaku birokrat yang memiliki pemahaman mendalam mengenai ilmu pemerintahan, ilmu politik, ilmu administrasi, hukum, kebijakan publik dan ilmu lainnya yang berkaitan dengan hal tersebut, di samping itu para negarawan biasanya memang memiliki keahlian di bidang yang ia tekuni tersebut sehingga kaca mata politik merupakan salah satu pandangannya dari semua pandangan yang ia pahami terhadap pemerintahan.
 
Penulis sampaikan juga, seorang negarawan juga memiliki pertimbangan yang jauh lebih luas dari pada seorang politisi dikarenakan pemerintahan bukan hanya sekedar memenangkan pemerintahan lalu mempertahankannya namun pemerintahan memiliki pandangan yang menyeluruh bahwa di dalamnya terdapat upaya-upaya yang mengerucut kepada kemakmuran dan perbaikan dimasa yang akan mendatang untuk daerah yang ia pimpim disamping itu seorang negarawan akan lebih dapat merincikan suatu kebijakan yang benar-benar bermanfaat. 
 
Dengan memahami hal tersebut di atas, kita akan dapat mengetahui bahwa sebenarnya kita saat ini sedang dipimpim oleh seorang yang benar-benar negarawan atau kita dipimpim oleh seseorang yang benar-benar politisi, bagaimana cara ia memiliki tampuk kekuasaan, bagaimana cara ia mempertahankan dan menggunakan kekuasaan tersebut dan cara pandangan serta kebijakan-kebijakan yang dibuat benar-benar memiliki tingkat positif yang tinggi yang akan menjadi alat pengukur hal tersebut dapat dijadikan sebagai penilaian apakah ia seorang negarawan ataukah seorang politisi.
 
Tidak salah, jika kepemimpinan dipegang oleh para politisi tanpa ada para negarawan maka mungkin suatu negara tersebut juga akan dipolitikkan bagaimana supaya negara tersebut di bawah kendalinya dan akan terus tetap di bawah kendalinya, sehingga tidak nampak kebijakan-kebijakan yang benar-benar bermamfaat terkecuali di dalam kebijakan tersebut tersisip politik untuk melanggengkan kekuasaannya. 
 
Lalu bagaimana cara mendapatkan pemimpin yang seorang negarawan di samping juga seorang politisi, penulis dapat mengkriteriakanya sebagai berikut:
 
a. Masyarakat harus cerdas dan mengetahui siapa pemimpim yang akan ia pilih untuk dijadikan pemimpin, baik itu dengan latar belakangnya, pengalaman keilmuan dan sikap tindaknya selama ini.
 
b. Masyarakat harus komitmen dengan tujuan utama dalam pemilihan seorang pemimpim bahwa memilih untuk kepentingan umum bukan kepentingan pribadi dan golongan.
 
Sederhana sekali sebenarnya yang dapat dilakukan untuk mendapatkan seorang pemimpin yang negarawan namun pengaplikasiannya yang merupakan tugas terberat dan menjadi pekerjaan bersama untuk tujuan yang sama, yaitu tujuan untuk melanjutkan kemerdekaan yaitu kemerdekaan perekonomian (termasuk dalam hal lapangan pekerjaan), kemerdekaan pendidikan (jaminan pendidikan yang bermutu), kemerdekaan kesehatan (jaminan kesehatan yang memadai) dan lengkapnya kita sebut dengan kemerdekaan kesejahteraan. ***
 
 
Jufri Hardianto Zulfan adalah mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Suska Riau.
 


Berita Lainnya

Index
Galeri