Opini

Memposisikan HAM sebagai Pelindung, Bukan sebagai Penindas Masyarakat dalam Kebebasan Berpendapat

Memposisikan HAM sebagai Pelindung, Bukan sebagai Penindas Masyarakat dalam Kebebasan Berpendapat
Jufri Hardianto Zulfan
Oleh: Jufri Hardianto Zulfan*
 
MASIH segar dalam ingatan kita di era pemerintahan Presiden Republik Indonesia, Joko Widodo, pada akhir 2016 tepatnya bulan November 2016 terjadi tragedi yang begitu menyayat hati bangsa Indonesia dan menggerakkan banyak masa, terkait ucapan salah seorang tokoh pemerintahan yaitu, tentang perkataan mantan Gubernur Jakarta, Basuki Tjahaya Purnama atau yang biasa kita kenal dengan panggilan Ahok, seorang petahana  Jakarta untuk periode kedua kalinya, namun Ahok tersandung suatu masalah yang dapat menghambat ambisinya untuk kembali menjadi Gubernur Jakarta dikarenakan ucapan beliau, ucapan yang telah terucapkan dan telah diketahui oleh masyarakat luas, ucapan yang menyinggung perasaan banyak kalangan warga Negara Indonesia dan umat Muslim di dunia khususnya, ucapan beliau berintikan penistaan terhadap agama sehingga mendapatkan reaksi yang keras dari kalangan umat terhadap penistaan yang berasal dari ucapannya, dan tidak salah lagi ucapan itu juga merupakan pendapat dari ahok yang ia salurkan melalui perkataan yang tentunya merupakan pendapatnya terhadap apa yang ia pahami sehingga ia ucapkan.
 
Berkaca dari kasus tersebut, sebenarnya perkataan ataupun pernyataan yang dikeluarkan oleh seseorang tersebut yang berpotensi menyinggung orang lain dan juga bisa sebaliknya sebenarnya merupakan pendapat atas yang mereka pahami terkait suatu keadaan, dengan begitu hak untuk mengungkapkan pendapat oleh siapa saja sangat berpotensi untuk saling menindih, menjatuhkan dan bahkan menghina antar sesama manusia dan jika ini terus saja berkelanjutan maka sangat berpotensi sekali terjadinya perpecahan, perselisilan diantara golongan bangsa dan agama, lalu bagaimanakah cara memposisikan hak dalam berpendapat sebagai hak yang dapat melindungi masyarakat seperti halnya tema yang telah disebutkan diatas. 
 
Kita dapat melihat pada Pasal 28 Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan  dengan undang-undang”. Pernyataan dari Pasal tersebut bukan secara otomatis mengisaratkan kepada kita bahwa semua orang dapat mengeluarkan pendapat dan berkata sesuai dengan keinginan dan sekehendak hatinya, dikarenakan alasan menurut penulis adalah:
 
1. Salah satu tujuan dari negara hukum (Supremasi Of Law) adalah melindungi dan menjujung segala hak masyarakat, dan dapat dipahami bahwa hak tersebut adalah hak untuk tidak direndahkan baik itu agamanya dan lain sebagainya selama hak tersebut diakui dan diterima sebagai hak dasar  warga Negara.
 
2. Disamping norma hukum, juga ada norma agama, kesopanan dan susila, oleh sebab norma hukum tidak dapat mengenyamping ketiga norma tersebut, Karena justru isi dari norma hukum adalah menjujung norma dari tiga norma tersebut.
 
3. Dalam studi ilmu hukum kita mengenal adanya teori kuasalitas (sebab akibat), ini memahami kita bahwa sebenarnya jika suatu pernyataan dapat memicu kemarahan dan tersinggung nya umat akibat dari suatu pernyataan itu menandakan bahwa bukan hak berbicara yang telah ia ucapkan, melainkan ia sedang menghina suatu golongan yang lain. Karena pada kasus Ahok dalam berbicara dan mengemukakan pendapat bersanding pada waktu bersamaan ia juga telah melahab hak orang lain untuk tidak dihinakan dan direndahkan.
 
Sebenarnya dapat juga para ahli menambahkan berbagai argument-argument mengenai hak dalam mengemukakan pendapat, yang sejatinya hak tersebut di izin kan oleh konstitusi kita adalah sebagai penyalur aspirasi masyarakat untuk hal-hal kebaikan dan sebagai pengagas ide baru dalam kehidupan bernegara bukan dijadikan justru sebagai saling merendahkan diantara satu dengan yang lainya, pemahaman yang salah dari suatu maksud konstitusi dalam hak warga Negara mengakibat interpretasi hukum dan pengaplikasian yang melenceng dari kebenaran dan dari maksud yang sebenarnya, dikhawatirkan justru mereka setelah menyampaikan berbagai pendapat dan argumennya yang dapat memicu kemarahan dan konflik yang besar mereka malah menyatakan “ini adalah hak kami dalam berpendapat”, ini adalah suatu kekeliruan yang sangat besar dan fatal dalam pemahaman dari maksud yang dikehendaki oleh konstitusi disamping berlawanan dengan cita-cita Negara hukum dan cita-cita para pahlawan pendiri bangsa yang menyatakan kita satu bahasa, satu bangsa dan satu tanah air Indonesia.
 
Sebagai Negara hukum,para pendiri bangsa telah menentukan Pancasila sebagai falsafah dan Undang-Undang Dasar 1945 sebagai dasar Negara, maka semua aturan kenegaraan harus bersumber dan dijiwai oleh Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Yang dimaksud dengan Negara hukum adalah Negara yang dalam segala aspeknya kehidupan masyarakat, berbangsa dan bernegara termasuk kedalam penyelenggaraan pemerintahan harus berdasarkan hukum dan asas-asas umum pemerintahan yang baik dan bertujuan meningkatkan kehidupan demokratis sejahtera, berkeadilan dan bertanggung jawab. Menurut Sudjito, bagi Indonesia Negara hukum (rechstaat) jelas bukan sembarang nama, nama merupakan doa, harapan dan cita-cita.
 
Lalu apa guna dan mamfaat dari konstitusi memberikan peluang kita untuk berpendapat?, diantaranya adalah:
 
1. Agar rakyat Indonesia dapat merasakan artinya sebuah penghargaan dengan cara  gagasan-gagasan mereka di dengar oleh para penguasa sebagai wujud dari menjujung kesepakatan bangsa yaitu Pancasila.
 
2. Untuk menjalankan amanat konstitusi karena Indonesia adalah suatu Negara yang menganut dan memiliki system demokrasi berdasarkan atas asas kekeluargaan dengan cita rasa bangsa Indonesia (ras, agama dan suku yang banyak).
 
3. Untuk membuktikan bahwa dalam Pasal 1 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan “Negara Indonesia adalah Negara hukum”  dan salah satu pilar penopang Negara hukum adalah pengakuan hak dan perlindungan hak warga (dengan catatan hak tersebut bukan berarti hak untuk bebas hingga menghina dan merendahkan yang lain).
 
Dan masih banyak lagi alasan-alasan yang dapat dikemukakan mengenai hak yang semestinya dijadikan sebagai pelindung masyarakat bukan sebagai penindas masyarakat yang sangat berlawanan dengan maksud yang dikehendaki oleh konstitusi kita Negara Indonesia.  Intinya menurut penulis “jangan jadikan ataupun beralasan dengan konstitusi, untuk dan sebagai alat penindas hak konstitusional sesama warga Negara Indonesia lainnya, kebebasan berbicara bukan berarti kebebasan dalam mengumbar kebencian”. *
 
*Penulis adalah Mahasiswa Fakultas Syariah dan Hukum UIN Suska Riau
 


Berita Lainnya

Index
Galeri