Opini

Kendalikan Remote TV-mu

Kendalikan Remote TV-mu
M. Tazri (foto: istimewa)
Oleh: M. Tazri
 
BERDASARKAN survei Nielsen (2014) menyebutkan bahwa televisi masih menjadi medium utama yang dikonsumsi masyarakat Indonesia (95%), disusul oleh Internet (33%), Radio (20%), Suratkabar (12%), Tabloid (6%) dan Majalah (5%). Data ini menunjukkan bahwa televisi merupakan salah satu media massa yang sangat dekat dengan masyarakat. Televisi muncul dan bahkan masuk ke ruang-ruang keluarga tanpa sekatan yang kuat, tak pandang bulu media televisi saat ini telah masuk kedalam hampir kesegala lini lapisan masyarakat. Sebuah keluarga bisa jadi hanya akan dikumpulkan oleh televisi, namun tak jarang juga televisi ada disetiap kamar dalam satu rumah. Pertannyaan yang kemudian muncul ialah, apakah kondisi ini baik bagi kita?
 
Hingga saat ini layar kaca televisi Indonesia masih diwarnai dengan program atau tayangan fiktif, mistis dan vulgar, bahkan beberapa program televisi mempertontonkan kekerasan fisik dan kekerasan psikis secara lantang seperti menghina, menghujat, dan lain sebagainya. Kalaupun ada beberapa media yang konsen dengan pemberitaan (news), terkadang terkesan menghasut, berpihak dan mengabaikan unsur keberimbangan (cover both side). 
 
Ironis ketika kita melihat program-program yang ada di televisi kita hanya sekedar mengedepankan kesenangan demi kepentingan pasar (iklan). Kebebasan berekspresi menjadi dalih para aktor dibalik layar televisi yang kemudian menghalalkan programnya, mereka seolah tak mau tahu akan dampak yang muncul di masyarakat.  
 
Logika yang dikedepankan adalah logika bisnis. Penonton dijadikan objek penentu rating yang kemudian bermuara kepada kepentingan bisnis (iklan). Selama tayangan tersebut masih ditonton banyak orang, selama itu pula tayangan tersebut layak dihidangkan. Sehingga tidak berlebihan kalau kita bahasakan “selama mendapatkan untung, tayangan tidak harus berkualitas”.   
 
Di satu sisi kita melihat bahwa kebutuhan pemirsa sudah dipenuhi. Tapi jika ditelaah lebih jauh, nyaris kebutuhan kita sebagai penonton yang memiliki hak mendapatkan tayangan yang berkualitas terabaikan. Hal-hal yang kemudian berupa keberagaman isi (diversity of content) yang menjadi semangat demokratisasi media penyiaran hanya sebagai kamuflase kepentingan bisnis. Ketika satu stasiun televisi membuat satu program dan mendapatkan pemirsa dengan jumlah banyak, televisi lain akan dengan cepat meniru. 
 
Di lain hal, maraknya sinetron-sinetron yang menghiasi layar kaca dirumah kita juga menjadi penyakit bagi perkembangan moral dan mental penontonnya (khususnya penonton remaja). Banyak muatan yang mengandung nilai-nilai yang sangat tidak mendidik, bahkan jauh dari karakter budaya Indonesia yang katanya budaya timur. Anak-anak pada usia belajar (SMP & SMA) diparodikan dengan berbagai cerita yang keluar dari statusnya sebagai pelajar. Yang lebih parahnya seragam yang mereka gunakan hanyalah sebagai wardrobe syuting belaka. Tidak berhenti sampai disitu, jam tayang nya pun mereka letakkan pada jam-jam prime time, dimana jam tersebut merupakan jam belajar. 
 
Tayangan variety show, talk show, reality show dan berbagai program televisi lain yang entah apapun namanya terkesan hanya sekedar sensasional. Mereka tidak peduli apakah tayangan itu dibutuhkan masyarakat atau tidak, apakah tayangan itu bermanfaat atau tidak, bagi mereka selama tayangan itu mampu membuat penonton tertawa dan terbelalak (melotot), tayangan itu menjadi layak dihadirkan.
 
***
 
Tidak bisa dipungkiri bahwa televisi membutuhkan rupiah yang cukup besar untuk menghidupi bisnisnya, satu hari saja, stasiun televisi membutuhkan uang milyaran rupiah untuk membiayai produksinya (bayar artis, gaji karyawan, biaya peralatan syuting, transportasi, dan operasional lain). Dalam kacamata bisnis, tentu modal yang besar tersebut harus kembali bahkan harus lebih (untung) dan itu merupakan hal yang biasa saja. Program yang sekiranya menarik yang mampu menaikkan rating menjadi sesosok gadis cantik dalam mencuri perhatian cowok peng-iklan. Ketika rating sebuah tayangan tinggi, pengiklan akan banyak yang masuk, disitulah angin segar bagi stasiun televisi. Walau bagaimanapun, kekuatan ekonomi politik pada indstri media televisi di Indonesia menjadi sangat luar biasa. Bahkan pemerintah sekalipun tidak bisa berbuat banyak, hanya sekedar memberikan teguran dan pemberhentian sementara tayangan.
 
Kolonisasi mental
 
Seolah tak ada matinya industri televisi ini, bahkan semakin cermat dalam menyajikan program acara yang cenderung mengkonstruksi realitas sehingga akan berdampak pada munculnya paradigma baru di masyarakat sesuai tolak ukur industri televisi. Dalam UU No.32 tahun 2002 dijelaskan bahwa penyiaran sebagai kegiatan komunikasi massa mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan yang sehat, kontrol dan perekat sosial. Namun kenyataannya malah memberikan tayangan yang jauh dari fungsi diatas, dan fenomena ini akan berimbas pada degradasi moral. Selain itu, imbas media massa ini juga merambah kepada kolonisasi (penjajahan) mental,  efek ini tidak dirasakan secara sadar oleh pemirsanya. Masyarakat tidak sadar bahwa mental mereka sedang dijajah. 
 
Masyarakat seolah terjebak dengan hal seperti ini, mulai dari cara berpikir yang seolah kebarat-baratan, ideologi, sikap, cara berbusana dan hal lain dalam berperilaku di keseharian masyarakat kita. Mayoritas mereka mengadopsi dari apa yang mereka lihat, televisi berperan besar dalam membawa nilai-nilai tersebut. Televisi selalu menampilkan trend, mode dan gaya yang kekini-kinian, sehingga kemudian dengan mudahnya masyarakat meniru yang mereka beranggapan bahwa hal itu bagus dan menarik. Televisi seolah menjadi kiblat, televisi menjadi referensi utama dalam menjalani kehiduan nyata mereka. 
 
Dengan carut marutnya media penyiaran (televisi) di negeri ini, mari kritisi media, jadilah penonton aktif, mampu memilah dan menilai isi media massa yang dirasa layak dan tidak layak untuk dikonsumsi. Mari lindungi diri, keluarga dan anak-anak kita dari ancaman konten media yang tidak mendidik. Jika anda menemukan konten media yang menyimpang, silahkan laporkan ke Komisi Penyiaran Indonesia dengan mengunjungi laman website nya di www.kpi.go.id, Akhirnya, cerdaslah dalam mengkonsumsi hidangan media massa. Jika sebuah stasiun televisi memberikan tayangan yang dirasa tidak baik, ganti channel atau matikan televisi. Semua bergantung pada remote tv mu. *
 
 
Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Al Munawwarah Pekanbaru. Menyelesaikan Strata 1 Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan pernah menahkodai IKPMR Malang. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM).
 


Berita Lainnya

Index
Galeri