PEKANBARU - Meski di bawah terik matahari, antusiasme pengunjung memadati arena Pekan Budaya Melayu Serumpun yang digelar di Jalan Sultan Syarif Kasim, Pekanbaru. Anak-anak hingga orang dewasa tampak semangat menjajal berbagai permainan tradisional yang dipamerkan dalam kegiatan tersebut, Kamis (7/8/2025).
Beragam permainan rakyat seperti enggrang, bakiak, congklak, yeye, layang-layang, gasing, hingga rimau disediakan secara terbuka untuk umum. Tujuannya tidak hanya membangkitkan nostalgia masa kecil, tetapi juga memperkenalkan warisan budaya kepada generasi muda, terutama Gen-Z yang mulai asing dengan permainan tradisional.
Dari sekian banyak permainan, rimau menjadi yang paling menarik perhatian. Permainan adu strategi khas perkampungan Melayu pesisir ini kini mulai langka, namun berhasil mencuri perhatian pengunjung. Bahkan, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Disnakertrans) Riau Boby Rachmat serta Sekretaris Dinas Kebudayaan Riau Ninno Wastikasari ikut larut dalam keseruan memainkan permainan tersebut.
Menurut perwakilan Dinas Kebudayaan Riau, Achmad Al Azhari, rimau dimainkan oleh dua orang. Satu pemain berperan sebagai rimau, dan satu lagi sebagai kawanan kambing. Permainan ini menggunakan papan kayu bermotif geometris, dengan 24 biji kecil dari kulit remis sebagai kambing dan satu biji besar dari kulit siput sebagai rimau.
“Permainannya mengandalkan strategi bertahan dan menyerang. Rimau bebas bergerak, sementara kambing diletakkan satu per satu dan hanya bisa melangkah satu arah,” jelas Achmad.
Rimau dinyatakan kalah bila tidak bisa bergerak atau tidak dapat memakan kambing, sementara kemenangan diraih jika kambing habis atau gagal mengepung rimau. Ia menyebut permainan ini sarat nilai seperti kesabaran, strategi, dan kejujuran.
“Permainan ini sangat populer di tahun 1890-an, terutama di wilayah pesisir Melayu. Meski tidak diketahui kapan tepatnya mulai dimainkan, diyakini sudah diwariskan turun-temurun,” katanya.
Kepala Dinas Pariwisata Riau sekaligus Ketua Panitia Pekan Budaya Melayu Serumpun, Roni Rahmat, menegaskan bahwa kehadiran permainan tradisional dalam acara ini bertujuan untuk edukasi budaya, terutama bagi anak-anak dan remaja.
“Kita ingin mengingatkan generasi muda bahwa sebelum era gawai dan digital, anak-anak kita punya permainan yang penuh nilai kebersamaan dan sosial,” ujar Roni.
Ia menambahkan, permainan tradisional memiliki makna mendalam yang tak bisa digantikan oleh gim digital. Karena itu, pihaknya mendorong sekolah-sekolah dan komunitas budaya untuk menghidupkan kembali permainan ini dalam aktivitas keseharian.
“Harapannya, permainan ini tidak hanya menjadi tontonan saat festival, tapi juga kembali dimainkan di rumah, sekolah, dan lingkungan sekitar. Dengan begitu, warisan budaya ini bisa terus lestari dari generasi ke generasi,” pungkasnya.

