Opini

Jurnalisme Empati, Stop Pemberitaan Vulgar!

Jurnalisme Empati, Stop Pemberitaan Vulgar!
Ilustrasi
Oleh: Dini Nastiti Wardani
 
MARAKNYA kasus kekerasan seksual yang melibatkan anak-anak sebagai pelaku maupun korban, menuai keprihatinan. Bahkan Komisi Nasional Perlindungan Anak menyatakan Indonesia berada pada posisi Darurat Kekerasan Anak. Bayangkan saja, jika pada tahun 2015 lalu, Pusat Data dan Informasi–Pusdatin Komnas Anak menerima 2.898 kasus kekerasan pada anak, angka tersebut kini naik hingga 20%, di mana 60% di antaranya merupakan kasus kejahatan seksual. 
 
Meski angka kekerasan seksual yang menimpa anak-anak di bawah umur semakin marak, namun peran jurnalis sangat vital dalam menyebar luaskan pemberitaan tersebut. Untuk itu, para jurnalis diharapkan untuk tidak memberitakan kasus kekerasan seksual yang menimpa anak-anak di bawah umur, secara vulgar, salah satunya dengan menyajikan detail kronologis kejadiannya. Jika kronologis kejadian pelecehan seksual, pencabulan hingga pemerkosaan tersebut disajikan secara detail, maka dikhawatirkan akan membuat konsumen media secara langsung maupun tidak langsung, sadar maupun tidak sadar, meniru perbuatan yang melanggar norma-norma tersebut. Tidak hanya itu saja, dampak psikologis dan trauma yang diderita oleh korban, juga semakin sulit untuk disembuhkan.
 
Padahal, jika melihat Undang-undang Republik Indonesia nomor 35 tahun 2014, Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Pasal 17 ayat 2 yang berbunyi; “Setiap anak yang menjadi korban atau pelaku kekerasan seksual atau yang berhadapan dengan hukum, berhak untuk dirahasiakan.”
 
Pasal  di atas diperkuat dengan Pasal 23 ayat 2 yang berbunyi;
 “Negara dan Pemerintah mengawasi penyelenggaraan perlindungan anak.”
 
Untuk itu, sebagai jurnalis, diharapkan untuk tidak hanya sekadar membuat berita kekerasan yang “menjual” dengan menjadikan perempuan sebagai korban, namun juga harus mengedepankan jurnalisme positif dan jurnalisme empati, dan kini semakin dilupakan oleh para jurnalis.
 
Pemberitaan yang terlalu “mengesploitasi” perempuan dan anak-anak sebagai “konsumsi” media, dengan alasan menaikkan rating, bukanlah hal yang bisa dibenarkan. Sebab perempuan ada, tidak hanya untuk “dieksploitasi” dengan pemberitaan yang menyajikan kekerasan maupun pelecehan seksual saja, tetapi para perempuan dan anak-anak ini juga memiliki hak untuk mendapatkan “kemerdekaan” baik secara fisik maupun psikis. 
 
Kemerdekaan secara fisik salah satu contohnya bahwa tubuh perempuan, bukan sebagai “alat pemuas kebutuhan seksualitas”, melukai secara fisik, melakukan kekerasan kepada perempuan, dan lain sebagainya.  Padahal, perempuan ada untuk dihormati, karena setiap manusia terlahir dari rahim seorang perempuan. 
 
Sementara kemerdekaan secara psikis salah satu contohnya bahwa perempuan, bukan sebagai “komoditi” jual saja, seperti dengan menyajikan foto maupun gambar porno yang menjadikan tubuh perempuan sebagai objek “jual”, sehingga siapapun bisa “mengonsumsinya”. Membuat perempuan selalu merasa was-was maupun khawatir, hingga hilangnya rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya yang mengakibatkan penderitaan psikis berat pada seseorang. 
 
Selama ini pemberitaan kekerasan seksual dan anak-anak disajikan secara detail, tanpa mempertimbangkan nasib korban, orang tua maupun tetangga sekitar. Padahal, dampak psikologis korban, mulai rasa malu hingga rasa trauma, tidak mudah untuk disembuhkan dalam waktu singkat. Salah satunya pemberitaan yang dilakukan oleh media televisi. Meski korban sudah di blur bagian wajah, namun masih saja disajikan secara detail di mana alamat tinggal korban, berasal dari sekolah mana serta tidak ada upaya men-sensor ketua RT maupun kerabat korban.
 
Padahal, kondisi tersebut tanpa sadar telah mengabaikan jurnalisme empati, bagi korban yang terhitung masih anak-anak. Para jurnalis diharapkan berempati terhadap dampak maupun imbas dari pemberitaan kekerasan seksual terhadap anak-anak. Bagaimana jika teman-teman sebayanya mengetahui kasus pemerkosaan tersebut? Tentu akan menimbulkan rasa malu dan traumatis yang sangat dalam bagi anak-anak di bawah umur. Selain itu, hak anak untuk mendapatkan kebebasan dalam pergaulan, tentunya akan hilang begitu saja seiring dengan maraknya pemberitaan yang terlalu vulgar tersebut.
 
Padahal, untuk menyembuhkan luka batin dan rasa traumatik yang di derita anak-anak di bawah umur, bukanlah hal yang mudah dan singkat. Butuh waktu lama untuk bisa beradaptasi kembali dengan lingkungan sekitarnya. Semoga jurnalis tidak hanya dijadikan sebagai profesi saja, dengan mengedepankan rating berita, tetapi juga mengedepankan empati serta memahami norma-norma sosial di masyarakat, dalam pemberitaan yang disajikan.
 
 
Salam
 
 
Dini Nastiti Wardani, perempuan kelahiran Surabaya, 10 Oktober 1989. Anggota Aliansi Jurnalis Independen. Kini bekerja  sebagai editor Siaran RRI Surabaya dan Dosen tidak tetap di salah satu Perguruan Tinggi di Surabaya.
 


Berita Lainnya

Index
Galeri