Menyibak Surga Tersembunyi di Rantau Kuantan (Bagi

Sejarah Panjang Peradaban Masyarakat Sentajo

Sejarah Panjang Peradaban Masyarakat Sentajo
Rumah Godang Suku Petopang
SUASANA Minggu 1 Mei 2016 pagi di Kota Jalur cukup lembab. Sisa hujan deras semalam masih menyisakan udara sejuk, jarum jam menunjukkan pukul 09.00 Wib. Usai menyantap sarapan, kami bertolak ke arah Timur Teluk Kuantan. Tujuan perjalanan selanjutnya desa Koto Sentajo.
 
Melewati jalan Lintas Kuantan Singingi-Rengat Kabupaten Indragiri Hulu, dengan hanya 15 menit menggunakan bus, kami tiba di wisata desa Koto Sentajo. Dekat memang, hanya 7 KM dari pusat kota Teluk Kuantan. Ada gapura di sebelah kanan di pinggir jalan lintas. Dari jendela bus, terlihat beberapa masyarakat Sentajo sudah berkumpul menyambut kedatangan kami. Kehangatan, kekeluargaan, keramahan warga lokal terhadap pendatang sangat terasa.
 
Tak jauh dari gapura, hanya 200 meter, suasana perkampungan tempo dulu sangat terasa. Namun sebelum itu, ada aliran anak sungai yang jernih menambah keistimewaan desa yang sudah ditetapkan sebagai Kawasan Cagar Budaya Kenegerian Sentajo ini. Hanya 10 meter dari jembatan kecil itu terdapat sebuah Jalur, perahu panjang yang biasa dilihat saat agenda tahunan Pacu Jalur di tepian Narosa, Teluk Kuantan. 
 
Masih di area yang sama, ada sebuah Sosoran, semacam arena tarung berpagar kayu. Sosoran digunakan untuk pertunjukan silat usai sholat Tarawih dan di hari kedua hari raya Idul Fitri. Beruntung, kami disuguhi pertunjukan silat oleh para 'jagoan' silat Pendekar Bertuah. Di sana pula terdapat balai atau tribun sederhana untuk menyaksikan pertunjukan seni silat Pendekar Bertuah.
 
Jika berjalan lebih jauh, kita seolah dibawa mundur ke puluhan tahun yang lalu, rumah-rumah panggung berjejer rapi. Selain rumah panggung biasa, desa Koto Sentajo juga menyajikan kearifan lokal yang terjaga. Rumah Godang Adat Suku di Sentajo, saksi keharmonisan empat suku di Sentajo. Ada 24 unit Rumah Godang, yang berdiri sejak tahun 1819 silam. Hingga kini masih terawat dan kokoh. "Rumah Godang ini berdiri sekitar 1819 sampai 1925. Ada empat suku adat yang menempati masing-masing Rumah Godang, yaitu Paliang, Melayu, Caniago, Patopang," kata Fahmilus, salah satu Tokoh Masyarakat Kota Sentajo.
 
 
Keberuntungan kami tak hanya sebatas bisa menyaksikan seni silat Pendekar Bertuah. Sepanjang perjalanan dari Sosoran menuju barisan Rumah Godang, sayup-sayup suara musik Calempong terdengar, musik yang hanya bisa dinikmati pada saat upacara adat saja. Di salah satu Rumah Godang milik suku Caniago, warga desa Sentajo lainnya sudah berkumpul menyambut kedatangan kami. Penyambutan layaknya tamu kehormatan. "Jadi, Runah Godang berfungsi untuk membicarakan segala permasalahan, seperti kenakalan remaja, adat pernikahan. Di Kenegerian Sentajo ini ada 24 Rumah Godang, suku Melayu punya empat Rumah Godang, Paliang ada enam, Caniago ada tiga, dan Pitopang ada lima Rumah Godang," terang pria yang akrab disapa Milus ini.
 
Berbagai ornamen rumah godang masih asli dengan ciri khas masa lalu. Bentuk bangunan pun dikemas unik gaya panggung dengan tiang sebagai penyangga. Sebagian Rumah Godang masih dihuni pewaris atas strata adat masing-masing suku. Bahkan lokasinya terletak di dataran tinggi di kelilingi sawah dan tasik di desa Koto Sentajo. Berdirinya Rumah Godang tak lepas dari sejarah panjang Kenegerian Sentajo, pada masa lalu sebagai pusat di antara desa-desa di masing-masing kenegerian atau desa tertua. Artinya, berbagai aktivitas, baik pemerintahan, keagamaan, budaya, perekonomian berpadu dan bertumpu di kenegerian ini.
 
Di Rumah Godang suku Caniago, kami berbaur bersama warga desa. Penjamuan tamu, masih terasa kentalnya adat masa lalu. Sebelum mempersilahkan tamu memakan hidangan, ada adabnya. Para mamak akan melakukan pasambahan, di tengah-tengah kami, ada pula Carano terbuat dari kuningan yang berisi sirih, pinang, kapur dan gambir. "Mempersilahkan makan tamu tidak langsung, ada persembahan, masyarakat Sentajo menyebutnya Pasambahan. Jadi untuk menyantap hidangan dari tuan rumah tidak bisa langsung menyicipi makanan. Harus ada kata persilahkan melalui pasambahan," kata pria lulusan Universitas Andalas ini. 
 
Selain adab atau etika makan, adab berumah tangga juga wajib dijalankan bagi masyarakat Sentajo. Pengantin laki-laki sebelum melangsungkan pernikahan akan mendapat gelar adat, seperti Malin. Jadi jika seorang mertua memanggil menantunya sebutan nama asli, bukan gelar itu dipertanyakan etikanya. "Dalam pernikahan di Sentajo juga sangat melarang nikah satu suku. Pelaku nikah sesuku akan diberi sanksi sesuai adat, yaitu dibuang ke bukit tidak berangin, ke lurah tidak berair. Artinya, pasangan ini harus diusir dari kampung dan tidak boleh kembali lagi," tambahnya. Begitu kuatnya adat yang dipertahankan sejak ratusan tahun yang lalu. Hingga kini, itu masih terjaga.
 
Adat yang masih dipegang sejak ratusan tahun itu tak lepas dari upaya masyarakat mengingat sejarah. Ada sejarah panjang yang tak mungkin dilupakan begitu saja. Milus juga menceritakan sejarah itu. Kenegerian Sentajo adalah negeri tua di Kuantan Singingi. Kalau dikilas balik, dulunya negeri Kuantan memiliki Kerajaan Kandis. Letaknya di Lubuk Jambi. Pembesar kerajaan Kandis ini adalah Datuk Simambang, dari Sentajo, Datuk Bandaro Lelo Budi dari Kari, dan Datuk Pobo dari Koban. 
 
"Karena terjadi sesuatu hal, pada waktu itu sebelum masehi, sehingga bercerai berailah kerajaan Kandis itu. Ada sebagian mengatakan ada pemberontakan kerajaan Kancil Putih, kerajaan Koto Alang dan sebagainya, maka datuk-datuk ini berpindah-pindah. Dan mendirikan kerajaan di desa Kari yang sekarang berada di kecamatan Kuantan Tengah, desa Sintuo seberang Teluk Kuantan, kemudian pindah ke Sentajo dan pernah juga berada di Inuman," Milus menceritakan dengan gamblang.
 
Milus mengisahkan, dulu ada Balai Bungo Setangkai di desa Sentajo, di situ tempat berunding tiga datuk ini. "Jadi, sebelum Masehi Sentajo ini sudah ada. Agama di Sentajo adalah agama Hindu, dulunya. Buktinya ketika akan membaca doa ada istilah api diambiak kamonyan dibakar. Ketika masuk Islam, pengaruh Hindu mulai hilang," tambahnya.
 
Datuk bertiga ini karena pengaruh zaman, masuknya Belanda, disepakatilah untuk melakukan pemerintahan di Kenegerian Sentajo ini dipegang oleh Penghulu nan berempat, karena di Sentajo ini ada empat suku adat, Paliang, Melayu, Caniago, Patopang. Masing-masing pucuk pimpinan itu dipegang oleh penghulu. Kemudian dibantu oleh Monti (Menteri), dubalang (pagar Nagori) yang menjalankan undang-undang, dan ada tuo kampuang.
 
Pengaruh zaman pun turut mengubah keyakinan masyarkat Sentajo, dulu. Pada tahun 1834, didirikanlah sebuah masjid yang masih utuh sampai sekarang. Masjid usang, yang kini bernama Masjid Raudhatul Jannah menjadi saksi sejarah panjang peradaban masyarakat Sentajo. Menengok ke arah kanan jika ke luar dari Rumah Godang suku Caniago, ada sebuah masjid tua yang masih kokoh, itulah masjid Usang. "Artinya Sentajo dulunya tidak ada desa. adanya desa sejak zaman Soeharto di situlah orang adat kita peranannya agak tersisih. Apakah desa Sentajo ini kembali jadi desa adat karena dinobatkan sebagai cagar budaya, tentu jawabannya ada di kita semua. Bukan tidak memungkinkan desa ini kembali menjadi Kenegerian," kata Milus optimis.
 
Usai penjamuan di Rumah Godang, hanya beberapa langkah keluar dari Rumah Godang, kami tiba di Masjid Usang. Disini, lagi-lagi kami takjub, bukan karena bentuk masjidnya. Tapi, karena kegigihan masyarakat Sentajo mempertahankan ornamen sejak ratusan tahun silam. Memasuki masjid, ada satu tiang besar penyanggah masjid. Letaknya ditengah-tengah masjid. Tiang besar itu dikeliling pula oleh empat tiang. Dan empat tiang yang mengelilingi tiang utama itu pun dikelilingi beberapa tiang.
 
"Tiang utama melambangkan pucuk pimpinan atau pemerintahan di Kenegerian Sentajo dulunya. Tiang yang empat melambangkan keikutsertaan empat suku, Paliang, melayu, caniago dan patopang membangun negeri. Tiang 16 lainnya yang mengelilingi melambangkan keikut sertaan, Monti, Dubalang masing-masing empat suku ini," kata Madiusman, salah seorang pemerhati adat di desa Sentajo.
 
Masjid ini sempat ditinggalkan masyarakat Sentajo. Namun kepercayaan yang melekat pada masyarakat Sentajo membuat Masjid ini kembali difungsikan. "Masjid sempat ditinggalkan. Pada saat itu, banyak wabah penyakit dan hasil panen tidak memuaskan sejak masjid itu ditinggalkan. Setelah dihuni atau difungsikan kembali pada tahun 1980-an barulah hasil panen bagus kembali. Wabah penyakit pun tak lagi ada," tambah pria asli desa Sentajo ini. Sungguh kearifan lokal yang tak tergerus zaman. Sentajo, inilah rumah, tempat ribuan orang-orang Rantau Kuantan pulang. Saksi sejarah peradaban masyarakat Kuantan Singingi.*** TAMAT
 
 
Penulis: Adri Subayang


Berita Lainnya

Index
Galeri