Opini

Meninjau Mitos “Radikal”

Meninjau Mitos “Radikal”
Ilustrasi.
Oleh: Satya Wira Wicaksana
 
Sejak dideklarasikan “War on Terrorism” oleh Bush, beberapa saat kemudian muncul stigma yang ditujukan kepada Islam dengan melekatkan kata “radikal” dan tidak sedikit negara yang mengaminkan hal tersebut untuk dimaktubkan dalam kebijakan politik negara-negara terkait. Masyarakat pun ikut hanyut dalam menyuarakan semangat anti-terorisme itu tanpa mengetahui apa sebenarnya radikal itu dan sejatinya seperti apa “Yang Radikal” itu.
 
Menurut Oxford Dictionary yang menjelaskan bahwa, radikal berasal dari bahasa Latin “radix” atau “akar” yang mengartikan bahwa radikal sebuah dasar, sebuah kealamiahan dari sesuatu. “Radikal” sebagai ideologi atau bahkan gerakannya direkam oleh sejarah sejak kebijakan “Radical Reform” dalam nuansa perpolitikan Inggris pada tahun 1797 yang menuntun sebuah pembaruan atau perubahan dalam parlemen Inggris, khususnya dalam permasalahan Hak Pilih. Dan pada 1832 yang ditandai oleh persetujuan The Reform Act dari parlemen Inggris. Pada saat bersamaan, The Radicals atau “Para Radikal” menjadi istilah umum kepada para pendukung reformasi parlemen Inggris mengenai Hak Pilih yang seharusnya lebih universal dan memperbolehkan Kelas Buruh untuk memilih.
 
Radikal dan Para Radikal terinspirasi gagasan filsafat yang mengasumsikan bahwa manusia dapat mengatur lingkungan sosialnya melalui aksi kolektif, yang disebut Filsafat Radikal, yang menuntut perubahan sosial. Maka, sejatinya, radikal atau bahkan radikalisme adalah sebuah makna yang tersendiri dan tidak dapat diberikan label “kekerasan”. Kelompok radikal pun tidak dapat diformatkan kepada kelompok Islam yang berjuang, baik secara Islami atau pun mengekspansi dengan kekerasan. Islam Radikal hanya memberikan satu arti, yakni Islam yang Sejatinya. Jika dalam Islam terdapat banyak jenis dan sekte, lantas dalam permasalahan sekarang ini kita hanya harus memandang bahwa Islam yang kaffah adalah Islam yang tidak menebar kekerasan dan kebencian.
 
Tentu saja dalam permasalahan ini tidak akan cukup jika hanya melihat dari definisi “radikal”, kita harus menggunakan perspektif politik dan generalisasi empiris. Radikal, dalam ranah politik sudah jelas ditujukan kepada kelompok yang ingin mengubah struktur politik yang tentu saja dengan kepentingan-kepentingan tersendiri. Di dalam kusut-masainya pemilahan antara kepentingan-kepentingan inilah permasalahan yang sebenarnya terjadi.
 
Kepentingan tentu saja berada dalam ranah subjektif si pembawa kepentingan dan kepentingan tentu saja relatif dan tergantung. Sebagai contoh, pascara dekalrasi War on Terrorism di atas, Islam ditempatkan sebagai paham yang radikal. Lantas, sejatinya, apa yang menjadi permasalahan adalah stigma buruk yang disandangkan kepada Islam. Padahal, Islam sudah radikal sejak awal—dan setiap paham, kredo, atau ajaran sudah pasti memiliki ranah radikalnya sendiri.
 
Jika demikian kiranya, “Islam” dan “radikal” adalah dua hal yang berkesinambungan yang mengartikan bahwa “Islam yang asli” atau “Islam yang dari akarnya”, tentu saja di luar dari pengelompokan kepada sekte-sekte Islam saat ini. Memang, Islam dikatakan agama yang mengajarkan terorisme adalah sebuah generalisasi. Akan tetapi, bukan sebuah generalisasi yang baik (good generalization). Generalisasi adalah sebuah hubungan beberapa konsep yang bersifat kondisional dan empiris. Misalnya mengenai radikal itu sendiri, definisi radikal yang begitu kabur sebab radikalisme akan hidup sebagai istilah jika ia mengancam dan permasalahannya ialah generalisasi bahwa radikal merupakan sebuah ancaman bukanlah sebuah generalisasi yang universal. Di satu sisi, belum tentu radikal itu mengancam dan ditambah lagi pengertian radikalisme tersebut merupakan akar pemikiran.
 
Tidak jelas apa yang membuat “Islam Radikal” dikategorikan sebagai ancaman yang digeneralisir. Jika hal tersebut disandingkan dengan jaringan-jaringan yang mengatasnamankan Islam untuk aksinya, maka tentu saja perlu ditinjau mengenai keIslamannya sebab, dalam hal ini, Islam yang sejati adalah Islam yang tidak menebar kekerasan dan diwajibkan patuh kepada pemimpin, selagi si pemimpin tidak memaksa untuk keluar dari Islam. Jika generalisasi “Islam Radikal” semakin gencar karena masifnya pergerakan ISIS di Timur Tengah, maka tentu saja kita tidak dapat menyamakan kedudukan Islam sebagai agama dan cara hidup dengan ISIS yang mendompleng syahadat sebagai bendera pergerakannya serta yang mereka klaim sebagai sistem pemerintahan Islam namun begitu koersif. Dengan begitu, sudah tentu tidak dapat dilakukan generalisasi terhadap Islam karena hanya mengambil bukti-bukti yang dianggap empiris dari fenomena ISIS dan jaringan lainnya yang mengatasnamakan Islam untuk kekejamannya.
 
Radikal adalah sebuah istilah yang berdiri sendiri dan sejatinya tidak dapat diartikan begitu saja dan untuk menilai sebuah radikalisme itu baik atau buruk, itu tergantung pada variabel kedua atau kata penyandingnya. Terkhususkan “Islam Radikal”, hal tersebut tidak dapat dianggap sebuah generalisasi yang empiris dan universal jika dikaitkan dengan kekejaman dan teror yang bertebaran karena akibat generalisasi tersebutlah muslim-muslimah yang tidak melakukan teror pun terkena imbasnya dan dicap sebagai teroris. Bukankah kelompok-kelompok teror yang ingin mengubah struktur politik negara dan menebar teror juga memandang bahwa “Yang Bukan Mereka” adalah musuh? Jika demikian, bukankah yang melakukan generalisasi asal-asalan tersebut sama saja dengan kelompok penebar teror itu? Maka, berhentilah melakukan generalisasi yang asal-asalan, apa lagi dalam permasalahan Islam (yang dianggap) Radikal.
 
 
Satya Wira Wicaksana adalah mahasiswa jurusan Hubungan Internasional FISIP UR 2012 dan aktif sebagai Pembina di Forum Academician for International Relations Universitas Riau.
 


Berita Lainnya

Index
Galeri