Menahan Amarah

Menahan Amarah
Ustazah Nella Lucky S.Fil.I.,M.Hum. (Foto: Istimewa)
Oleh: Ustazah Nella Lucky S.Fil.I.,M.Hum.
 
BETAPA banyak manusia yang mengartikan kemarahan dan memberikan label keliru pada setiap kemarahan. Kemarahan diartikan sebagai kekuatan, siapa yang lebih kuat, ialah yang paling kuat marahnya. Yang tidak mampu marah berarti penakut, pengecut, tidak berani dan sebagainya. 
 
Kemarahan dianggap sebagai wujud kasih sayang. "Saya ini marah karena saya sayang, kalau saya tidak sayang, ya saya akan diam saja dan tidak akan marah, saya marah karena saya masih sayang." Kemarahan dianggap sebagai bentuk perhatian. "Saya ini marah karena saya sangat perhatian, bukan karena saya pemarah, tetapi karena cara perhatian saya dengan marah, ya beginilah saya."
 
Salah paham terhadap kemarahan ini mengakibatkan orang sulit menahan amarah. Mereka lupa beberapa hal, yakni marah akan membuat adrenalin tidak stabil dan peredaran darah menjadi kacau dan akan berpengaruh pada kesehatan.
 
Sahabatku...
Tidak akan ada satu orangpun akan mendengarkan nasehat yang disampaikan dengan cara marah. Marilah kita lihat, seorang anak yang pulang dari sekolahnya dan terlambat, lalu ibunya marah dengan mengatakan, "Mama ini sayang sama kamu, jangan nakal dan pulang selalu terlambat, nanti kamu hilang, bagaimana?"
 
Ungkapan seorang ibu saat menasehati anak dengan kemarahan tidak akan diserap dengan baik kedalam otak anak. Anak hanya akan mendapatkan sakit hatinya saja dan tidak mampu menangkap info dengan baik. 
 
Siap-siaplah esok pagi sang anak akan mengulang kesalahan yang sama karena informasi yang disampaikan ibu dengan marah tidak masuk ke dalam cerna sel otak anak, yang ia tangkap hanyalah sakit hatinya saja.
 
Selain itu, marah membuat tumpul akal fikir. Betapa banyak orag mengungkapkan kalimat jelek dan memalukan saat marah? Mengapa? Karena akal fikirnya tumpul. Ia tidak mampu lagi berfikir, mana kata yang akan membuat lawan bicara tersinggung, mana kalimat yang akan menyelesaikan masalah dan mana kalimat yang akan memperumit masalah.
 
Orang yang sedang marah tidak akan mampu berfikir demikian, karena ketika marah akal fikirnya tumpul. Lebih pahitnya lagi, marah akan mengakibatkan penyesalan yang tidak akan hilang. Setelah menyesal, apakah selesai dengan meminta maaf? Tidak, piring sudah terlanjur pecah, hati sudah terlanjur sakit. Apakah bisa membaik? Bisa, tanpa menghilangkan bekas.
 
Betapa banyak orang tua yang marah berlebihan kepada anaknya, dan setelah ia marah, ia menyesal dan menatap mata anaknya. Saat inilah kebingungan terjadi. Mau minta maaf, malu, tidak minta maaf akan menyesal. Pilih manakah kita?
 
Sahabat, niat yang baik jika dilakukan dengan cara salah akan menjadi salah. Niat baik namun diungkapkan dengan kemarahan, akan menjadi salah. Tidak akan ada satu manfaatpun dalam kemarahan selain hanya akan merugikan diri sendiri. Bayangkan efek marah, adrenalin tidak stabil, fikiran tersiksa, dada sesak dan tidak disukai orang.
 
Wajarlah Ali bin Abi Thalib mengatakan, "orang yang paling jahil adalah orang yang dengan kemarahannya ia merasa bahwa ia telah sukses mengendalikan orang lain dibawah kemarahannya."
 
Lalu bagaimana cara melawan amarah?
 
1. Ketika ingin marah, paksakan diri untuk berfikir, apakah ini adalah sesuatu yang layak kita marahi, atau tidak. Karena tidak semua masalah harus diselesaikan. Ada masalah yang bisa diselesaikan hanya dengan diam. Jika tidak layak marah, diamlah, tahan diri sekuat kuatnya untuk tidak marah. Latih... latih... Kebiasaan akan mendewasakan kita.
 
2. Setelah berfikir lalu gunakan trik ala Rasul. Jika engkah ingin marah dalam keadaan berdiri, duduklah, jika duduk engkau masih marah, baringlah, jika masi marah, berwudhulah, jika masi marah, tersenyumlah dan ungkapkanlah bahwa orang yang dimarahi tidak selamanya salah.
 
3. Cepat meminta maaf. Ada dua fungsi besar dalam maaf. Pertama, meminta maaf karena kita salah. Kedua, meminta maaf untuk meredakan emosi kita. Meminta maaf dapat menurunkan kinerja emosi negatif. Jika sedang marah, cobalah sedikit menundukkan hati dengan mengucapkan maaf. Ingat, bukan karena kita salah dan mereka benar, namun karena ingin menurunkan ego negatif. Sayangnya, banyak manusia yang mengartikan marah adalah wujud kesalahan sehingga enggan meminta maaf.
 
4. Pendapat yang mengatakan, "kalau mau marah, ya marah saja, jangan dipendam nanti menjadi penyakit." Ini adalah kalimat yang tidak benar. Justru semakin manusia itu marah, semakin ia sakit. Karena saat terjadi kemarahan peredaran darah akan rusak. Menahan amarah akan menyehatkan karena inilah Sunnah Rasul.
 
5. Upayakan mengganti marah dengan memberi pengertian. Memberi pengertian adalah cara ampuh dalam menyelesaikan konflik. Namun, memberi pengertian dengan cara marah juga merupakan kesalahan.
Beri pengertian dengan cinta, ungkapkan dengan baik. Tidak akan ada satupun manusia yang menolak ungkapan jika dilakukan dengan cara terbaik.
 
Bagaimana jika marah sudah menjadi karakter. Tetap saja, karakter bisa berubah.
 
Lihatlah Umar bin Khattab, lelaki tegar, keras, pemarah, seakan-akan tidak ada hati, bisa menangis luluh akibat peristiwa. Sehingga ketika masuk Islam, Umar adalah manusia lembut dan tak ada satupun yang mengalahkan kelembutannya.
 
Lihatlah Khalid bin Walid, Singa Perang, garang di medan tempur, bisa menangis dan luluh ketika terjadi konflik.
 
Bagi yang merasa diri tempramen, percayalah, akan ada ruang ruang perubahan pada diri untuk hidup lebih baik.
 
Latihlah, rasakan bahwa indahnya menahan amarah seindah hidup tanpa masalah. 
 
Wallahua'lam.
 


Berita Lainnya

Index
Galeri