Mengungkit-ungkit Kesalahan

Mengungkit-ungkit Kesalahan
Ustazah Nella Lucky S.Fil.I.,M.Hum. (Foto: Istimewa)
Oleh: Ustazah Nella Lucky S.Fil.I.,M.Hum.
 
Terdapat satu kesalahan fatal yang dilakukan oleh manusia pada saat terjadi problem. Saat ia mengharuskan harapan sesuai dengan kenyataan. Betapa banyak manusia yang senantiasa mengungkit kesalahan orang lain. Ia menganggap bahwa dengan mengungkit kesalahan orang lain akan menyelesaikan masalah yang terjadi. Ia akan menganggap bahwa orang lain akan berubah jika kesalahannya selalu diungkit-ungkit. Padahal itu hanyalah bumerang yang akan mematikan interaksi.
 
Kita ambil sebuah contoh, betapa banyak orang tua yang senantiasa menganggap dirinya benar dan anak salah dengan cara mengungkit kesalahan pada anak. Yakni dengan mengungkit ungkit catatan kesalahan yang pernah dibuat anak.
 
Kita ambil contoh lain, jika anak melakukan kesalahan, ia ingin bermain dengan sahabatnya di luar rumah, ternyata nasib tidak berpihak padanya. Ketika bermain, ia bertengkar dan mengadu kepada orang tuanya bahwa ia bertengkar dengan teman bermainnya. Lalu orang tua yang telah melarang anak tadi berkata.
 
“Tuh kan Papa/Mama bilang apa? Jangan bermain siang ini. Kamu tidak pernah mau dengerin sih, sekarang kejadian kan. Makanya dengerin kalau orang tua ngomong. Dasar kamu emang anak nakal.”
 
Kita berharap dengan mengungkit kejadian masa lalu, anak akan belajar dari masalah. Namun yang terjadi adalah sebaliknya, ia akan sakit hati dan berusaha mengulangi kesalahannya sebagai tindakan balasan dari sakit hatinya. Atau ia tidak akan mendengarkan nasehat orang tuanya karena yang ia dapatkan hanyalah sakit hati belaka.
 
Anak yang berada dalam sakit hati, otaknya tidak akan dapat menangkap info dengan baik. Maka menjadi hal yang wajar jika keesokan harinya anak melalukan hal yang sama. Mengapa? Karena ungkapan orang tua kemarin tidak mampu ditangkap dengan baik. Mengapa? Pada saat itu ia sedang sakit hati, otak tidak akan mampu menangkap info nasehat dengan baik.
 
Apa yang sebaiknya kita lakukan?
 
Jika kita tidak ingin anak berperilaku buruk lagi, janganlah diungkit-ungkit kesalahannya dengan ucapan, "tuh kan bla bla bla." Cukup dengan tatapan mata, jika perlu rangkullah ia. Ikutlah berempati sampai dia mengakui kesalahan dan kekeliruannya. Ucapkan pernyataan seperti, “manusia itu tempatnya salah dan lupa, semoga ini menjadi pelajaran berharga buat kamu,” atau, “Papa/mama bangga kamu bisa menemukan hikmah positif dari kejadian ini.”
 
Seorang istri yang ingin keluar rumah, lalu suami keberatan, pada saat yang sama terjadi negoisasi dan lobilisasi, lalu suami barkata, "Ya sudah Mama keluar saja tidak apa-apa. Asal hati-hati ya."
 
Pada saat keluar rumah, ternyata nasib tidak berpihak pada istri, ia mengalami kecelakan kecil dalam perjalanan. Pada saat yang sama Ia menelepon suaminya, "Pa, Mama kecelakaan kecil saja kok. Tapi tidak apa-apa kok."
 
Lalu saat yang sama suami berkata, "Masya Allah itulah, kan tadi udah Papa larang, kenapa pergi juga?"
 
Lalu suami memarahi istrinya dengan mengatakan, "lain kali dengerin Papa, kalau gak boleh ya sudah jangan lakukan. Rasainkan gimana rasanya tidak nurut ama suami?"
 
Suami marah, tetapi membungkusnya dengan kata nasehat. "Papa ini nasehati Mama, lain kali jangan sampai gak dengerin Papa lagi."
 
Sahabat, kebanyakan orang bersembunyi di balik kata nasehat untuk menekan orang lain yang tidak sependapat dengannya." Nasehat yang baik, jika disampaikan pada waktu yang tidak tepat dan cara yang tidak tepat, hanya akan menjadi bumerang bagi kedua belah pihak.
 
Lalu apa yang dapat dilakukan oleh istri? Pada saat kecelakaan kecil, ia mengalami trauma, ketakutan melanda, trauma belumlah hilang, ditambah lagi dengan perkataan sang suami yang mengatakan, "itulah makanya, sudah Papa bilang," bercampur dengan perasaan bersalah kepada suami. Bayangkan bila ini terjadi pada diri kita. Terpuruk bukan? Apa yang salah? Kesalahan terletak pada cara menyikapi masalah. Seakan-akan ketika terjadi insiden, yang salah adalah orang lain. Padahal pada saat itu bukanlah orang lain yang salah melainkan nasib baik sedang tidak berpihak pada kita.
 
Suami tidak tahu akibat perkataannya tidak akan membuat sang istri semakin tenang melainkan semakin terpuruk dalam lembah kesalahan. Sekarang, apakah sang suami bisa membayangkan bahwa kecelakaan itu terjadi bukanlah karena istri keluar rumah? Itu adalah qadha dan takdir. Lalu apakah pada saat itu, jika istri tidak keluar rumah ia bisa menjamin keamanan pada istrinya? Tidak bukan. Beberapa kemungkinan buruk bisa saja terjadi.
 
Tidak ada jaminan seluruh nasib baik akan berpihak pada kita.
 
Lalu apa yang harus dilakukan jika terjadi hal demikian?
 
1. Jangan sesekali bermimpi menjadi pahlawan untuk mengingatkan orang lain pada saat insiden terjadi. Kita selalu ingin menjadi pahlawan ketika kita berkata, "itu lah, sudah saya bilang, kamu gak mau mendengar." Ini hanya akan membuat lawan bicara menjadi terpuruk. Apalagi dikatakan pada saat insiden buruk terjadi.
 
2. Jika kejadian buruk terjadi, maka fokuslah kepada solusi, jika anak bertengkar saat dilarang keluar rumah, fokus kepada solusi, apakah dengan mengajaknya berdamai atau mengobati luka hatinya akibat perlakuan temannya. Ketika istri mengalami insiden, fokus dahulu pada solusi, apakah ia baik-baik saja atau tidak. Fokus kepada solusi memecahkan masalah. Dan jangan cepat-cepat mencari siapa yang salah.
 
3. Jika solusi berhasil maka cari moment yang tepat untuk menasehati mereka. Jangan sesekali mengungkit kesalahan orang lain pada saat kejadian karena akan berakhir pada derita perasaan yang sangat dalam.
 
4. Jangan membangun ekspektasi yang terlalu besar bahwa jika orang lain mendengarkan kita, maka keadaan akan baik-baik saja. Belum tentu. Berusahalah berdamai dengan keadaan bahwa pada saat terjadi sesuatu di luar keinginan, pada saat itu bukan aku atau dia yang salah, tetapi fikirkanlah bahwa, "pada saat ini, keadaan tidak berpihak pada kita." Berdamai dengan keadaan yang tidak memihak ini memberi ketenangan khusus pada diri.
 
Kuncinya adalah, jangan mengungkit kesalahan orang lain pada saat hatinya belum siap menerima nasehat.
 
Semua soal cara.
 
Wallahua'lam.
 


Berita Lainnya

Index
Galeri