Opini

Menyikapi Hari Raya Paskah dalam Konsep Bernegara

Menyikapi Hari Raya Paskah dalam Konsep Bernegara
M. Tazri (foto: istimewa)
Oleh: M. Tazri
 
Hari ini (25/03/2016), saudara kita yang beragama kristiani merayakan momen kenaikan Isa Almasih yang mereka sebut sebagai Hari Raya Paskah. Hari Raya Paskah merupakan perayaan terpenting karena memperingati peristiwa yang paling sakral dalam hidup Yesus seperti yang tercatat dalam Injil di perjanjian baru. Hari Raya Paskah adalah perayaan umat salah satu agama yang ada di Indonesia, dimana kita tahu bahwa negara Indonesia mengakui keberadaan 6 agama, yaitu: Islam, Kristen Protestan, Kristen Katolik, Hindu, Budha dan Kong Hu Cu.
 
Agama di Indonesia memegang peranan penting dalam tatanan kehiduan masyarakat. Agama berpengaruh secara kolektif tehadap peradaban bangsa, baik itu pada aspek politik, ekonomi, sosial dan budaya. Agama ini pulalah yang menjadi nilai entitas bangsa Indonesia. Perbedaan agama merupakan bagian dari struktur negara Indonesia yang multikultur, dalam kosep multikultur Indonesia terdiri dari beragam Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan yang biasa disebut SARA. 
 
Tentu dalam melihat sifatnya yang heterogen, mutlak di dalamnya perbedaan. Keberagaman dan perbedaan ini biasanya memunculkan konflik horizontal yang kadang tak bisa terelakkan. Beberapa kasus di negara ini terjadi salah satu pemicunya adalah perbedaan, Agama masih menjadi isu pemicu yang dominan. Konflik Poso (1999) waktu itu menjadi titik balik bahwa perbedaan Agama sarat dengan pergesekan, konflik Poso menjadi catatan kelam bangsa Indonesia, ribuan nyawa hilang sia-sia. Dalam hal ini, pemerintah adalah pihak yang bertanggungjawab penuh karena dirasa belum mampu mempersatukan bangsanya secara utuh.
 
Memang Agama merupakan hal yang sensitif jika dijadikan tolak ukur perbedaan, tapi dengan arus modernisasi, berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, hendaknya konflik sosial seperti ini sudah sangat bisa untuk diminimalisir. Perbedaan ini harus sama-sama disikapi dengan bijak. Saling menghargai dan menghormati antar sesama merupakan sikap yang diharapkan.
 
Perlu dicatat, dasar negara kita yang termaktub di dalam UUD 1945 pasal 29 ayat 2 mengatakan bahwa negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan beribadat menurut agamanya dan kepercayaannya itu. Ini harga yang pantas kita berikan dalam konsep hidup bernegara. Hal ini dipertegas lagi dengan semangat “Bhineka Tungga Ika” yang menjadi pemersatu bangsa, dengan makna “berbeda-beda tetap satu” adalah bukti bahwa Indonesia merdeka dan berdiri kokoh di atas berbagai lapisan perbedaan di kalangan masyarakat, dan perbedaan tersebut menjadi perekat sosial dalam mempertahankan keutuhan bangsa.
 
Di era yang lebih maju, keberagaman pada bangsa Indonesia menjadi salah satu kekayaan negeri ini. Bagimana tidak, salah satu daya tarik pariwisata Indonesia ialah keberagaman budaya (diversity of cultures). Keberagaman ini menjadi komoditi daya tarik wisatawan mancanegara, menjadi bahan promosi Indonesia di kancah internasional, kita dituntut untuk mempertahankan ini semua dan kita patut bangga. 
 
Sudah bukan waktunya lagi keutuhan bangsa dikotak-kotakkan dari latar belakang SARA yang berbeda, sudah saatnya kita menyingkirkan “dominasi mayoritas, tirani minoritas”, yang harus kita pupuk adalah “mayoritas mengayomi minoritas, minoritas menghargai mayoritas”, inilah yang kemudian menjadi landasan konsep Gotong Royong pada era ibu Megawati Soekarno Putri.
 
Perilah deskriminasi, sikap perbedaan perlakuan terhadap sesama warga negara, Indonesia menjamin itu semua. Mari kita lihat UUD 1945 pasal 28 huruf i ayat 2 menyatakan bahwa seluruh warga negara bebas dari sikap deskriminatif atas dasar apapun dan berhak mendapatkan perlindungan dari sikap dekriminatif tersebut. Tentu ini merupakan harga mati yang tidak bisa ditawar lagi dalam konsep bernegara.
 
Harapannya, kita sudah tidak terjebak lagi pada kondisi (deskriminasi) ini, konsep bernegara ditutup dalam Pancasila yaitu sila ke-5 keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia. Perbedaan etnis, bahasa, seni, adat istiadat dan berbagai perbedaann lainnya merupakan kekayaan bangsa. Selama kita disatukan oleh simbol negara burung garuda dan bendera merah putih, kita adalah saudara, saudara sebangsa setanah air, Indonesia Raya.
 
Jika ada pertanyaan, Mengapa konflik sosial hingga saat ini masih terjadi? Jawaban konkritnya adalah Ideologi bangsa yang masih belum dipahami secara utuh, egosentris yang masih dipertahankan, hingga pada kurangnya pemahaman pada konsep Pluralisme. 
 
Salam
Yogyakarta, 25-03-2016
 
 
Penulis adalah alumni Pondok Pesantren Al Munawwarah Pekanbaru. Menyelesaikan Strata 1 Ilmu Komunikasi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM) dan pernah menahkodai IKPMR Malang. Saat ini tercatat sebagai mahasiswa Pascasarjana Ilmu Komunikasi Universitas Gadjah Mada (UGM).
 


Berita Lainnya

Index
Galeri