Indonesia Dilanda Bencana Bertubi-tubi, Musibah ataukah Kelalaian?

Indonesia Dilanda Bencana Bertubi-tubi, Musibah ataukah Kelalaian?

Belum usai dari bencana gempa bumi di Palu dan Donggala, masyarakat Indonesia kembali ditimpa musibah. Dua hari lalu, (29/10) pesawat Lion Air JT 610 rute Jakarta-Pangkalpinang dinyatakan jatuh di Perairan Karawang, Jawa Barat. Peristiwa ini sontak membuat seluruh warga Indonesia, termasuk negara tetangga, prihatin dengan tragedi nahas ini. Tak terkecuali duka yang dirasakan oleh pihak keluarga korban. Pasalnya, ada sekitar 178 penumpang dewasa, satu penumpang anak-anak, dua penumpang bayi, serta awak pramugari dalam pesawat itu.

Melansir dari laman Kompas, (31/10), sepanjang tahun 2018, Badan Nasional Penanggulangan Bencana ( BNPB) mencatat sekitar 1.999 kejadian bencana di Indonesia. Masing-masing disebabkan oleh gempa bumi, erupsi gunung berapi, angin putih beliung, longsor, banjir, kebakaran hutan, tsunami, dan sebagainya. Bencana tersebut bukan saja melenyapkan ribuan nyawa masyarakat Indonesia, namun juga menyebabkan kerugian besar. Pemukiman penduduk hancur, jalanan dan ribuan fasilitas umum juga rusak akibat bencana.

Sebagian orang menilai rentetan kejadian yang menimpa masyarakat Indonesia ini merupakan musibah akibat bencana alam. Namun tak jarang ada juga yang menanggapinya sebagai sebuah peringatan dari Allah subhanahu wa ta’ala atas kelalaian manusia. Manakah yang benar?

Dalam pandangan Islam, kita mengenal tiga jenis musibah yang dialami oleh seorang mukmin. Diantaranya kaffarah, bala’, dan ibtila. Ketiganya berbeda dari sisi sebab akibat.

Pertama, musibah yang dinilai sebagai ujian atau disebut dengan istilah ibtila’. Yaitu musibah dari Allah subhanahu wa ta’ala kepada orang-orang saleh dengan tujuan untuk menguji keimanannya kepada Sang Pencipta. Jika dijalani dengan tetap bersyukur dan sabar, Allah akan menggantinya dengan derajat mulia di sisi-Nya. Allah subhanahu wa ta’ala akan menguji setiap orang beriman melalui musibah yang datang menimpanya.

“Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: “Kami telah beriman”, sedang mereka tidak diuji lagi?” (QS Al-‘Ankabut:2)

Kedua, musibah sebagai sebuah peringatan (kafarah) atas kelalaian yang dilakukan oleh manusia di muka bumi. Ini semacam tebusan atas dosa dan kelalaian yang diperbuat oleh manusia sebelum akhirnya mereka menerima azab ketika di akhirat kelak. “Dan Kami timpakan kepada mereka azab supaya mereka kembali ke jalan yang benar” (QS Al-Zukhruf 43:48).

Jika dengan adanya musibah tersebut, seseorang tersadar dari kekhilafannya dan segera bertaubat, maka kesalahannya akan terhapus dan Allah mengampuni dosanya. Ini sebagaimana sabda Nabi Muhammad shalallahu ‘alaihi wa salam:

“Tidaklah seorang muslim ditimpa musibah berupa lelah, sakit, keresahan, kesedihan, penderitaan, kegalauan, hingga sebuah duri menusuknya, melainkan Allah menghapus dengannya (musibah tersebut) daripada kesalahan-kesalahannya.” (HR. Bukhari & Muslim).

Bisa jadi bencana banjir bandang atau kebakaran yang melahap ratusan hektar di area hutan itu terjadi akibat ulah sebagian manusia. Mereka tak sadar bahwa perilakunya yang tidak peduli dengan kebersihan lingkungan dan pembukaan lahan secara liar bisa berdampak buruk. Sehingga akibatnya pun juga dirasakan oleh masyarakat lain yang tidak ikut melakukan perilaku buruk.

Terakhir, berupa bala’. Yaitu musibah yang ditimpakan kepada orang-orang fasik, zalim, dan ahli maksiat. Ini semacam siksaan yang didahulukan di dunia, sebelum akhirnya mendapatkan azab di akhirat kelak. Seperti contoh azab yang Allah turunkan kepada umat Nabi Nuh yang tenggelam diterjang banjir bandang, atau juga para pengikut Fir’aun.

“Dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan di akhirat.” (QS At-Taubah 9:74).

Pada dasarnya, apapun bencana yang terjadi di negeri ini, itu sama halnya musibah bagi tiap individu. Maksudnya bahwa jika bencana itu terjadi di negeri yang pendudukanya beriman dan bertakwa, itu berati ujian untuk meningkatkan derajat kualitas spiritual sebuah bangsa. Sementara jika bencana itu menimpa suatu negara yang mayoritas berpenduduk muslim, namun ada juga sebagian masyarakat yang lalai, maka itu bisa diartikan sebuah peringatan.

Kita bisa lihat berapa banyak pelanggaran korupsi yang bahkan dilakukan oleh para petinggi negara yang sejatinya menjadi pemimpin bagi rakyatnya. Belum lagi maraknya tindak asusila yang korbannya mengincar anak di bawah umur dan pelakunya orang tua, bahkan gurunya sendiri. Terakhir, jika bencana itu melanda sebuah negeri yang dihuni oleh penduduk kafir, melegalkan perkawinan sejenis dan sebagainya, maka bisa dipastikan itu berupa azab atau bala yang Allah turunkan di bumi. Seperti bencana kekeringan berkepanjangan yang saat ini melanda bangsa Yahudi di negaranya.


Berita Lainnya

Index
Galeri