Opini

“Détournement De Pouvoir” dalam “Political Endorsement”

“Détournement De Pouvoir” dalam “Political Endorsement”

Oleh: Khairul Fikri

Berbagai pemberitaan di Indonesia tentang pernyataan sikap dukungan kepala daerah dalam kontestasi pilpres mencuat. Baik itu dilakukan dalam bentuk surat dukungan maupun deklarasi layaknya partai politik atau organisasi massa yang tidak berkaitan sama sekali dengan fasilitas dan anggaran daerah.

Salah satunya dukungan 10 kepala daerah di Provinsi Riau yang sebagaimana diberitakan, sengaja melakukan cuti 1 hari untuk menyelengarakan sebuah deklarasi, termasuk gubernur terpilih dan beberapa bupati, diiringi dengan surat pernyataan dukungan yang dibubuhi tanda tangan dan jabatan masing-masing dari penandatangan.

Pembacaan pernyataan dukungan kepada Jokowi-Ma'ruf Amin tersebut dipimpin langsung oleh Gubernur Riau terpilih, Syamsuar dan diikuti kepala daerah lainnya (Kompas.com, Seluruh Kepala Daerah di Riau Dukung Jokowi-Ma'ruf Amin).

Selanjutnya, pemberitaan tentang Surat pernyataan dukungan juga beredar saat pelantikan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Sawahlunto Deri Asta-Zohirin Sayuti di Aula Kantor Gubernur Sumatra Barat, Senin (17/9/2018).

Bahkan Gubernur Irwan Prayitno sempat membacakan isi surat yang beredar tersebut (Tribunbatam.id, Beredar Surat Dukungan 12 Kepala Daerah di Sumbar untuk Jokowi-Ma'ruf). Selanjutnya banyak lagi berbagai dukungan, di pulau Jawa hingga Papua.

Menanggapi berbagai dukungan tersebut, Menteri Dalam Negeri, Thahjo Kumolo, menilai kepala daerah merupakan jabatan politis, disebabkan oleh dukungan partai pengusung. Oleh karena itu, tidak masalah jika kepala daerah mendeklarasikan dukungan kepada salah satu paslon.

Hal tersebut sebagai tanggapan Thahjo Kumolo dalam menanggapi panggilan Bawaslu terhadap kepala daerah di Riau (Kompas.com, Mendagri: Sah-sah Saja Kepala Daerah di Riau Deklarasi Dukung Jokowi).

Menanggapi permasalahan yang sama, juru bicara Tim Kampanye Nasional (TKN) Jokowi-Ma'ruf, Ace Hasan Syadzily menyatakan, “gubernur itu adalah jabatan politik, tentu mereka punya kebebasan menentukan pilihan politiknya. Soal kekhawatiran mereka akan menggunakan fasilitas negara tentu ada aturannya.”( news.metrotvnews.com, Dukungan Kepala Daerah ke Jokowi-Ma'ruf Sah)

Fenomena ini dinamakan dengan istilah “political endorsement”, yang tidak hanya terjadi di indonesia, bahkan pada Pilpres AS 2016 di mana para senator dan gubernur-gubernur negara bagian pun melakukan hal tersebut.

Bentuk dukungan dan deklarasi tersebut sudah menjadi perdebatan di kalangan cendikia. Sehingga memunculkan sejumlah pertanyaan dalam benak publik, bahkan dijadikan sebuah narasi untuk melemahkan salah satu pasangan calon.

Apakah dukungan tersebut hanya bentuk dukungan pribadi sebagai pengisi hak berpolitik secara individu? Apakah itu bagian dari wewenang kepala daerah? Tidakkah dukungan tersebut sebagai bentuk “Détournement de pouvoir” atau penyalah gunaan wewenang?

Hadir dan terpilihnya kepala daerah sebagai pelaksana pemerintahan di daerah merupakan kehendak masyarakat yang bermaksud untuk berbuat baik terhadap kepentingan masyarakat. 

Pemerintahan pada awalnya bertujuan untuk menjaga suatu ketertiban, agar masyarakat dapat menjalankan kehidupan secara wajar. Namun seiring perkembangan pola pikir masyrakat modern dan perkembangan kebutuhan masyarakat semakin kompleks, peran tersebut bergeser menjadi melayani masyarakat ( public servant).

Pemahaman tersebut diartikan bahwa pemerintah tidak diadakan untuk melayani diri sendiri atau bertindak atas kepentingan kelompok tertentu, namun untuk melayani masyarakat dan menjamin kepentingan setiap masyarakat agar tidak diciderai (Muhammad Ryaas Rasyid; Makna Pemerintahan Tinjauan dari Segi Etika dan Kepemimpinan, 1997).

Maka tugas dan wewenang pemerintah daerah yang diatur dalam setiap lembaran undang-undang, mulai dari UUD 1945 hingga UU no 23 2014 sebagai undang-undang terbaru tentang pemerintahan daerah, menyatakan bahwa kepala daerah bertugas untuk menyelanggarakan pemerintahan daerah dalam bentuk kebijakan dan pelayanan pada ruang lingkup daerah, dan untuk menjalankan hal tersebut kepala daerah memperoleh hak protokoler dan hak keuangan.

Mengingat jabatan kepala daerah adalah jabatan yang melekat kepada individu kepala daerah, tidak heran setiap pergerakan dan perjalanan kepala daerah dianggarkan melalui anggaran daerah. 

Namun dalam hak dari kepala daerah ini terdapat konsekuensi, di mana jabatan yang melekat selama 24 jam tersebut harus digunakan atas dasar kepentingan rakyat, maka diberikanlah tanggung jawab dan wewenang yang diatur dalam undang-undang, namun dalam praktek tanggung jawab dan wewenang yang diberikan kerap disalahgunakan, di mana adanya tindakan KKN.

Dalam kontestasi politik yang dalam hal ini pemilihan presiden, pemerintah daerah turut hadir sebagai pelayan, di mana ikut menjamin hak demokrasi masyarakatnya dan dibantu oleh perangkat daerah, PNS dan ASN dan tentu perangkat tersebut harus dijamin netralitasnya, khusunya dalam penggunaan fasilitas dan anggaran.

Sehingga dalam praturan Bawaslu no 28 tahun 2018 melarang kepala daerah, ASN, PNS, TNI/Polri melakukan keputusan atau tindakan yang merugikan atau menguntungkan salah satu peserta pemilu.

Maka deklarasi dan penandatanganan surat dukungan merupakan tindakan menguntungkan suatu calon yang berkompetisi pada pemilu, di sinilah penyalahgunaan wewenang terjadi. Lagi pula kepala daerah tersebut akan mempengaruhi netralitas para perangkat daerah, terutama ASN yang bersentuhan langsung sebagai pelayanan publik, akan sangat memungkinkan terjadi pemamfaatan fasilitas atau anggaran yang menguntungkan suatu calon karena sebuah fenomena dukungan dari kepala daerah tersebut, konsekuensi terancamnya netralitas ASN.

Maka dapat disimpilkan bahwa; Pertama,  kepala daerah merupakan jabatan yang melekat terhadap individu gubernur ataupun bupati, dan diberi hak atas jabatan tersebut yakni hak protokoler dan hak keuangan yang dibebankan kepada daerah. Adapun kewajiban atas hak yang diperoleh tersebut adalah menyelengarakan pemerintahan di daerah. Oleh sebab itu diberi wewenang untuk melakukan kebijakan dan pelayanan kepentingan publik.

Kedua, Dukungan politik (political endorsement) jelas bukan aktivitas kebijakan atau pelayanan publik, bahkan sebuah pelanggaran apabila dilakukan oleh kepala daerah karna  menguntungkun salah satu paslon hal ini bertentangan dengan Peraturan Bawaslu no 28 tahun 2018.

Terakhir, kepala daerah yang melakukan dukungan politik dalam kontestasi pilpres, adalah bentuk penyalahgunakan wewenang  ditelisik dari UU no 30 2014 tentang administrasi pemerintahan, dikategorikan sebagai pencampuradukan wewenang di mana melakukan tindakan di luar batas atau bertentangan dengan materi dan tujuan wewenang diberikan. Di samping itu tindakan kepala daerah yang melakukan “political Endorsement” mengancam netralitas ASN sebagai pelayan public (public servant).

Khairul Fikri. Pengamat kebijakan publik. Alumni FISIP Universitas Nasional. Menetap di Jakarta.


Berita Lainnya

Index
Galeri