1.747 Rumah di Balaroa Palu Ditelan Lumpur, BNPB Ungkap Fenomena Menakutkan Ini

1.747 Rumah di Balaroa Palu Ditelan Lumpur, BNPB Ungkap Fenomena Menakutkan Ini

JAKARTA - Gempa Palu dan Donggala yang disertai tsunami pada Jumat (28/9/2018) lalu telah memporak-porandakan dua wilayah tersebut. Salah satu wilayah yang terdampak cukup parah adalah Perumnas Balaroa, Kecamatan Palu Barat, Kota Palu, Sulawesi Tengah.

Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperkirakan, setidaknya terdapat 1.747 rumah di wilayah tersebut. Semuanya, tertimbun lumpur akibat gempa Palu dan Donggala lalu. Lumpur itu sendiri muncul dari bawah permukaan tanah, hingga akhirnya ‘menelan’ segala bentuk bangunan yang ada di atasnya.

Kepala Pusat Data Informasi dan Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Sutopo Purwo Nugroho mengatakan, fenomena tanah yang berubah menjadi lumpur dan kehilangan kekuatan disebut likuifaksi.

Efek likuifaksi tersebut seolah-olah membuat perumahan Balaroa terkesan hanyut dan ditelan bumi. Hal itu disebabkan oleh massa dan volume lumpur yang keluar dalam jumlah besar saat gempa. “Perumnas Balaroa terjadi pengangkatan dan penurunan. Perkiraan sementara 1.747 rumah,” kata Sutopo, Selasa (2/10/2018).

Kendati demikian, BNPB belum bisa memastikan berapa jumlah korban jiwa yang ada di Perumnas Balaroa. Hal ini lantaran alat berat sulit menjangkau kawasan tersebut akibat daerahnya yang didominasi oleh lumpur.

Selain di Perumnas Balaroa, kondisi sama juga terjadi di Kelurahan Petobo, Palu Selatan.Dia daerah tersebut tertimbun lumpur akibat gempa kemarin. “Kita belum tahu jumlah korban yang tertimbun oleh amblesan di Balaroa dan likuifaksi di Petobo,” jelasnya.

Saat ini, pihaknya masih mengupayakan evakuasi para korban. Namun, ada kendala cukup serius yang dialami. Pasalnya, alat berat sulit diterjukan ke lokasi. “Alat berat yang diterjunkan itu kadang berat, itu lumpur mengakibatkan alat berat ambles,” pungkasnya.

Berdasarkan penuturan sejumlah warga Balaroa, tempat tinggal mereka itu kini sudah tak lagi seperti permukiman. Rumah dan bangunan seperti dibolak-balik. Tanah menjulang, menelan tiap bangunan yang berdiri di atasnya.

Bangunan bak ditelan bumi. Tanah berlumpur mencuat ke permukaan. Sejumlah ruas jalan pun sudah tak lagi bisa dilalui akibat menjulang sampai empat meter. Belum lagi saat gempa terjadi, hubungan arus pendek listrik memicu kebakaran.

Dari runtuhan bekas kebakaran itu pula jenazah yang Tim Wahdah Peduli evakuasi tidak utuh lagi. Organ-organ tubuh korban terhambur. Ada jenazah yang ditemui telah terbakar dan tinggal beberapa helai rambut.

Sejauh mata memandang hanyalah puing-puing rumah. Berjalan mesti hati-hati agar tidak terperosok masuk ke kolom rumah yang sudah tua tidak jelas bentuknya.

Pekikan takbir seringkali terjadi yang membuat merinding ketika keluarga korban dari luar Palu datang berkunjung mencari sanak famili dan yang mereka temui hanyalah puing-puing bangunan.

Bendera-bendera atau kain putih terpasang di mana-mana. Pertanda bahwa di bawah puing bangunan ini ada jenazah yang tertimbun dan belum bisa dievakuasi. Seakan-akan wilayah menjadi kuburan massal.

Permukiman yang dihuni sekitar 3000 jiwa itu kondisi reruntuhan bangunan sangat tidak stabil. Menapakkan kaki di atas runtuhan bangunan itu, bak menanggung risiko memicu runtuhan lainnya.

Belum lagi, saat malam hari, tak ada lampu penerangan sama sekali. Pasalnya, sampai saat ini, listrik masih belum menyala. Malam hari pun seakan makin membuat wilayah tersebut bak kota mati. Tak ada suara. Hanya senyap.

Untuk proses evakuasi, sejumlah tim relawan pun terpaksa melakukan dengan manual. Lantaran, alat berat dipastikan tak bisa memasuki wilayah itu.


Berita Lainnya

Index
Galeri