Semakin Banyak Buku yang Dilarang Beredar di Kuwait, Ada Apa?

Semakin Banyak Buku yang Dilarang Beredar di Kuwait, Ada Apa?

JAKARTA - Pemerintah Kuwait mulai meningkatkan larangan buku dan baru-baru ini Kuwait mulai melarang sejumlah buku sastra termasuk ensiklopedia dengan gambar Daud karya Michelangelo dan The Little Mermaid versi Disney.

Larangan ini beralasan untuk Kuwait, yakni Daud harusnya tidak memiliki daun pohon ara (daun yang digunakan untuk menutup kelamin untuk patung dan lukisan), dan putri duyung tidak seharusnya mengenakan setengah bikini.

"Tidak ada putri duyung yang mengenakan jilbab dan pikiran bahwa gaunnya terlalu mencolok. Itu memalukan," kata Shamayel al-Sharikh, aktivis perempuan Kuwait, seperti dilansir dari New York Times, 1 Oktober 2018.

Warga Kuwait menganggap negara mereka sebagai kantong kebebasan intelektual di Teluk Persia yang konservatif, surga yang pernah menyambut para penulis Arab yang diasingkan. Tapi citra negara yang bebas secara intelektual menjadi semakin sulit dipertahankan.

Menanggapi tuntutan blok konservatif yang berkembang di Parlemen, pemerintah semakin melarang buku-buku. Pada Agustus, pemerintah mengakui bahwa mereka telah melarang 4.390 buku sejak 2014, ratusan di antaranya tahun ini, termasuk banyak karya sastra yang pernah dianggap tak tersentuh, dan langkah ini memulai demonstrasi di jalan dan protes di sosial media.

Kadang-kadang komite sensor beranggotakan 12 orang (enam pembaca Arab, enam pembaca bahasa Inggris) yang mengatur buku-buku untuk Kementerian Penerangan memberikan alasan, salah satunya adalah buku Antologi Why We Write dilarang karena editornya, Meredith Maran, telah secara salah menuduh ayahnya karena pelecehan seksual.

Dalam kasus lain, alasan tidak jelas, seperti "The Art of Reading" karya Damon Young. Maya Angelou dihormati dengan prangko di Amerika, tetapi memoarnya, "I Know Why the Caged Bird Sings," dilarang di Kuwait.

Pemenang hadiah literatur tidak kebal terhadap larangan ini, pada kenyataannya mereka sering menjadi korban. "Seratus Tahun Kesunyian" karya pemenang Hadiah Nobel Gabriel García Márquez dilarang karena sebuah adegan di mana seorang istri melihat suaminya telanjang, seperti halnya "Anak-anak Gebelawi" oleh penulis Mesir Naguib Mahfouz, sebagai sastra berbahasa Arab pertama yang memenangkan Nobel Sastra.

Bahkan "1984" karya George Orwell juga dilarang, setidaknya dalam terjemahan bahasa Arab, meskipun diizinkan dalam bahasa yang lain. Pembaca Kuwait memprotes di Twitter dan Facebook dengan mengunggah foto tumpukan buku terlarang yang mereka miliki di perpustakaan rumah mereka.

Penulis menyarankan bahwa layanan pengiriman online dari luar negeri dapat menghindari larangan, yang berlaku sebagian besar untuk toko buku dan penerbit lokal. "Sekarang buku menjadi seperti narkoba," kata Hind Francis, seorang aktivis kelompok anti-sensor Kuwait yang disebut Meem3. "Anda harus memiliki dealer buku terlarang Anda," tambahnya.

Aktivis dan penulis berkumpul untuk memprotes larangan buku tiga kali pada September, terakhir pada Sabtu 29 September, hari terakhir dari Pekan Buku Terlarang internasional. Kuwait adalah salah satu dari beberapa negara Teluk yang memperbolehkan protes publik, meskipun mereka dikontrol secara ketat. Protes di Kuwait jarang dilakukan di luar ruangan, karena massa harus berani berpanas-panasan di tengah terik matahari Kuwait.

Dengan pameran Book Fair 2018 di Kuwait, yang ketiga terbesar di dunia Arab, setelah Kairo dan Beirut, yang dijadwalkan pada November, pemerintah mengklaim tidak ada pelarangan buku di Kuwait.

"Di Kuwait, selama lima tahun terakhir hanya 4.300 buku yang dilarang dari 208.000 buku, itu berarti hanya 2 persen yang dilarang dan 98 persen disetujui. Beberapa buku juga dilarang di AS, Eropa, Beirut, dan negara lain," kata seorang asisten menteri informasi Kuwait, Muhammad Abdul Mohsen al-Awash.

Dalam 11 bulan terakhir, kata al-Awash, 3.600 buku disetujui oleh komite sensor, sementara 700 dilarang. Namun, dia bersikeras, sejak awal, Kuwait selalu dikenal sebagai pendukung sastra dan budaya.

Ini adalah masalah yang sangat sensitif karena emir Kuwait, Sheikh Sabah al-Ahmad al-Sabah, telah mendorong untuk menjadikan negaranya sebagai pusat budaya regional. Sementara teater, tari dan musik berada di bawah perlindungan kerajaan dan dibebaskan dari sensor Kuwait, namun buku-buku tidak.

Larangan untuk pertama kalinya diperluas ke banyak buku internasional dan buku referensi yang sudah ada di rak-rak toko buku atau perpustakaan Kuwait, setidaknya sebagian karena tekanan parlemen, kata para kritikus larangan buku.


Berita Lainnya

Index
Galeri