Ketika Sayandra Kecebur Duka

Kamis, 06 Juli 2017 | 00:42:01 WIB
Ilustrasi. (Zeiko Duka/saatchiart.com)

“Di tempat itu, ada sebuah danau yang sangat luas dan dalam. Konon katanya, itu adalah buah dari duka Sayandra seorang janda kampung yang selalu dirundung duka. Diceritakan bahwa; danau itu telah menelan desa!”

***

Ketika Sayandra kecebur duka, maka desa kecebur sungai. Secara tiba-tiba, ada mata air yang keluar dari mata kaki sama seperti air mata yang timbul dari kelopak mata. Darah itu menjelma sungai yang deras dan akhirnya menenggelamkan desa. 

Jika perkataan mereka adalah silet, tak tahu sudah berapa sayatan yang telah menodai tubuh Sayandra. Jika perbuatan mereka adalah jejak kaki yang menyapa dalam benturan, tak tahu sudah seberapa besar lebam-lebam yang melumuri tubuh Sayandra. Dan jika cibiran mereka adalah hembusan nafas yang berhembus, tak tahu sudah berapa kali Sayandra rebah karena ditiup oleh cibiran dari mulut-mulut mereka. Memang benar, bahwa perkataan itu lebih tajam dari pedang. Lebih pedis dari cambuk. Dan, lebih ganas dari ombak yang pecah di bibir pantai.

***

Sayandra datang pada saat musim semi. Dimana wangi-wangi bunga mulai semerbak dan para petani mulai memanen. Saat itu ia adalah seorang gadis cantik. Seperti bunga yang senantiasa semerbak, kecantikannya pun merebak bahkan sampai ke sudut-sudut desa. Saat itu kecantikannya membuat seluruh warga gempar. Banyak lelaki yang mencoba untuk merebut hatinya bahkan membuat beberapa pertarungan kecil untuk mendapatkan hatinya. 

Sayandra adalah gadis cantik yang mampu membuat para lelaki ingin menceburkan hati ke dalam bibirnya yang merah basah dan kelihatan licin serta tubuhnya yang kelihatan bugar, padat dan berisi. Buah dadanya segar dan terlihat montok. Tak heran jika berahi para lelaki akan naik ke ubun-ubun jika melihat kemolekan tubuh Sayandra. Ayah yang selalu khawatir akan kecantikannya, selalu memaksanya agar segera menikah.

“Kapan kau akan menikah? Banyak lelaki yang ingin mendapatkanmu. Bahkan mereka rela mengorbankan segalanya agar mampu menikah denganmu.”

“Tenang saja Ama! Saya belum mendapatkan yang pas untuk diri saya. Saya masih merasa belum siap untuk menikah.”

“Sampai kapan kau mau mendapatkan yang pas dan sampai kapan kau merasa siap dan mempunyai waktu yang tepat?”

“Sampai saya siap, Ama!”

“Siap itu kapan? Tahun lalu kau dilamar anak kepala desa, namun kau menolak mentah-mentah dengan alasan kau belum mengenalnya. Beberapa waktu lalu, Primus datang dan menyatakan cintanya kepadamu tapi kau masih saja berpendirian bahwa kau belum mau menikah. Sudah banyak lelaki yang datang tapi kau tetap saja menolak. Sampai kapan kau mau seperti ini? Sampai laki-laki di desa ini sudah tak ada?”

“Tenang saja Ama, akan ada saatnya saya menemukan yang tepat. Ama sendiri pernah bilang kalau jodoh itu di tangan Tuhan dan jodoh itu takkan kemana-mana. Ia akan selalu mendekati kita. Pernikahan itu juga didasarkan atas rasa aman, bukan?”

“Menolak lamaran itu sama halnya dengan menolak rejeki nak! Nanti nasibmu tak akan jelas dan kau tidak akan mendapatkan lelaki yang lebih baik dari mereka. Hati-hati dengan cinta dan hati-hati memainkan perasaan orang. Nanti kau akan dirundung duka.”

“Ah.. Ama kenapa bicara begitu. Tidak takutkah ama jika hal seperti itu benar-benar terjadi?”

“Saya khawatir nak! Nanti umurmu semakin tua. Kau semakin jelek dan tak ada lagi yang mau melamarmu.”

Banyak lelaki yang sudah mencoba melamar Sayandra agar mendapatkan tubuh eloknya namun ia tetap berpendirian belum ingin menikah. Hingga pada suatu petang, kejadian yang paling memilukan menimpa Sayandra gadis cantik yang mengalahkan kecantikan seantero wanita desa.

Dengan diam-diam beberapa lelaki bertopeng membuntutinya saat ia hendak mandi di sungai. Ketika ia melepaskan pakaiannya, para lelaki itu dengan buas menerkamnya seperti singa kelaparan. Sayandra merontak, namun tak berdaya. Mereka menerkam Sayandra, menyisir seluruh bagian tubuhnya secara bergantian, memaksanya untuk jungkat-jungkit bersama, hingga memuncratkan tinta putih seperti getah dari dalam tubuh mereka ke permukaan tubuh Sayandra. 

Sayandra pulang dengan tangis yang sangat pilu. Ia pulang dengan membawa darah yang merembes dari selangkangan. Sayandra tak lagi perawan. Akhirnya ia memutuskan untuk menikah dengan siapa saja yang mau melamarnya pada saat itu. Ia pasrah dan kemudian menikah dengan Jupri. Namun kejadian memilukan tetap saja menimpa Sayandra. Untung tak dapat diraih, malang tak dapat ditolak. Setelah beberapa bulan menikah, Jupri meninggal.

Jupri meninggal dalam kamar setelah mereka melewati malam yang panjang. Saat tubuh mereka saling menindih dan berguling-guling di atas kasur. Banyak janji manis yang mereka ikrarkan. Namun Jupri pergi selamanya dengan menelan janji-janji manis itu. 

Saat itu langit semakin gelap. Mereka saling mendengar tarikan napas mereka, lalu tangan mereka saling menuntun, terulur dan mulai mencari serta saling menyentuh. Jupri merasakan wangi lembut yang meruap dari tubuh Sayandra. Seketika, sesuatu mekar di balik celana. Perlahan bibir mereka saling mencari dan akhirnya saling memagut dengan ganas. Mereka saling melumat dan menjamah dengan liar hingga ke sudut-sudut tubuh mereka. Saling berputar dan jungkat-jungkit hingga mendapatkan kepuasan. Dan, kemudian tenggelam dalam mimpi indah dan tidur yang panjang.

Keesokannya, Sayandra terjaga dengan kepala pening dan perut perih. Di sampingnya Jupri masih terbaring tanpa busana. Kuncup bibirnya mengering dan tubuhnya diam. Baru lama kemudian Sayandra tersadar bahwa Jupri sudah terbujur kaku. Suasana kampung menjadi riuh dan isu tentang kematian Jupri dengan cepat merambat ke telinga para warga melebihi kecepatan cahaya.

***

Kini Sayandra adalah seorang  janda.Tangis pilu selalu didendangkannya setiap malam mengenang nasib tragis yang selalu dialaminya. Memang, cantik itu luka. Ia selalu mengaung panjang memanggil-manggil mendiang suaminya. Ia menangis dan terus berteriak dengan mengunci diri dalam rumah.

Tidak ada yang tahu pasti tentang penyebab kematian Jupri, suaminya. Warga yang mendengar kabar kematian itu akhirnya menyebarkan desas-desus dan berusaha menerka-nerka tentang penyebab kematian suaminya. Sungguh wanita cantik yang malang. Banyak yang yakin bahwa kematian suaminya adalah hukuman baginya yang suka memilah-milah lelaki dan memamerkan kemolekan tubuhnya sampai para suami pun lupa diri. Ada juga yang mengatakan bahwa kematian Jupri merupakan tumbal atas kecantikan Sayandra.

Sejak saat itu, Sayandra seperti lupa ingatan. Gosip tentang nasib Sayandra pun akhirnya kembali menyebar. Sayandra adalah buah bibir masyarakat yang tak habis-habisnya dibicarakan. Bahkan pembicaraan tentang dirinya melampaui batas waktu dan batas-batas desa. Tak sedikit pun terlintas dalam benak Sayandra mengenai segala tudingan, cacian, hinaan bahkan perlakuan buruk yang dilakukan oleh warga desa entah laki maupun perempuan serta tua dan muda terhadap dirinya. Para wanita selalu mempermaikannya akibat dari sikap jengkel atas kecantikannya dan para lelaki sering melampiaskan nafsu berahi mereka kemudian meninggalkannya pergi. 

Barangsiapa berbicara dihadapannya dan berkelakuan kasar terhadapnya akan merasa bahwa setiap perkataan dan perbuatan mereka akan disedot ke dalam setiap pori-pori tubuhnya, lalu hilang dan tak berbekas dalam ingatannya. Segala perkataan dan perbuatan mereka seperti diserap ke dalam tubuhnya tanpa meninggalkan satu jejak dan bekas sedikit pun. Karena hal inilah banyak warga yang mulai memamfaatkan Sayandra. Namun makin hari, tubuh Sayandra makin molek dan segar. Kecantikannya pun tidak pudar bahkan lebih menawan.

***

Semua terperangah ketika pada suatu senja, Sayandra berjalan mulus melewati rumah-rumah warga yang penuh dengan cibiran tentang dirinya saat pulang dari sungai. Senyum manis mencuat dari bibirnya kepada setiap mereka yang meliriknya. Para istri mulai memasang wajah cemberut ketika melihatnya.

“Bukankah suaminya baru meninggal, buat apa berkeliaran sore-sore. Apakah dia tidak ingat akan suaminya?”

“Mungkin mau memikat para lelaki. Sebab dia pasti sangat merindukan dekapan para lelaki.”

“Dandanannya semakin menjadi-jadi. Mau tebar pesona pada siapa?”

“Saya yakin, Sayandra pasti pakai susuk. Kulitnya semakin kencang dan buah dadanya semakin montok. Kalau tidak dia pakai sihir.”

“Buat apa dia pakai yang begitu. Bukankah suaminya baru meninggal?”

“Dasar bego! Apalagi kalau bukan mau memikat nafsu para lelaki? Hati-hati, jangan sampai suami kita direbut olehnya.”

Kecantikan Sayandra menjadi buah bibir masyarakat terutama gadis-gadis yang memendam iri atas keelokkan Sayandra. Mereka mulai meniru gaya Sayandra agar mampu memikat pria-pria yang ada di desa itu. Kulit yang kencang, mulus dan langsat.  Namun sayang, kecantikan mereka belum mampu mengalahkan kecantikan Sayandra. Hingga suatu saat, mereka memutuskan untuk mengamati resep kecantikan Sayandra. Dari balik jendela rumah Sayandra, mereka mengintip. Ternyata Sayandra mandi dengan air yang diambilnya di sungai dan melumuri tubuhnya dengan adonan kamboja dan kemiri yang diambilnya di tepi sungai. Para gadis puber itu berpikir bahwa aroma wangi yang tersembur dari tubuh Sayandra adalah hasil dari adonan yang dipakainya. Maka dengan diam-diam, gadis-gadis itu mengikuti setiap ritual yang dilakukan Sayandra.

Bukan kecantikan yang didapatkan, namun malapetaka menimpa gadis-gadis mungil itu. Semenjak mengikuti ritual Sayandra, tubuh mereka semakin kusut. Sekujur tubuh mereka mulai gatal-gatal dan muncul bintik-bintik merah. Para orang tua yang mengetahui hal ini, akhirnya memutuskan untuk mengadili Sayandra. Dengan amarah yang mendidih ingin menghabisi Sayandra sebelum ada lagi korban yang berjatuhan.

***

Pada suatu senja saat matahari hampir tanggelam para warga berkumpul di balai desa. Dengan sejuta amarah yang menyala-nyala warga desa akhirnya bersepakat untuk menyerang rumah Sayandra. Berbekal senter dan obor yang dijunjung tinggi mereka berbondong-bondong ke rumah Sayandra. Mereka menaruh curiga bahwa Sayandra sesungguhnya telah memelihara Jin atau menggunakan sihir di rumahnya sehingga membuat para lelaki sampai lupa diri. Ibu-ibu yang melihat penderitaan yang dialami gadis-gadis mereka, mencabik-cabik suara mereka seperti kerasukan setan. Sayandra harus menanggung semua penderitaan ini.

Sesampainya di rumah Sayandra, mereka mendapatinya sedang mandi dengan air yang diambilnya di sungai. Teriakkan warga membuat Sayandra kaget dan kebingungan. 

“Itu dia Sayandra. Janda Suanggi yang telah memakan anak-anak kita!”

“Hei iblis! Kau telah merusak tubuh anak-anak kami. Lihat, karena ulahmu mereka jadi seperti ini.”

“Belum puas kau menggoda suami kami, sekarang kau mau mencelakakan anak-anak kami.”

“Bakar saja dia hidup-hidup! Potong saja rambutnya biar dia tau rasa.”

“Musnahkan saja dia, sebelum ada lagi korban yang berjatuhan.”

Sayandra yang tak tahu apa-apa berusaha untuk menyangkal dan menjelaskan apa yang sesungguhnya terjadi. Ia menjelaskan bahwa air sungai itu terkadang keruh dan berlumpur sehingga kita harus membersihkannya dulu sebelum menggunakannya. Warga yang termakan emosi tak menghiraukannya. Mereka mengepung Sayandra dan berusaha memusnahkannya. Rambut Sayandra dijambak dan mereka mencakar Sayandra dalam-dalam. Sayandra berusaha lari ke tengah lapangan. Namun warga yang emosi tetap mengikutinya.

Warga berusaha menangkap Sayandra. Mereka menariknya dan merampas tubuhnya untuk dicakar. Tiba-tiba, tubuh Sayandra meledak dan hancur berkeping-keping. Darah tersembur dan meleleh. Warga yang melihat akhirnya diam dan ketakutan. Kepingan-kepingan tubuh Sayandra akhirnya melompat-lompat dan kemudian menyemburkan suara dari dalamnya. Mulanya suara itu seperti dengungan lebah saja, tetapi makin lama makin jelas. Suara yang dikeluarkan adalah suara yang mereka kenal. Suara suami mereka, istri-istri, para gadis, lelaki, tua, muda dan bahkan suara mereka sendiri.

“Saya seorang pejabat. Istri saya tak sanggup memuaskan saya sehingga saya melampiaskan hasrat ini padamu.”

“Kau pakai susuk kan? mana susuk yang kau pakai! Berikan kepada saya supaya saya bisa membuat banyak pria tergila-gila kepada saya.”

“Dasar sundal. Kau semalam tidur dengan suami saya kan? Kalau begitu saya juga harus tidur dengan tetangga saya.”

“Saya harus tidur denganmu setiap hari!”

“Ini uang hasil curian dan korupsi. Pakai saja sebagai bayaranmu!”

Suara-suara yang dikeluarkan adalah suara yang disedot melalui pori-pori ke dalam tubuh Sayandra. Para warga saling memperhatikan. Mereka ketakutan sebab banyak suara yang disemburkan dari dalam kepingan-kepingan tubuh Sayandra. Mereka berteriak dan berusaha saling memohon ampun. 

Setelah suara-suara itu dikeluarkan, tiba-tiba semburan darah dan kepingan-kepingan daging itu menjelma menjadi mata air. Mulanya kecil, kemudian perlahan menjadi besar dan semakin membesar hingga melahirkan arus yang sangat deras. Warga menjerit, menangis dan memohon ampun. Mereka mencoba berlari namun tersungkur jatuh. Mata air itu tiba-tiba berubah menjadi arus sungai yang ganas. Mengejar-ngejar warga dan menenggelamkannya satu per satu. Yang terjatuh berusaha merayap pergi. Arus sungai itu bagai tak berhenti. Ia terus mengejar mereka. Satu per satu mulai tersungkur mati dan tenggelam hingga arus sungai itu menenggelamkan desa dan membentuk danau. 

Setelah semua tenggelam, sungai itu menjadi tenang. 

Konon, bertahun-tahun lamanya sungai itu masih tetap ada. Sungai yang lahir dari penderitaan. 

Februari 2016, Inspirasi dari Sebuah Cerita Rakyat di NTT.

Keterangan:
Ama : Bapak


Roger Sarin Mau adalah Alumni Fakultas Filsafat UNWIRA Kupang. Sedang Melanjutkan Studi di Universitas Mercu Buana Jakarta Program Magister Ilmu Komunikasi dan Staf Pengajar di Sekolah Dharma Suci. Sekarang berdiam di Jl. Duri Raya No. 55 Kebon Jeruk, Jakarta 11510. 

Terkini