Uwak Lastra

Ahad, 28 Mei 2017 | 07:41:30 WIB
Ilustrasi. (Salvador Dali/antiquity.tv)

AKU tak pernah menyukai lelaki berbadan belalang itu. Ia selalu datang ketika membutuhkan uang, dan menghilang ketika dibutuhkan. “Ia sebatang kara di Lahat ini. Kita harus paham dan prihatin dengan kondisinya. Itu saja.” Ujar ibu setelah memberikan uang besaran sepuluh ribu rupiah dan lelaki itu pulang entah kemana.

Hari ini, aku bangun dari tidur siangku dan mendapati lelaki itu duduk di teras rumah bersama Ibuku. Mereka membicarakan sesuatu. Sesungguhnya, apa yang kulakukan selanjutnya benar-benar tidak sopan. Tetapi karena penasaran, aku pun duduk di balik dinding ruang depan, menajamkan pendengaran, menyimak apa-apa yang mereka perbincangkan. Uwak Lastra—begitulah aku menuturkannya—tidak banyak berubah. Ia datang setiap satu bulan sekali, dan tak pernah mau masuk ke rumah bila bertamu. Ia hanya akan menerima segelas kopi Lahat yang diseduh di gelas seng, hasil warisan nenek lanang dari pihak ibuku.

“Lihat. Lihatlah kepalaku.” Ia membuka topi hitamnya yang sudah kumal dan menunjukkan bagian teratas badannya itu,”Aku mencukur habis rambutku setiap waktu. Aku tak mau melihat rambutku yang memutih, karena kekasihku tak akan suka melihat hal ini—” Aku menahan batuk. Perempuan mana yang menyukai bujang karatan tak punya pekerjaan seperti dirinya? “—dan gigiku, aku membiarkannya saja di sana. Apa kau punya saran agar napasku tak bau?” Ibuku tertawa seakan-akan, ia riang setiap kali lelaki itu datang. Padahal ia bukan kakak kandungnya. Ia saudara jauh yang kebetulan menetap di kota Lahat saja.

Aku memanjangkan leher. Kuperhatikan ia yang membelakangi badan dari jendela yang tembus hanya satu sisi. Ini menguntungkanku, meski aku hanya bisa memperhatikannya sebatas itu saja. Potongannya tetap macam anak muda saja, kawan. Uwak Lastra tak pernah melepaskan topi hitamnya dan ia selalu menggunakan celana jeans robek tengah yang dikatakannya mengikuti trend masa kini, ketimbang mengakui bahwa tak ada yang menjahitkan pakaiannya sejak sewindu terakhir. Ia tidak bisa dikatakan berpenampilan seperti preman. Dengan kaos sumbangan sebuah partai berwarna-warni itu, aku harus mengatakan ia lebih mirip Pak Ogah yang lahir di era tahun dua ribuan. 

Aku tak tahu banyak tentangnya. Apa pekerjaannya. Apa status pendidikannya. Apa kesukaannya. Bagaimana ia menjalani kehidupannya. Aku sebenarnya tak peduli. Tapi aku terlanjur tahu berdasarkan cerita Ibuku, bahwa Uwak Lastra adalah anak bungsu dari bibi Ibu. Bibi Ibu, adik perempuan dari Bapaknya suami Iparnya Ibu, mewarisi banyak sekali kekayaan. Juragan kopi tentu punya banyak sekali harta. Ibuku sampai menambahkan cerita bahwa keluarga mereka memiliki berpeti-peti uang saking banyaknya. 

“Kau bisa melihat tandanya di perbatasan kota ini. Ketika kau ke kota Palembang, apakah kau melihat sebuah bangunan furniture yang panjangnya tiga kali melebihi panjang rumah kita? Nah. Sebelum dirobohkan, dijual, dan dijadikan bangunan itu, tanah di daerah lingkaran luar kota ini adalah tempat mereka tinggal.”

Aku tak mempercayai cerita Ibuku. Uwak Lastra tak punya potongan sebagai bekas orang kaya. Lantas kemana perginya kekayaan itu? Itu pun sebenarnya bukan urusanku. Tapi Ibu, dengan kesengajaan yang sunah membebaskan aku mendengar kisah lanjutannya.”Bibi Ibu meninggal dunia tujuh tahun yang lalu. Anaknya yang cuma dua beradik itu, mendapatkan warisan masing-masing. Yang tertua pindah kota ke pulau Kalimantan. Uwak Lastra, yang sebatang kara mendapatkan warisan dan menghabiskannya begitu saja. Uwak kau itu tukang minum dan tukang judi. Sekarang setelah bangkrut, ia menyadari kesalahannya dan hendak kembali ke jalan yang benar.”

 “Aku tak bisa mewarnainya. Rasanya akan gatal di kulit kepalaku. Jadi, rambut ini selalu kucukur habis setiap waktunya. Keluarga kita ubanan dalam masa yang terlalu cepat. Apa menurutmu ini sudah garis keturunan?” Pertanyaan yang menyadarkanku dari lamunan di balik dinding ini, tak menyadarkan Uwak Lastra sendiri. Apakah ia lupa bahwa tak ada hubungan sedarah antara ia dan Ibuku?

“Bagaimana kabar anak bujangmu?” Tanyanya. Aku mendengus karena ia masih mengingatku.

“Dia baik-baik saja. Dia baru saja menyelesaikan kuliahnya. Itu, sekarang sedang tertidur di dalam kamar.”

“Ah, beruntunglah kau, Remuna. Kau punya anak yang bisa menjagamu.” Uwak Lastra meraih gelas kopinya dan memegangi tangkai gelas dengan hati-hati, seakan-akan, benda itu akan tumpah bila tidak dipegangi dengan kedua tangannya,“Aku datang juga untuk untuk mengatakan sesuatu yang berhubungan dengan itu. Kau mau tahu? Aku sudah memiliki kekasih.”

“Oh ya? Orang mana?” Ibu, sekali lagi menunjukkan seakan-akan ia benar-benar girang dan peduli.

“Tinggalnya di Pasar Bawah, tetapi asalnya dari Pagar Gunung. Seorang Janda.”

“Ia sudah memiliki anak?”

“Satu orang anak perempuan, usianya lima tahun. Itulah mengapa aku jadi juga memikirkannya.”

Hening sebentar.

“Tapi aku tentu harus memikirkan yang lebih penting daripada itu. Di masa tua seperti kita ini, sebagaimana peran dari anak bujangmu, setidaknya harus ada yang mengurusiku pula, bukan?” Ia bertingkah seakan-akan ia orang paling bijak seantero kota.

“Kekasih kakak tak keberatan tentang itu?”

“Hahaha! Tidak. Ia mencintaiku. Aku sudah katakan bahwa aku tidak punya pekerjaan apa-apa tapi ia tetap menerimaku tanpa apa-apa.” Aku yang masih duduk bersandar pada dinding menebak-nebak sendiri. Kalau tidak sama renta seperti dirinya, tentu perempuan itu adalah perempuan yang putus asa.

“Usianya dua puluh satu tahun, beda hanya beberapa tahunlah.” Lanjut Uwak Lastra. Aku menahan tawa. Jarak tiga puluh dua tahun tidak masuk dalam kata beberapa, yang menunjukkan seakan-akan angka itu cukup disandang dengan sepuluh jari saja! Aku tak mengerti mengapa Ibu, dengan kerendahan hatinya masih menerima orang ini sebagai tamu. 

“Oh, kakak bilang tadi dia dari dusun Pagar Gunung?”

“Ya. Ya. Ya. Dari sana.”

“Dari sebelah mana? Aku selalu mengunjungi daerah itu.” 

Uwak Lastra terbata-bata. Ia tak bisa menyebutkan satu pun nama kecamatan. Ia malah mengumbar cerita untuk itu. Misalnya, ia mengatakan bahwa orang tuanyalah yang berasal dari sana, bukan diri perempuan itu. Sampai hal-hal yang berbeda kaitan seperti perempuan itu sangat baik dan memiliki rambut hitam yang sangat panjang seperti milik ibunya ketika masih gadis dulu. Ia juga membicarakan bahwa pekerjaan perempuan itu yang seorang penyanyi dangdut. Satu-satunya hal yang tak dibicarakannya hanya tentang anak bawaan perempuan itu saja.  

Mendapatkan hal yang tak punya simpulnya, Ibu memberikan pemakluman. “Ya. Bagaimana pun itu berita bagus. Apa Yuk Agni sudah diberitahu tentang ini?” Tanya Ibu, menyebutkan nama dari kakak Uwak Lastra. Uwak Lastra mengangguk mantap.“Oh sudah. Yuk Agni senang bukan kepalang. Ia akan pulang ke Lahat segera untuk melamarkan kekasihku itu.” 

Usai berbincang ke sana dan ke sini—hingga terbosan-bosan aku mendengarkannya—hening pun mengantara. Uwak Lastra kembali menikmati kopinya. Setelah habis sampai ke ampasnya, ia menggosok-gosok telapak tangannya ke celana—tanda seseorang yang hendak menyodorkan permintaan. 

“Jadi, kau sedang merenovasi rumah? Apa semua pagar rumahmu akan di cat?”

“Oh, ya. Semua akan diberi warna hijau. Bagian dalam juga begitu.”

“Wah. Banyak rezekimu?”

“Alhamdulillah.”

“Kalau begitu Ayuk, bagilah sedikit buatku. Sekedar modal untuk menikah.”

Oh, kawan. Kukatakan kepadamu bahwa aku tak suka tingkah orang tua bangka yang sudah terkabul permintaannya itu. Ia jadi sangat baik. Ia bahkan membantu Ibu mengangkat gelas kotor miliknya ke dapur, usai memanggil Ibuku dengan panggilan Ayuk—panggilan yang salah untuk kedudukan Ibuku yang jauh lebih muda. Aku tak suka lelaki berbadan belalang itu. Maka, usai Ibu memberikan uang, ia pergi, dan Ibu menutup pintu, aku menghambur ke arah Ibu untuk mengetahui alasannya. Aku mungkin masih muda tapi aku tahu bila seseorang berbohong. 

“Oh. Ia sudah sering berbohong seperti itu.” Ujar Ibuku sambil mengangkat gelas-gelas kotor ke kamar mandi.”Ia pun datang bulan lalu dan mengatakan bahwa ia sudah menikah dengan seorang gadis. Tak mengapa. Membesarkan hati orang tua itu baik. Biarkan saja.”

“Kalau Ibu terus bersikap sama, maka ia akan terus menjadi parasit bagi keluarga kita. Ia berbohong mengenai istri pun kekasih barunya itu. Lihat bagaimana ia bercerita tentang asal kekasihnya. Tak tetap hati. Tak menunjukkan kebenaran apa-apa. Modal menikah? Itu untuknya membeli sebatang rokok.” Aku mendengus-dengus. “Mengapa Ibu memberikan uang kepadanya? Ia tak akan pernah mandiri kalau begitu.” 

“Ai. Itu tak seberapa. Hanya sepuluh ribu rupiah. Ia bahkan hanya meminta lima ribu rupiah tadi.”

“Jangan salahkan aku kalau kelak, ia akan bersikap manja selamanya.” Imbuhku. Ibuku tertawa-tawa saja. Ibu menarik kursi, dan menyejajarkannya di sisiku. Kupikir ia akan duduk dan beristirahat sejenak. Ternyata tidak. Ia tetap berdiri dan bercerita. Namun ucapan berikutnya membuatku terenap dan tak bisa membalas apa-apa. 

“Ibu tak mengharap apa-apa kecuali—“ Ibu berdeham.”—kau tahu, manusia tidak akan hidup selamanya. Alangkah baiknya kalau ketika Ibu meninggal nanti ada banyak orang yang mengantarkan Ibu ke peristirahatan. Untuk sekarang ini, Ibu menabung. Meski sesungguhnya ibu senang mengetahui ada orang masih datang dan masih mengingat Ibu ketika Ibu masih hidup.”

Ibu kembali pada kesibukannya. Bagian luar rumah kami yang sempit dan baru direnovasi meninggalkan kekacauan pula di dalam rumah. Gelas minum dan piring makan para tukang itu butuh segera dibereskan. Aku mengembalikan kesadaran, dan beralih. Aku berjalan keluar, menuju kaleng-kaleng bekas cat kayu pagar untuk dipindahkan ke halaman belakang rumah. Dalam kesibukan itu, aku berprasangka baik bahwa Ibuku tak akan meninggal dunia secepat itu, kawan. Mengapa? Karena aku belum menikah dan belum mewujudkan keinginannya untuk memberikan seorang cucu. Bukankah aku masih terlalu muda untuk memikirkan itu?

 

Dee Hwang, kelahiran 9 September 1991. Lulusan FKIP biologi universitas sriwijaya. Terakhir ini menekuni dunia musik sebagai pemain Biola di SAMS Jogjakarta.
 

Terkini