Berita Kematian

Ahad, 14 Mei 2017 | 21:39:35 WIB
Ilustrasi. (Jason TN/Deviantart.com)
Terlebih dahulu kujelaskan kepada kalian, bahwa dalam kisah ini, aku tidak menjadi peran utama. 
 
***
 
Hwang Jin menatap kasihan tubuh istrinya yang setiap hari semakin kurus. Wajah istrinya itu, nampak semakin keriput dan tua dari usia yang sebenarnya—pucat pasi. Ia melihat nafas istrinya agak berat, semacam ada sesuatu yang menyumpal hidungnya dan membuat sebak di dadanya. Beberapa orang mengira, Chen Li telah minggat dari rumah. Ada pula yang mengira bahwa ia telah diceraikan, sebab istri Hwang Jin itu kini tidak pernah terlihat ikut sibuk di toko souvenir milik suaminya. Ada juga selentingan beredar, Hwang Jin menikahi seorang pegawainya yang jauh lebih cantik dari Chen Li. 
 
Setiap hari, Hwang Jin dengan tabah merawat Chen Li. Sebelum berangkat ke toko, ia menyempatkan membasuh sekujur tubuh istrinya dengan air hangat yang telah dicampur semacam ramuan berwarna putih kental yang ia dapatkan dari seorang tabib terpercaya. Setelahnya, ia mengganti lilin aroma jeruk yang dinyalakan tak jauh dari ranjang istrinya.
 
Belum pernah aku melihat, Chen Li membuatkan sarapan atau santapan malam untuk suaminya. Setiap hari, Hwang Jin-lah yang membuatkan semangkok bubur, tiga kali sehari. Belum pernah terjadi lagi sebuah pertemuan di meja makan antara keduanya. Serta percakapan yang asik dan menarik dari sisa malam hingga menjelang pagi.
 
Tidak pernah lagi terdengar kata-kata menenangkan dari bibir Chen Li, saat Hwang Jin mendadak gusar sebab sesuatu terjadi di tokonya. Entah ketika ada pembeli yang marah-marah karena pesanannya terlambat dikirim atau segala jenis keluhan-keluhan pelanggannya yang lain. Jangankan begitu, menanyakan kabar setiap pagi-pun, tidak. Sejak sakit, Chen Li tidak banyak bicara. Ia seperti sukar untuk mengeluarkan suara. Entah apa yang menahannya. Sepanjang hari, ia hanya terkulai lemas dan hanya beberapa kali tubuhnya bergerak. Kecuali jika Hwang Jin yang membopong dan membantunya untuk berdiri. 
 
Segala yang ada di ruangan kamar Chen Li menjadi mati. Buku-buku yang diletakkan berjajar di rak meja, menjadi jarang disentuh. Tirai jendela yang biasanya diganti seminggu sekali, kini sebulan mungkin akan masih terlihat sama warna dan coraknya. Figora berisi foto-foto pernikahannya-pun menjadi dihinggapi debu. Tidak pernah terdengar lagu-lagu terputar dari sebuah tape kuno miliknya.
 
Sebetulnya, Hwang Jin amat merindukan aroma wonton *1 berkuah olahan istrinya, yang kemudian diletakkan pada mangkok dan dinikmati berdua. Ia juga hanya bisa mengingat-ingat sambutan hangat istrinya sepulang ia bekerja; menikmati secangkir teh di beranda; menonton komedi berdua; menemani Chen Li menulis hanji; menyiapkan pernak-pernik menjelang Imlek; berdua memadati kota untuk menonton barongsai dan leang-leong;  ataupun hal-hal yang tidak bisa tersebutkan satu persatu. 
 
Ah segala kenangan itu teramat erat memeluk Hwang Jin.
 
Aku hanya berani memandang keduanya dari kejauhan. 
 
***
 
Hwang Jin menyibakkan tirai lalu memungut sisa-sisa tubuh lilin yang terbakar selama semalam. Lantas meletakkan sebatang lilin yang masih utuh pada tempat yang sama dan menyalakannya kembali. Ketika itu pula, selalu tumbuh harapan yang menyeruak dalam diri Hwang Jin. Harapan agar kemudian Chen Li tidak terbaring lagi. Harapan agar Chen Li melanjutkan kehidupan normal seperti sebelum ia sakit.
 
Tubuh Chen Li bergerak. Meski terpejam, nampak matanya bergerak-gerak seperti menyadari kedatangan Hwang Jin. Kedua bibirnya yang terkatup, pelan-pelan terbuka. Hwang Jin mendekati tubuh istrinya. 
 
Ia memandang lekat-lekat wajah istrinya lalu meraih telapak tangannya. Kemudian mengoleskan minyak beraroma khas. “Apakah kau merasa dingin?” Tanya Hwang Jin, mendekatkan bibirnya pada telinga Chen Li. Hwang Jin merapatkan selimut yang membalut tubuh istrinya. Kedua mata Chen Li yang terpejam, dengan sangat pelan terbuka.
 
“Jin....” suara yang amat lemah dan pelan sampai di pendengaran Hwang Jin. Ia terperanjat, hampir tidak mampu menjawab. Ia menelan ludah, dalam-dalam.
 
“Chen...” dengan kekuatan suara yang sama. Tubuh Chen Li seperti mengisyaratkan ingin bangun. Tanpa ber-ba-bi-bu, Hwang Jin membantu tubuh istrinya untuk bangkit dari tidurnya. Ia tidak melepas genggaman pada tangan istrinya. Dipegangnya sungguh-sungguh sambil mengikuti gerak nafasnya yang masih terasa berat.
 
Hwang Jin menyodorkan segelas air hangat ke bibir istrinya. “Minumlah meski sedikit...” berharap agar Chen Li bersedia meneguk, sekalipun tidak sampai membasahi seluruh kerongkongannya.
 
Chen Li bersandar pada lengan ranjang, menindih bantal. Tubuhnya sangat lemah. Hwang Jin menanggalkan syal yang melingkar pada leher istrinya. Melipat selimut hingga sebatas paha.
 
“Kau kelihatan lebih sehat. Ingin berjalan-jalan sebentar?” Hwang Jin menawarkan, berharap Chen Li mengangguk.
 
Hwang Jin mulai mengusap tubuh istrinya dengan selembar kain yang telah diceburkan ke dalam baskom. Kemudian ia mengeringkan tubuh istrinya yang tidak benar-benar basah dengan handuk kecil. Sehelai syal yang masih terlipat rapi telah ia siapkan, untuk dililitkan kembali ke leher Chen Li.
 
“Udara pagi, amat baik untukmu. Tunggu sebentar, aku akan segera kembali...” Ujar Hwang Jin sambil beranjak membawa serta baskom berisi air bekas memandikan Chen Li. Sementara istrinya hanya menghela nafas sambil berkedip pelan.
 
Hwang Jin datang dengan mendorong sebuah kursi roda. Sebenarnya ia masih benar-benar kuat untuk sekadar menggendong istrinya. 
 
“Toko?” Chen Li menanyai suaminya. Sebab ia mengerti, ada yang perlu diurus selain dirinya yang sakit-sakitan itu.
 
“Tenanglah. Aku ada untukmu.” Jawab Hwang Jin melegakan. Ia berdiri di belakang kursi roda yang telah diduduki istrinya. Sebelum meninggalkan kamar, Chen Li meraih tangan suaminya yang memegang kendali dan menoleh ke arahnya.
 
“Bisa kau ambilkan sisir?” 
 
Hwang Jin menghadapkan tubuh Chen Li ke cermin dan menyisir rambut istrinya yang dibiarkan tergerai. Keduanya sama-sama menatap bayangan mereka di balik cermin. Jemari Chen Li meraih kembali tangan kiri sang suami. 
 
Hwang Jin mengelus kedua pundak istrinya lalu mendaratkan bibirnya pada ubun-ubun sang istri. 
 
Aku terharu, melihat pemandangan itu.
 
“Ingatlah, aku ada untukmu.” Chen Li menarik kedua ujung bibirnya. Tidak memaksa. Lama, aku tak pernah mendapati senyum itu, fikir Hwang Jin. Dua pasang mata itu saling tatap, saling memberikan senyum satu sama lain.
 
Keduanya lalu berbalik badan, memunggungi bayangan masing-masing dan bergerak menjauh meninggalkan kamar.
 
Meninggalkan aku.
 
***
 
Dahulu, Hwang Jin dan Chen Li hanyalah sebatas teman baik yang sering duduk berhadapan tetapi tidak saling mengeluarkan ucapan—pengakuan. Meski keduanya sering menghabiskan waktu berdua, namun mereka hanya sampai pada sesuatu yang disebut dengan sama-sama menyimpan—perasaan; memendamnya dalam-dalam. Hingga pada suatu sore, Hwang Jin mendatangi rumah Chen Li dan bercerita mengenai segala yang ada dalam hatinya. Dilanjutkan dengan pertemuan berikutnya, berikutnya dan berikutnya, sampai pada keputusan keduanya untuk terlibat dalam sebuah pernikahan.
 
“Aku tidak pernah berani menatapmu lama-lama..” Kata Hwang Jin pada suatu sore yang hampir ranum di beranda rumah, saat usia kebersamaan mereka baru beberapa minggu. Keduanya duduk bersisian.
 
“Mengapa?” Chen Li mengernyit, meletakkan secangkir teh yang baru saja ia sentuhkan ke permukaan bibirnya.
 
“Sebab aku tidak mampu bicara...” Jawab Hwang Jin sambil menoleh ke arah istrinya.
 
“Lantas barusaja kau sedang tidak bicara?” Balas Chen Li, kemudian meraih lengan dan merebahkan kepalanya ke bahu sang suami. 
 
Ia segera beralasan, “Aah, bukan seperti itu.” keduanya lalu saling tertawa.
 
“Aku tidak butuh pengakuanmu yang semacam itu. Asal aku boleh menggamit lenganmu setiap hari...” Chen Li berujar, banyak sekali.
 
Lekas Hwang Jin menyela, “tapi aku tak butuh permintaanmu yang semacam itu. Tanpa kau minta, akan aku persilahkan.” Keduanya kembali terkekeh. Terkadang, hal-hal semacam itu memang tak perlu banyak diungkapkan. 
 
Setiap hari, keduanya selalu dijalari kebahagiaan yang tidak pernah selesai. Kebahagiaan yang selalu berlimpahan. Hingga pada usia kebersamaan mereka mencapai tigabelas bulan, memasuki tahun kedua. Telah banyak orang yang menanyakan hal-hal yang lain. Mengenai muara sebuah pernikahan. Mengenai jumlah anggota keluarga yang lazimnya bertambah saban tahun. Semua orang pasti mengerti dan faham. Kebahagiaan akan menjadi semakin tak berkesudahan, manakala di rumah terdengar suara pasukan kecil; tingkah-tingkah lucunya yang menggemaskan.
 
Hwang Jin tidak pernah menyoalkan dan meributkan perihal itu. Sampai pada suatu hari, orangtua Hwang Jin yang memulai.
 
“Andainya kedatanganku ini disambut oleh cucu-cucuku....” Ujar Xin Ming—Ibu Hwang Jin—dengan nada yang penuh harap. Chen Li yang tak sengaja mendengar itu, menahan suara untuk tidak berkomentar.
 
“Mamih...!” Sergah Hwang Jin. 
 
“Mamih, doakanlah kami saat sembayang.” Chen Li berusaha mencairkan suasana.
 
Sejak saat itu, Chen Li mulai memikirkan perihal itu benar-benar. Ia semakin rajin memohon kepada Thien *2 ketika sembayang; memohon kepada roh suci dewata penguasa manusia *3. Tak tanggung-tanggung, Hwang Jin memperbanyak sedekah kepada orang-orang; mendermakan hartanya, serta meminta agar mereka turut mendoakan. 
 
Diam-diam aku ikut mendoakan. Berdoa agar Chen Li tidak melibatkan aku dalam kisahnya. Cukup menjadikan aku sebagai figuran saja.
 
***
 
“Aku akan membawamu ke beranda..” Kata Hwang Jin melewati ruang keluarga. Kemudian dibukanya pintu. Membiarkan cahaya matahari yang hangat menerobos masuk ke dalam rumah.
 
Selama kurang lebih tiga bulan, Hwang Jin tidak pernah tabah merawat tanaman-tanaman serta bebungaan yang ditanam istrinya. “Maafkan aku. Kubiarkan beberapa bungamu layu. Tapi tak perlu risau. Setelah kau sembuh nanti, aku akan menemanimu menanamnya lagi. Aku janji!”
 
“Tak apa...” Kata Chen Li semacam memaafkan.
 
“Nikmatilah udara pagi, aku akan kembali.” Hwang Jin hendak menyiapkan semangkok bubur untuk sarapan istrinya.
 
Telepon berdering sebelum Hwang Jin melangkahkan kaki ke beranda. Pagi ini Xin Ming kembali menelepon. Menanyakan kabar.
 
“Tapi hari ini dia lebih sehat Mih...” Ucap Hwang Jin dengan raut muka yang gembira. Barangkali atas doa-doa yang juga dipanjatkan oleh Xin Ming, sehingga istrinya berangsur membaik.
 
“Chen Li juga sudah banyak bicara..” Lanjut Hwang Jin melaporkan perkembangan istrinya.
 
Dari ujung telepon, terdengar saran Xin Ming agar Hwang Jin membawa istrinya ke dokter.
 
“Mamih tahu bukan? Ia menolak untuk kubawa ke rumah sakit. Tapi tenanglah, aku selalu memintakan ramuan kepada tabib.” 
 
“Pengobatan sudah semakin canggih! Bujuklah dia...”
 
Hwang Jin terdiam. “Nanti akan kukabari Mih. Chen Li harus segera sarapan. Doakan kami terus Mih...” ia menutup telepon dan lekas menemui istrinya di beranda.
 
Sekitar empat bulan yang lalu, Chen Li mendapati dirinya sedang mengandung berusia sekitar tiga minggu. Bukankah itu yang dielukan sejak lama? Tentu. Kabar bahagia itu telah disampaikan kepada Xin Ming. Ia mengharap-harap agar janin yang dikandung istri anaknya segera hadir ke dunia. Semua orang-pun menjadi tahu, bahwa sekitar delapan bulan lagi kebersamaan Hwang Jin dan Chen Li akan semakin genap. Semua orang bersuka cita.
 
“Banyaklah bergerak, seperti sewaktu Mamih mengandung Hwang Jin. Agar bayimu sehat...” Nasihat Xin Ming, pada suatu pagi di meja makan. Saat ia mengaduk segelas susu untuk Chen Li.
 
“Jangan sungkan untuk meminta sesuatu yang kau ingini!” Lanjut Xin Ming.
 
“Asal tak menyuruhku membuatkan danau, atau candi, akan aku lakukan...” Ketiganya lalu tertawa bersama.
 
Tak lama, sekitar usia enam minggu kehamilan Chen Li, ia mendapati perutnya tak lagi berisi. Ia tidak mengerti mengapa janin yang selama enam minggu ini tumbuh dalam rahimnya tiba-tiba hilang. Berkali-kali tidak sadarkan diri sebab tidak kuasa ditimpa kehilangan. Keterkejutan itu juga menimpa Hwang Jin dan Xin Ming. 
 
“Maafkan Chen Li, Mih...” Ujarnya pada Xin Ming karena tidak tahu apa yang mesti ia perbuat dan ia katakan. Sekalipun, Xin Ming tak menampakkan kekecewaan dalam mimik mukanya. Chen Li merasa bersalah.
 
“Kita tidak boleh berhenti meminta...” Jawab Xin Ming, menggenggam jemari menantunya.
 
Hwang Jin tidak sedikitpun menyalahkan Chen Li. Ia tidak berhenti menghibur istrinya. Orang-orang banyak yang turut iba atas musibah tersebut. Banyak yang datang berkunjung, menjenguk Chen Li dan menabahkan. Sejak saat itu, Chen Li menjadi murung dan sakit-sakitan. Kenyataannya, ia tidak kuasa melawan keadaan.
 
Aku menjadi cemas. Kadang-kadang saat Chen Li sedang sadarkan diri dan sedang tidak dikawani Hwang Jin, ia diam-diam menatap ke arahku—putus asa. Ingin meraih tubuhku tetapi perasaannya ragu-ragu.
 
***
 
Udara pagi masih terasa menghangatkan. Panorama pagi hari mendamaikan sesiapapun yang ingin menikmatinya.
 
“Sayang, aku membawakan sarapan untukmu.” Ucap Hwang Jin menginjakkan kaki ke beranda dan menggeret kursi agar bisa duduk berhadapan dengan sang istri.
 
“Apakah Mamih menelepon?” Tanya Chen Li saat Hwang Jin mengarahkan sesendok bubur ke mulutnya. 
 
Hwang Jin mengangguk, “kukabari bahwa kamu semakin sehat..” Kata Hwang Jin menatap wajah istrinya. Chen Li menunduk dan memegangi perutnya.
 
Chen Li meratap, “maafkan aku, Jin. Maafkan aku...” 
 
“Sudah, tidak perlu seperti itu...” Hwang Jin betul-betul meyakinkan. “Apapun yang terjadi, aku selalu bersamamu.” Terkadang, hal-hal semacam itu memang perlu banyak diungkapkan saat keadaan semacam ini. Itu mampu menebalkan keteguhan hati.
 
“Jangan kau basahi pipimu dengan air matamu itu. Cantikmu akan hilang!” Hibur Hwang Jin, mengusap pipi istrinya. 
 
“Aku merindukan ini semua, Jin.” Chen Li menyentuh tangan suaminya. Matanya berair lagi, merembes ke permukaan tangan Hwang Jin.
 
“Lekaslah sehat. Kita perlu banyak berlibur!”
 
Chen Li menyeka kedua pelupuk matanya dengan ujung syal yang ia kenakan. Ada canda dan tawa di sela-sela suapan pertama, kedua dan seterusnya. Gurauan yang banyak berasal dari Hwang Jin dan senyuman yang banyak tercipta Chen Li.
 
Hari ini, Hwang Jin memilih tinggal di rumah, menemani istrinya.
 
Aku bersyukur. Chen Li tidak akan lagi diam-diam menatapku. Aku khawatir sungguh-sungguh, bila dia nekat mendekatiku dan melakukan hal-hal diluar kendali.
 
***
 
Sekitar pukul sebelas lebih tiga menit, Hwang Jin menerima telepon dari Xin Ming. Sementara Chen Li telah terlelap tidur, lekas ia berbincang di luar kamar. 
 
“Apakah feng shui *4 rumahmu itu keliru? Ah, kupikir tidak!” Ucap Xin Ming di tengah percakapan.
 
Hwang Jin diam tidak berkomentar. 
 
“Sampaikan kepadanya, lekaslah sehat. Aku ingin mengajaknya berjalan-jalan. Sementara ini aku belum bisa berkunjung!” Lanjut Xin Ming. Hwang Jin hanya mengangguk, mengiyakan tanpa bersuara.
 
“Jin, kau masih disitu?” tanya Xin Ming dari balik telepon.
 
“Mih... Apakah ini kutukan?”
 
Aku mulai risau menyimak percakapan Hwang Jin kepada Ibunya.
 
“Mengapa ini menimpa padaku Mih?” 
 
“Mengapa kau ini? Tidak perlu mengucapkan kalimat itu Jin! Rawatlah istrimu dengan sabar Nak.” 
 
Aku berharap, Hwang Jin segera menyelesaikan obrolannya dengan Xin Ming. Atau lekas menutup telepon itu sebelum Chen Li benar-benar ikut mendengarkan percakapan yang memilukan itu.
 
“Sampai kapan akan seperti ini Mih?” Ada sesak dalam dada Hwang Jin saat mengucapkan kalimat itu. “Aku tidak sempat mengurus diriku sendiri Mih! Mengapa kehidupanku menjadi menyedihkan semacam ini?”
 
Aku—dengan amat menyesal mengatakan—kecewa mendengar kalimat yang terakhir. Se-tega itukah? Sementara Chen Li diam-diam melelehkan air matanya. Aku melihat bibir Chen Li bergerak-gerak, mengucapkan maaf. Ia memaksa menguping pembicaraan Hwang Jin dan Ibunya dari atas pembaringan. Dan dengan sangat lemah, ia bangkit dari tempat tidur, meraih tubuhku yang sedang tergeletak pada kotak obat. Di telapak tangannya yang dingin dan gemetar, aku dipeluknya. Ah, aku menjadi dilibatkan dalam kehidupan Chen Li.
 
Sebetulnya, aku takut untuk mengatakan alur kisah berikutnya. Kalian jangan menghakimiku, kumohon! Ini hanyalah mengenai ketidaksanggupan me-wajahi kenyataan. Berpaling. Tidak ada pilihan lain. Itu yang kubaca dari mimik muka Chen Li.
 
Sudah kukatakan, aku menjadi terpaksa dilibatkan. Aku berani bersumpah, bukan aku yang menawarkan diri agar Chen Li meminumku habis. Ini bukan salahku. Terlepas sudah tubuhku dari pelukan telapak tangan Chen Li, diiringi suara tubuhku yang mengenai lantai. Badanku pecah, tergeletak di lantai dan tercecer. Prang....
 
Hwang Jin buru-buru kembali ke kamar. Tergagap ia, menatap tubuh istrinya yang tergolek diatas lantai dan bibirnya telah berbusa. Ia menjadi gugup. Segera ia menelepon ambulance. Tumpah ruah linangan air mata yang terjun dari pelupuk matanya. Tubuh Chen Li diangkatnya ke atas ranjang. Aku tahu, sesal perlahan menjalar.
 
Percayalah, aku tetap menjadi pemeran figuran. Tapi, perbolehkanlah aku untuk  berduka pertama kali, atas tragedi yang menyesakkan ini. Jangan tanyakan, apa yang terjadi berikutnya. Berita kematian akan tersiarkan. *
 
-------------------
Catatan:
1. Masakan khas Cina yang mirip siomay, disajikan dengan kuah. Bisa berisi udang ataupun ikan.
2. Tuhan
3. Roh suci pada kepercayaan Tionghoa yang tugasnya mengurus soal-soal yang bersangkutan dengan kehidupan manusia, seperti kelahiran, perjodohan, kematian, usia, rizeki, kekayaan, kepangkatan dan lain-lain. (Ika Ningtyas. Hoo Tong Bio : Kisah Klenteng Tertua di Ujung Timur Jawa 1965 – 2014. (Banyuwangi : Perempuan Bertutur, 2015) hlm 22.
4. Dalam bahasa klasik Tiongkok, istilah Feng Shui disebut Kan Yu atau Ti Li. Feng Shui adalah suatu ilmu tentang aturan penempatan letak gedung dan bangunan buatan manusia agar terjadi harmonisasi yang seimbang dan menguntungkan dengan lingkungan fisik di sekitarnya. (Ika Ningtyas. Hoo Tong Bio : Kisah Klenteng Tertua di Ujung Timur Jawa 1965 – 2014. (Banyuwangi : Perempuan Bertutur, 2015) hlm 39
 
 
 
Nur Holipah. Lahir di Banyuwangi, 11 Desember 1995. Sedang menyelesaikan pendidikan di Universitas Negeri Malang. Menulis antologi cerpen berbahasa Using “Jala Sutra” 2015. Beberapa cerpennya termuat di Malang Post dan Radar Malang.
 

Terkini