Panti Asuhan yang Tidak Pernah Terbayangkan

Ahad, 07 Mei 2017 | 09:55:48 WIB
Ilustrasi. (artclassinsingapore.wordpress.com)
WAKTU menari lambat, dua jam dengan kondisi yang sama. Terus mengutuk Tera dan sekelumit benang kusut di dalam kepala. Perempuan berambut hitam itu--sebenarnya--ingin berteriak, mengutuk semua omong kosong yang tidak pernah dia sangkakan. Delima memang sudah mencium bumi, menari tanpa mencipta gerak, tengah menunggu sang petani untuk memungut dan mengajaknya bertamasya. Sayang, Tera bukanlah delima yang hanya sanggup menanti.
 
“Ayah kan sudah bilang, kamu tidak punya kewajiban apa pun. Tinggalkan dia, hiduplah seperti orang normal seusiamu!” tekanan suara lelaki berkepala lima di depan Tera meninggi.
 
Kini hening mendominasi. Gadis berambut hitam tidak mampu menyuarakan banyak sanggahan dari kepalanya. Dalam posisi seperti ini memang serba salah; menyatakan pendapat disangka menjawab perintah orangtua, tidak menjawab pun juga dianggap tidak benar. Lelaki itu pasti mengira kalau Tera tak mempedulikan ucapannya. Padahal, ada sembilan macam cara yang tengah gadis itu upayakan menjadi bahasa terhalus, bagi lelaki separuh baya di depannya.
 
“Kamu tidak mendengar Ayah?”
 
Tepat sasaran, kan? Maksud hati tidak ingin menjadi anak durhaka  justru mendapat hadiah tambahan. Manis sekali terik matahari siang ini.
 
“Aku dengar, Yah.”
 
“Bagus. Jadi, kapan kamu akan membawanya ke panti asuhan?”
 
“Dia tidak akan pergi ke mana pun,” Tera berucap mantap.
 
***
 
Siang ini, di saat warna pucat mendominasi wajah langit. Gadis berambut hitam tertegun tanpa pusat fokus, memandang ketidakcerahan milik angkasa. Tapi kemelut itu tak berlaku bagi lukisan air muka milik gadis berambut pirang. Dia tetap cerah meski tanpa dukungan--dalam tanda kutip.
 
Dia terus berlari, diikuti rambut pirangnya yang menari. Mengelilingi sebidang tanah kosong tanpa rumput hijau. Sesekali Tera berteriak, memberi petunjuk agar gadis cilik itu selalu menjaga kewaspadaannya tetap utuh. Yang dipedulikan  tidak terlalu menanggapi, malah sibuk memamerkan gigi-gigi mungilnya.
 
"Aku bisa, Bu!" Serunya riang. Baru saja dia melompat turun, melepas cengkraman dari tiang tak berwarna di dekat pohon.
 
Kepingan peristiwa siang ini tampak utuh, meski tidak bersama seorang pun teman. Tak peduli dengan ocehan sok tahu yang tidak jarang menggerogoti rasa percaya dirinya. Dunia yang dia miliki selalu sempurna, sejauh gadis kecil itu menghendaki. Ada banyak orang bilang, kalau seorang anak tidak memiliki kemiripan bentuk wajah seperti ibunya, maka dia berhak disandingkan dengan sang ayah. Tera memijat pelipisnya yang terasa tegang.
 
 Sekarang gadis kecil itu berlari lagi, berputar, lantas melemparkan badannya ke tangan perempuan berambut hitam.
 
"Bu, aku mau es krim...." Dia menatap manik mata lawan bicaranya. Menangkap. Lalu menyeret, jauh ke masa-masa menyenangkan dalam tanda kutip yang tak pernah terlintas dalam mimpi Tera.
 
Matahari pada waktu itu terik, menusuk kulit yang berselimut kain jadi di luar ruangan. Berbanding terbalik dengan gedung-gedung pencakar langit yang memasang perlindungan:  penurun suhu elektronik. 
 
Gadis berambut hitam mengambil jalan, masuk ke sebuah tempat sederhana yang memiliki papan berukuran sedang di pagarnya. Napas gadis itu sedikit terpotong, bukan karena terjangkit kelelahan, tapi lebih ke arah gugup. Tengah berpikir banyak, tentang kejutan yang akan dia dapatkan di bangunan itu.
 
"Selamat siang, Kak," sapa seorang wanita berpakaian merah jambu.
 
"Kakak pasti mau jemput adiknya, ya. Mari saya tunjukan ruangannya." Dia balik badan, berjalan lebih dulu. Tera mengekori langkah wanita itu.
 
"Semua anak yang belum dijemput berkumpul di ruang kelas A2. Oh iya, Kak, maaf jika telepon kami tadi mengganggu Kakak. Hari ini anak-anak pulang cepat untuk persiapan pentas seni besok."
 
Kepala gadis berambut hitam bergerak turun-naik secara samar. 
 
Wanita itu berhenti di sebuah ruangan dengan pintu tertutup rapat. Dia menggeser pintu, bergerak masuk, lalu berbicara dengan sejumlah anak.
 
"Ibuuu...!" Tera menangkap suara yang datang bersama gadis kecil berambut pirang. Dia menghambur, menyambut jemputannya.
 
Sayangnya ada satu hal yang lebih menarik. Mata gadis berambut hitam menyorot dengan jelas, wanita berpakaian serba merah jambu sedikit terkesiap. Lalu tersenyum samar, salah satu sudut bibirnya terangkat, tentu setelah menyelidiki setiap jengkal seragam abu-abu yang Tera kenakan.
 
"Bu, malam ini aku mau makan ayam goreng, ya?" Gadis kecil itu memutus imajinasi-imajinasi yang baru saja semakin menguat.
 
Gadis berambut hitam menghela napas, persoalan panggilan tidak menyenangkan itu bisa dibahas lain kali. Ada hal yang lebih penting, Tera harus pergi dan melepaskan prasangka yang dirinya buat dari seringai  milik wanita di depannya.
 
Konsentrasi Tera terbang dan akhirnya kembali utuh. Langit sudah menggelap. Bukan karena dia ingin menangis, tapi karena memang sudah waktunya. Jarum pendek di pergelangan tangan sudah hampir mencium angka enam. Dia bangkit, meninggalkan potongan kayu yang diajadikan alas meletakkan bokong.
 
Sejauh mata bekerja, gadis berambut pirang itu belum ditemukan, dan Tera mulai berpikir kalau konsentrasinya hilang cukup lama. 
 
"Dia di mana?" Gadis berambut hitam bergumam kecil, menyadari ada sesuatu yang mengganjal.
 
"Keyla... jangan main petak umpet, dong! Udah mau maghrib, LOH! Pulang, yuk!"
 
Setelah berkeliling dua kali, Tera memutuskan balik arah, dan pergi. 
 
Kemungkinannya, dia sudah pulang. Kalau di rumah tidak ada orang, aku akan pergi ke tempat penitipan anak. Misal tidak ada juga, cari sampai ketemu. Setelah 24 jam baru lapor polisi, putus gadis berambut hitam mantap.
 
Saat semua rencana terlaksana dia kembali, bersama harapan yang sudah semakin terkikis. Namun di dalam lubuk terdalam masih ada, sekelebat angin yang gadis berambut hitam jadikan tumpuan, meski tanpa kerja logika yang bergerak positif. Benda logam di tangan sudah menemukan pasangannya. Dalam hitungan detik bangunan di depannya sudah bisa terjamah. 
 
Aku bodoh. Bagaimana bisa aku percaya pada omong kosong, kutuk gadis berambut hitam pada diriya sendiri.
 
Sekarang langit sudah benar-benar gelap dan gadis kecil itu belum menunjukkan rambut pirangnya. Besok, sepulang sekolah aku harus menemui polisi, putus Tera penuh keyakinan.
 
Dering telepon genggam berteriak. Memanggil-manggil gadis berambut hitam yang menyeduh kopi. Tera menyentuh layar gadget-nya.
 
“Halo.”
 
“TER, TUGAS KELOMPOK KITA SEHAT, KAN?!” suara dari telepon genggam merebak. Mengusir keheningan di rumah kecil gadis berambut hitam.
 
 Tera membalas pertanyaan itu seperlunya, lalu memutus sambungan. Kembali fokus pada secangkir minuman berwarna gelap. 
 
“Lucu banget, sih, hari ini…,” dia berucap lirih. Sambil menggerak-gerakkan sendok kecil di dalam gelas. Mengadunya dengan kopi.
 
Tiba-tiba dia mendengar sesuatu, kegaduhan kecil di depan sana. Cangkir kopi masih di atas meja, diam bersama sendok. Sementara Tera sudah mengambil langkah, pelan menuju sumber suara. 
 
Seorang lelaki Tera temukan di balik pintu, sedikit tidak jelas karena kaca transparan miliknya berwarna gelap dan keruh. Jantungnya berdegup kencang, tidak beraturan dan terus-menerus mengganggu. Lelaki itu mendekat, badannya yang kokoh menghilang dari pandangan gadis berambut hitam. Dia mengetuk pintu. Debaran di dada semakin tak menentu dan ketukan itu terasa semakin mendesak. Tera mengaduh, keringat di punggung juga tak berhenti melipatgandakan jumlahnya. Sekelebat bayangan singgah di kelapanya: dia lupa melunasi uang kontrakan. 
 
“Oh iya, uangnya kan buat observasi kemarin!” Seru gadis berambut hitam setengah berbisik. Tera terdiam, memandang pintu yang menjadi pembatas.
 
“Oke. Tenang, Ter. Semua terkendali. Buka pintunya, terus bilang, kalau tugas sekolah lagi banyak. Jadi uangnya buat tugas. Beres! Jangan pikir aneh-aneh! Itu orang pasti kasihan. Terus dia kasih waktu buat bayar kontrakan. Iya, aman, semua terkendali.” Setelahnya gadis berambut hitam menarik napas sedalam-dalamnya. Lalu mengembuskan sisanya teratur.
 
“Ibu…! Ibu, aku pulang!” Suara itu datang dan tertangkap jelas. Bersumber dari balik pintu yang sejak beberapa menit lalu gadis berambut hitam hindari. Rasa takut dalam sekejap hilang. Secepat karbon dioksida bertukar posisi dengan oksigen.
 
Ada tanda tanya yang mengikat di kepala gadis berambut hitam, namun tersingkiran oleh suara bocah di balik pintu. Tera menyambut udara malam. Menemui penawar rasa takutnya.
 
“Sudah berapa kali aku bilang? Jangan panggil aku Ibu,” perintah gadis berambut hitam tanpa ekspresi.
 
Wajah bakpaonya memelas. Menghapus ukiran menyenangkan yang tadi dia pamerkan.
 
“Om pulang, ya, Manis.” Lelaki berkulit gelap--yang Tera sangka makhluk asing--memotong.
 
“Tidak boleh. Kamu berhutang penjelasan padaku.” Lelaki itu menelan ludah. Lalu bergerak mengikuti punggung lawan bicaranya yang berjalan masuk. 
 
Gadis berambut hitam menemui tamunya, setelah mengantar gadis kecil ke kamar mandi dan membiarkannya bermain dengan sabun. Sesuai permintaan, lelaki itu memenuhi keinginan Tera. Memutar memori sewaktu  matahari masih mendominasi.
 
“Kamu ada niat buat mengantar dia ke panti asuhan?”
 
Tera menggeleng. Mengulurkan tangan, menyentuh cangkir kopi. Lalu meminum isinya.
 
“Ayahmu tahu?”
 
Satu kata tercetus.
 
“Sudah malam, sebaiknya kamu pulang.” Kalimat itu akhirnya berhasil gadis berambut hitam lontarkan, sebelum dia--orang yang sudah separuh perjalanan menjadi sosok asing--mendapat celah untuk kembali mengorek informasi. 
 
Lelaki berkulit gelap mengangguk samar. Lalu bangkit.
 
“Tadi siang aku memang mencarimu, tapi malah bertemu anak itu. Terima kasih sudah merawatnya. Dia tampak sehat dan kuat, sama sepertimu. Aku pamit.” Lelaki itu pergi. Menghilang cepat dari pandangan Tera.
 
“Dia memang bukan anakku, tapi tetap tidak ada alasan untuk meninggalkannya,” gadis berambut hitam bergumam pelan.
 
***
 
 
 
Kei Ra, nama pena milik perempuan yang lahir sembilan belas tahun lalu. Sedang sibuk belajar dan mengembangkan asa. Bisa dihubungi melalui e-mail: keira4797@gmail.com
 

Terkini