Lepas dari Jerat Tipu Daya

Kamis, 04 Mei 2017 | 18:34:17 WIB
Ilustrasi. (Melanie Authier/booooooom.com)
KAU datang semaumu dan pergi sekehendakmu. Datang menawarkan senyuman. Membawa janji kebahagiaan. Mengikrarkan kesetiaan. Nyatanya senyuman itu berubah menjadi tangisan. Tangisan penyesalan, menyesal menerima tawaran itu. Janji kebahagiaan hanya sebatas mimpi. Setia tak lebih dari sekedar ilusi.
 
***
 
Kau selalu memberi kejutan-kejutan yang mampu membuatku meleleh. Memberi semua yang aku inginkan. Canda, tawa, senyuman, hingga kebahagiaan tak luput dari hari-hariku. Ratusan hari terlewati sempurna bertemankan kebahagiaan.
 
“Yang, main yuk.”
 
“Main ke mana, Yang?” tanyaku.
 
“Ikut saja, aku jamin pasti menyenangkan.” Kau membuatku penasaran.
 
Tanpa diminta dua kali, aku ikut denganmu. Menikmati kerlap-kerlip lampu ibu kota. Bintang di langit berkumpul, menghibur bulan yang sedikit murung, yang tak mau bersinar sempurna. Aku memelukmu erat, takut betul dengan kecepatan motor yang kau kendarai. Tapi entah kenapa aku menyukainya. Meliak-liuk di antara mobil yang berbaris seperti semut, bedanya, barisan mobil tidak beraturan. Kau memaksa kuda besi ini berlari kencang saat lepas dari kemacetan. Lupa kalau bahaya setiap detik mengancam.
 
Tepat di depan gerobak mie ayam yang terhimpit keriuhan ibu kota, kuda besi ini berhenti. Kau menyuruhku turun. Menyebalkan. Padahal aku ingin menikmati perjalanan ini, lebih lama lagi. Aku tidak mengerti, kenapa pula kita harus datang ke tempat ini. Bukankah biasanya kita menikmati malam di cafe yang romantis.
 
Aku menatapmu, meminta penjelasan.
 
“Tempat ini sangat bersejarah bagiku,” kau berbicara seakan tahu ada pertanyaan yang tersangkut di bibirku.
 
Tanpa aba-aba kau menarik tanganku, mengajakku duduk di kursi yang panjangnya tidak lebih dari dua meter saja. Tak lama kemudian kau memesan dua mangkuk mie ayam tanpa persetujuanku.
 
“Serasa kemarin, aku gemeteran mengungkapkan cinta. Sejak itu kebahagiaan mengerubungi hatiku,” kau mulai merangkai kata, “tidak terasa ratusan hari telah kita lewati bersama.”
Aku menelan ludah, bayangan wajahmu yang pucat, saat mengeluarkan kata cinta, kembali tergambar dengan jelas di benakku.
 
“Tempat ini, tempat favoritku. Dulu aku selalu nongkrong di tempat ini demi mencicipi semangkuk mie ayam yang rasanya luar biasa, kamu tahu kenapa?”
 
Aku menggeleng.
 
“Karena aku tidak punya uang untuk makan di restoran, haha.” Kau tertawa, “Dulu aku berjanji akan membawa seseorang yang istimewa untukku ke tempat ini. Tempat yang menjadi saksi bisu perjuanganku melunakkan kerasnya kehidupan ibu kota.”
 
Dua mangkuk mie ayam datang, kau tersenyum lantas berterima kasih pada seorang lelaki paruh baya yang membuatnya. Mengganggu saja.
 
“Silakan dicicipi sayang, aku jamin rasanya istimewa.” Matamu berpaling pada semangkuk mie ayam. Lupa kalau tadi kau hampir membuatku meleleh.
 
Demi melihatmu yang sangat menyukai mie ayam, aku ikut makan, walau jujur rasanya tidak terlalu enak.
 
“Sayang,” kau kembali merangkai kata.
 
“Iya?”
 
“Terima kasih atas semua kebahagiaan yang kamu berikan. Tidak terasa ratusan hari kita lewati bersama. Aku beruntung punya pacar sepertimu. Berkatmu aku bisa hidup lebih layak, bekerja di tempat yang nyaman, tidak tersengat matahari, tidak pula diracuni asap kendaraan.” Kau diam sejenak. “Happy anniversary sayang. Terima kasih untuk segalanya.” Kau tersenyum, manis sekali.
 
Aku tersenyum mendengar kata yang kau rangkai. Ketahuilah hatiku justru menangis, tak kuasa menahan luapan kebahagian. Andai aku punya mesin waktu,  akan kubuat semua waktu seperti ini, agar aku bisa menjadi wanita terbahagia setiap saat. Sayangnya semua sirna secepat mimpi di malam hari, yang hilang kala mataku terbuka. Momen tersebut sekarang menjadi kenangan. Kengan yang membuatku tersenyum dan menangis secara bersamaan.
 
Hebat, kau sangat hebat. Di depanku kau mengeluarkan mantra cinta, membuatku menjadi wanita terbahagia di dunia. Naasnya, tanpa sepengetahuanku, kau pun mengeluarkan rayuan mautmu untuk perempuan lain. Bodoh, aku terlalu bodoh hingga percaya akan tipu dayamu.
“Sayang, perempuan itu sepupu aku,” kau memelas.
 
“Bohong. Mana mungkin sama sepupu mesra, makan bareng di cafe yang romantis,” ucapku diiringi tetesan air yang jatuh dari mata.
 
“Beneran sayang. Dia lagi liburan ke sini, makanya aku ajak makan. Temanmu terlalu melebih-lebihkan. Masa cuma makan dan ngobrol saja dibilang mesra.” Kau membela diri, mengkambing hitamkan temanku.
 
“Kamu bohong, kamu jahat.” Aku berteriak meski suaraku hilang ditelan tangisan.
 
“Beneran sayang, aku gak bohong. Coba tatap mataku, gak mungkin aku menyakiti wanita yang aku sayangi.” kau memelukku.
 
“Aku tidak menyangka kamu tega melakukan hal itu. Aku benci kamu.” Aku pergi membawa luka di hati. Kamu semakin erat memelukku.
 
Anehnya aku lebih memercayaimu. Tidak lama kemudian aku memaafkanmu. Kita kembali mewarnai hari dengan senyuman.
 
***
 
Tidak ingatkah, kau, dengan masa-masa indah yang kita lewati bersama? Ratusan hari yang kita warnai dengan kebahagiaan? Sampai detik ini aku masih ingat betul setiap momen yang kita lalui bersama. Tidak terhitung berapa kali aku tertawa karenamu. Tidak terhitung pula berapa banyak air mata yang keluar dari kelopak mataku. Sampai kapan kau akan bersandiwara? Aku sudah tahu semuanya. Bodohnya, aku selalu berharap kau akan berubah, nyatanya sia-sia.
 
“Pergi, pergi dari sini.” Aku berteriak sekeras yang aku bisa.
 
“Apa yang kamu lihat tidak seperti yang kamu pikirkan. Kamu salah paham, Adira.” Kau menganggapku keliru.
 
“Cukup! Aku sudah tahu semuanya. Apa yang diceritakan temanku benar adanya. Kau selingkuh jauh sebelum kita merayakan anniversary. Pergi, aku tidak mau melihat lagi wajahmu. Pergii!” Air mata membasahi pipiku.
 
“Kamu salah paham. Raida, beri aku kesempatan untuk menjelaskan semuanya,” kau tak henti memelas.
 
“Salah paham? Kau bilang aku salah paham? Mana mungkin aku salah paham setelah pipiku ditampar oleh perempuan jalang itu. Dia pikir aku merebutmu. Merebut lelaki yang telah menghamilinya. Dasar lelaki bajingan. Pergii.” Suaraku parau ditelan tangisan.
 
Kau diam memandang pintu yang ku banting.
 
Kenapa kau diam? Tega betul kau melakukan itu padaku. Aku selalu memaafkanmu. Lebih mempercayaimu daripada temanku sendiri. Aku sadar sejak kau bekerja di tempatku, tingkahmu berubah. Kau sering jalan dengan teman-temanmu. Berkata padaku kalau kau berkumpul dengan teman lelakimu, jadi tidak mau kutemani. Sayangnya kebusukanmu tercium dengan sendirinya. Aku sudah tidak tahan menghadapi semua ini. Cukup. Aku tidak ingin terlalu lama membodohi diriku sendiri. Tak ada alasan lagi untukku berharap terjadi keajaiban, setelah perempuan bunting itu melabrakku.
 
***
 
Tahukah, kau? Aku tak henti menangis walau air mataku telah habis. Hatiku remuk meski telah hancur berkeping-keping. Harapanku sirna kendati telah hilang begitu lama. Malam-malamku lebih gelap dari sebelumnya. Bulan dan bintang tak mau menemaniku. Hanya angin malam dan awan hitam saja yang kurasakan keberadaanya. Awan hitam yang menangis melihat gadis yang nelangsa.
 
Tahukah, kau? Butuh ribuan hari untukku menerima semua ini, dikhianati oleh orang yang tulus aku cintai, ditikam belati yang senantiasa aku tajamkan sendiri. Butuh ribuan hari bagiku bangkit dari keterpurukan ini, terpuruk di jurang nestapa yang sengaja aku gali terus, terus, dan terus. Dan butuh ribuan hari untuk membujuk hatiku agar melenyapkan dirimu.
 
Kenapa? Kenapa kau menganggapku seperti anak kecil yang menangis, ingin ikut ibunya ke pasar, lantas kau beri uang jajan. Kau pikir aku akan terjebak lagi dalam tipu dayamu. Tak ada gunanya kau menangis tersedu-sedu demi memintaku kembali padamu. Bodoh jika kau berpikir aku akan terjebak dalam sandiwaramu yang murahan. Aku tidak peduli walau kau sudah cerai dengan wanita jalang itu. Aku tidak peduli jika kau sengsara. Jika kau mati pun tak apa.
 
***
 
Terima kasih. Terima kasih atas semua luka yang kau beri. Berkatmu, kini aku tumbuh menjadi wanita dewasa. Tumbuh dengan pemahaman yang baik, pengertian yang benar, dan tahu betul kapan harus berkorban, berjuang, menyerah, mengalah, hingga melapaskan.
 
Cinta? tentu saja aku mulai bisa megerti banyak tentangnya. Yang pasti aku tidak akan percaya sepenuh hati pada mahluk bernama cinta. Karena cinta bisa membuatku menangis dan tersenyum dalam satu helaan nafas. Cinta mampu membuatku menjadi wanita terbahagia dan paling menderita hanya hitungan detik saja. Dan cinta tak ubahnya tempat bersandiwara bagi orang-orang yang pandai memasang tipu daya.*
 
 
 
Nasrul M Rizal lahir pada tanggal 27 Agustus 1995 di Garut. Menulis adalah cara untuk memafaatkan waktu di sela-sela kesibukannya sebagi mahasiswa di Universitas Pendidikan Indonesia. Berkeinginan mempunyai perpustakaan pribadi dan melahirkan karya yang bermanfaat. Komunikasi lebih lanjut bisa melalui email: mr.nasrul19@gmail.com 
 

Terkini