*Cerpen untuk Seto Permada, sahabat yang paling setia
SELAIN Sukab ada lelaki lain yang setia di dunia ini. Aku berani bersumpah bahwa lelaki itu adalah suamiku. Dia memang tak pandai menggombal, tak pandai memotong senja seperti yang dilakukan Sukab untuk Alina. Tapi dia adalah lelaki yang paling setia.
Jika Sukab tak pernah mau mengganti sepatunya, maka suamiku tak pernah mau meninggalkan botol kenangan miliknya. Botol Kenangan. Aku menyebutnya seperti itu. Botol itu sudah dua tahun menemani suamiku tidur bersama. Terkadang aku bingung, aku istrinya, tak pernah dipeluk seperti botol kenangan itu. Namun, Mario, sumiku, memperlakukannya seolah dia kekasihnya.
Aku curiga, jangan-jangan botol itu adalah jelmaan dari bidadari cantik yang sedang malih rupa* menjadi botol untuk menemani suamiku. Atau, jelmaan dari makhluk gaib lainnya yang digunakan suamiku sebagai jimat penambah kekayaan. Tapi jika benar itu jimat, kenapa hidup kami jauh dari kata kaya, bahkan terkesan sangat sederhana.
Suamiku bekerja sebagai serabutan di pasar. Dia berangkat pagi dan pulang setelah mentari menghilang di ujung barat. Rumah kami sederhana. Kecil. Tidak seperti rumah-rumah dalam sinetron, yang menampilkan ukiran-ukiran indah di pintunya. Tidak seperti itu. Dinding rumah kami terbuat dari anyaman bambu yang sudah mulai reot jika tertiup angin. Lantainya masih terbuat dari tanah, tak ada keramik maupun porselen.
Bruno, nama desa kami. Terletak 100 kilometer dari pusat kota. Tak ada mall, tak ada pusat perbelanjaan. Jika kau ingin ke kota, hanya ada satu jalur yang bisa kau tempuh untuk menuju ke sana. Kau harus menaiki angkot yang datang hanya dua jam sekali. Terkadang kau harus menunggu untuk waktu yang lebih lama.
Sejak aku menikah dengan Mario, belum sekali pun dia mengajakku ke kota. Beberapa kali dia ke kota, namun dia menolak untuk mengajakku. Akhir-akhir ini Mario selalu pulang malam. Ketika kutanya alasannya, dia selalu menjawab dengan kata-kata kasar. Beberapa kali dia bahkan memukulku untuk tidak ikut campur dengan urusannya.
***
Aku rasa Mario tidak mencintaiku, sejak awal. Kami dijodohkan, dan aku bisa paham jika terlalu sulit baginya untuk mencintaiku. Orang-orang di desa ini tak pernah membahas soal cinta. Persoalan cinta di desa ini menjadi nomor sekian di banding persoalan wereng, matun, ngluku* dan lain sebagainya.
Terlepas dari Mario mencintaiku atau tidak, aku sangat menghormati dia sebagai suamiku. Sekali pun dia tak pernah menyentuhku.
“Mas, apa kamu sakit?” ujarku suatu malam ketika Mario pulang dalam keadaan basah kuyup. Di luar hujan, dan ia lupa membawa mantel. Wajahnya terlihat pucat. Bahkan bibirnya membiru.
Dia menggeleng, "Aku tidak apa-apa, ini jatah bulan ini. Gunakan dengan baik," tuturnya mengangsurkan uang kepadaku.
Dua ratus lima puluh ribu, jumlahnya dua kali lipat yang biasanya. Aku kaget. Dari mana dia mendapatkan uang sebanyak ini. Tidak seperti biasanya. Bahkan tingkah Mas Mario tidak seperti biasanya.
***
Akhir-akhir ini banyak sekali berita tidak enak tentang gadis-gadis desa ini yang sedang merantau. Banyak yang bilang, beberapa di antaranya terjerat dunia hitam. Ibu-ibu di PKK sering membicarakannya. Bahkan setiap kali membeli sayur di pasar, ibu-ibu PKK juga tak luput membicarakan hal itu.
“Tahu enggak Bu, Nadia, anaknya Parwati ternyata juga seperti itu loh. Ya ampun, saya tidak menyangka, padahal anaknya alim loh,” gumam Bu Giyem dengan berapi-api.
“Masa sih, Bu? Padahal dia pakai kerudung,” ujar Bu Item tak percaya.
“Ah, kamu kayak enggak tahu aja, Kerudung itu cuma kedok. Sekarang ini banyak yang keihatannya alim di luar tapi dalamnya bobrok. Itu kayak para koruptor, di luar sih tampak keren, berpenampilan oke, tapi nyatanya cuma bisa makan hak orang kecil kayak kita,” gumam Ibu Giyem mengompori.
“Tapi Nadia sepertinya tidak seperti itu,” gumam Bu Iyem masih tak percaya.
Sedari tadi aku ingin cepat-cepat pulang, malas rasanya mendengarkan gosip yang belum tentu jelas kebenarannya. Orang-orang di kampung ini sedang heboh membicarakan Nadia, tetanggaku. Gadis itu bekerja di Jakarta entah apa pekerjaannya, namun akhir-akhir ini banyak yang bilang dia menjajakan diri di sana.
Nadia dan Mario berteman akrab, beberapa waktu yang lalu Nadia pulang kampung. Gosip tentang dirinya makin bertambah lebar, ditambah dengan kedekatan suamiku dengannya.
“Eh, Jeng Nita, beberapa waktu yang lalu saya lihat Mas Mario sama Nadia, hati-hati loh Jeng, jaga suami Jeng baik-baik,” gumam Bu Giyem.
***
Aku ingin menutup mata tentang kebenaran Mas Mario dan Nadia. Aku tak ingin mendengarkan gosip-gosip yang beredar. Namun sayangnya telingaku tetap terbuka lebar ketika kata-kata menyakitkan itu menusuk-nusuk genderangnya.
Jika memang Mas Mario selingkuh, kenapa tidak menceraikanku saja. Bukankah selama ini dia tidak mencintaiku? Lama kelamaan gosip itu bukannya mereda, namun semakin memanas. Mas Mario pun juga tak pernah memberikan penjelasan apa pun.
Mas Mario tengah bersiap tidur sambil mendekap botol kaca di pelukannya ketika aku meminta waktu untuk berbicara dengannya.
“Ceraikan saja aku, Mas,” gumamku setelah jeda yang panjang. Aku sudah memikirkan ini berhari-hari. Pernikahan memang tidak hanya bermodalkan cinta. Tapi sebuah pernikahan juga tak bisa bertahan jika tanpa cinta.
Mas Mario hanya diam. Tangannya bergetar. Dia mempererat pelukannya pada botol kenangan. “Aku rasa Mas sudah tidak membutuhkanku lagi. Lagipula sekarang Mas sudah menemukan wanita yang tepat untuk Mas. Mas selingkuh dengan Nadia kan?” nada suarku mulai meninggi.
“Jawab Mas! Jawab aku, apa berita di luar sana itu benar? Apa kau yang telah menghamili Nadia? Jawab Mas!” Aku berteriak frustasi, sementara tak ada jawaban sepatah kata pun dari Mario.
Mario hanya diam, berusaha memejamkan matanya erat. Dia mengabaikanku. Geram, kuraih botol kaca itu lalu kupecahkan di lantai. Suara benturan dan denting kaca yang pecah beradu di lantai. Botol kenangan itu hancur, airnya tumpah, kerikil-kerikil di dalamnya berhamburan, sebatang bunga plastik berwarna merah itu tergeletak di lantai.
“Cukup, Mas. Sampai kapan kau tak menganggapku sebagai benda mati, sementara botol ini kau dekap selayaknya kekasih. Aku muak dengan semua ini. Aku muak,” gumamku sambil berlalu. Ada kegetiran rasa ketika botol itu pecah, sedikit rasa bersalah karena aku menghancurkan kenangan di dalamnya.
***
Setahun sejak botol kenangan itu pecah, sejak surat perceraian itu datang ke rumahku. Setahun setelah itu aku benar-benar berusaha melupakan Mas Mario. Tak mudah. Aku bahkan berkali-kali gagal meyakinkan diriku sendiri untuk melupakan kenangan bersamanya. Hingga sepucuk surat di pagi yang mendung ini benar-benar menghancurkan usahaku untuk melupakannya.
Teruntuk Nita
Sejak kau meninggalkanku dengan pecahan botol kenangan itu, aku baru sadar bahwa aku telah memperlakukanmu tidak adil. Selama ini aku tidak pernah memperlakukanmu dengan baik. Aku merenggut segala kebahagiaanmu. Aku ingin minta maaf, semoga saja belum terlambat.
Bait pertama surat itu membuatku kesulitan bernapas, wajah Mario kembali terlintas di pikiranku. Alisnya yang tidak terlalu tebal, hidungnya yang pesek juga wajahnya yang tidak tampan. Entah dia menyihirku dengan mantra apa sehingga aku bisa jatuh cinta pada lelaki yang tak tampan seperti dia.
Aku sakit, itulah alasan kenapa aku tidak pernah menyentuhmu. Aku memendam segala hasratku tanpa pernah mengungkapkan padamu. Dosa pertama yang kulakukan adalah menikahimu. Menerima permintaan keluargamu agar aku menyuntingmu. Menjadi ayah untuk bayi di kandunganmu. Jika bukan karena itu, mungkin tak ada orang lain yang mau menikah denganku selain kamu.
Air mata meleleh begitu saja dari pipiku. Semua berawal dari janin itu, yang pada akhirnya tak pernah mempunyai ayah seperti Mario. Aku melakukan perbuatan yang tidak seharusnya dengan lelaki lain, dan Mario dengan suka rela menikahiku karena paksaan keluargaku.
Setiap kali aku melihatmu, aku ingin menjadi suami yang seutuhnya bagimu. Namun sakit ini tak pernah mengizinkan diriku untuk menyentuhmu. Aku terkena HIV/ AIDS. Kau mungkin bertanya, bagaimana bisa pemuda baik sepertiku terkena penyakit seperti itu. Aku tidak pernah sebaik yang kau pikirkan, aku pernah menghamili seorang wanita, kemudian dia bunuh diri karena aku tak pernah mau bertanggung jawab. Oleh karena itu aku tahu perasaanmu ketika lelaki itu tak mau bertanggung jawab untuk janinmu.
Botol kenangan itu berisi hujan saat pertama kali aku melihatmu. Saat kau menangis setelah menemui lelaki berengsek itu. Aku ingin memberikannya padamu. Tapi aku tak pernah bisa, setiap kali aku ingin memelukmu. Aku memeluk botol kenangan itu. Setiap kali aku ingin menyentuhmu, aku memeluk itu. Karena aku tak pernah bisa memelukmu.
Aku dan Nadia tak pernah memiliki hubungan apa-apa. Aku hanya membantunya untuk mencari pria brengsek yang telah menghamilinya. Namun kau terlanjur mempercayai kebenaran gosip itu.
Ketika kau membaca surat ini, aku mungkin sudah pergi jauh, meninggalkan segala kenangan kita. Mencari hujan yang baru untuk kupersembahkan padamu, nanti, jikalau aku sudah menemukan botol kenangan yang baru, aku akan kembali padamu. Jika kau bersedia, maka tunggulah aku.
Hujan merambat di luar sana, semakin deras. Wajah Mario kembali mengusik ingatanku. Sudah berkali-kali kuhapus air mata di pipiku, namun terus saja terganti dengan air mata yang baru. Hingga huja di luar lega, aku masih belum bisa menghentikan hujan di mataku. ***
Catatan:
Malih rupo: Berubah wujud
Matun: Membersihkan rumput di sawah
Ngluku: Membajak sawah
Klaten, 19 September 2016
Endang Indri Astuti, lahir di Klaten, menulis esai, cerpen, novel dan puisi. Beberapa karyanya pernah dimuat di media cetak. Mencintai buku dan membaca di saat yang lengang.