PEREMPUAN itu selalu datang setiap lepas subuh. Saat warga kampung usai menunaikan shalat subuh di masjid. Ia selalu datang menjambangi kebun itu. Walau saat itu embun masih menggelambir di pucuk pepohonan dengan kabut putih masih jelas tergambar jika mata memandang. Pun dengan udara saat itu masih terasa dingin bila dirasakan. Dinginnya merasuki seluruh pori-pori tubuh hinggga ke tulang sum-sum jika dirasakan. Aroma pagi saat itu masih sangat terasa tercium.
Dan saat itulah perempuan bertubuh bungkuk itu mengendap-endap serupa maling, ingin mencuri sesuatu yang menjadi incarannya. Jika maling tentu ia akan berhati-hati memasuki areal kebun itu. Tanpa menginjak ranting-ranting pohon yang telah rapuh. Karena jika terinjak akan menimbul suara. Tapi tidak dengannya jika ranting-ranting pohon itu sudah terinjak namun tidak meninggalkan suara. Entah ilmu apa yang ia miliki setiap ranting-ranting kayu yang telah menua diinjaknya seakan-akan suara itu seperti dibawa angin lalu. Nyaris tak terdengar di gendang telinga.
Kebun luas itu masih berada di kampung kami. Empunya adalah Pak Yakub. Kebun itu dirimbuni segala macam pepohonan. Ada pohon nangka, pohon mangga, pohon durian, pohon rambutan dan juga pohon kecapi itu yang tumbuh liar dengan subur. Itu terlihat dari batang-batang pohonnya yang tinggi menjulang. Ada juga dirambati pohon perdu emakin tidak diurusnya. Walaupun kebun itu milik perorangan, milik Pak Yakub setiap warga kampung yang ingin menikmati hasil kebunnya. Atau, untuk mencari kayu bakar dibebaskan masuk. Siapa pun diperbolehkan! Tanpa ada larangan. Asal jangan menebang maupun membakar daun-daun kering itu di dalam kebun. Itu saja yang menjadi pesan dari pemilik kebun. Larangan bagi warga kampung yang memasuki kebun itu. Dilarang menebang maupun membakar daun-daun kering di areal kebun itu!
Kini berita tentang kebun milik Pak Yakub diperbolehkan dimasuki siapa saja, asal mematuhi larangan itu. Akhirnya sampai juga ke kuping tua perempuan itu. Dan itu membuat ia menjadi lebih leluasa memasuki kebun itu saban bakda subuh.
Aku yang selalu berpapasan dengan perempuan itu usai subuhan tak tahu siapa dirinya sesungguhnya. Darimana ia datang? Tinggal dimana ia? Warga kampung ini atau bukan? Tak terbersit pun hal itu menjadi sebuah pertanyaan di tempurung otakku. Apalagi karena aku sering melihat ia setiap bakda subuh masuk ke dalam kebun yang gelap itu—bila masih sangat pagi. Hal itu kubiarkan saja. Toh lagi pula ia tak menggangguku. Tidak seperti yang pernah kualami beberapa hari lalu usai menunaikan shalat subuh, di tengah jalan aku dicegat oleh orang gila yang sedang mengorek-ngorek, mencari makanan di tempat sampah karena kelaparan. Hingga hal itu membuatku terkejut tak kepalang.
Pernah suatu subuh ketika aku baru mengetahui keberadaan perempuan itu. Aku kira ia sebangsa makhluk halus. Penghuni kebun itu. Entah itu setan yang sedang kelayaban. Atau, hantu sedang kesasar menuju alamnya pagi itu. Namun karena aku penasaran akhirnya kusampari saja. Walau sebenarnya ada rasa takut yang tiba-tiba menyergapku saat itu. Tapi kuberanikan juga mengetahui siapa gerangan perempuan itu sebenarnya. Namun saat langkahku hampir sampai menuju ke arahnya. Tiba-tiba ia menoleh ke arahku sambil bersuara.
"Eh, Nak Awwab baru pulang dari masjid ya?" tegurnya saat pertama kali aku bersitatap denganku lalu ia masuk ke dalam kebun tanpa suara.
Aku yang ditanya seperti olehnya pertama kali langsung tunggang langgang. Lari terkencing-kencing tanpa memedulikan sandal jepitku yang terputus seketika. Aku langsung mengambil langkah seribu, meninggalkan tempat itu. Apalagi ketika ia menyembutkan namaku saat aku sudah mendekat di hadapannya. Itu yang membuat aku terkejut bukan kepalang. Tak percaya. Ya, aku tak percaya! Walau aku tak melihat raut mukanya saat itu dengan jelas. Karena saat itu pagi masih gulita jadi aku tak melihat wajahnya. Seperti apa paras perempuan itu? Burukkah rupanya? Aku tak tahu pasti. Karena aku sudah terkejut dulu saat itu. Apalagi ketika ia mengetahui namaku. Sedangkan aku baru pertama kali melihatnya. Itu yang menjadi pertanyaanku.
Hmm, sungguh pagi yang malang buatku saat itu bila aku kembali mengulangi mengingatnya. Apalagi saat-saat aku pertama kali bertemu dengan perempuan itu—yang lepas bakda subuh selalu memasuki kebun milik Pak Yakub. Sungguh membuat bulu kuduku berdiri ketika pertama kali mengetahuinya.
Siang harinya aku pun ke kebun itu. Rasa penasarankulah yang mengajak aku untuk melihat keadaan kebun itu. Setibanya, di sana, kupicingkan mata untuk mengarahkan ke sekeliling kebun itu. Dan ketika aku amati dengan seksama ternyata suasana kebun itu biasa-biasa saja. Seperti kebun-kebun lainnya yang pernah aku lihat. Ditumbuhi pohon-pohon besar serta dengan pohon perdunya. Suasananya tak menyeramkan (jika dilihat pada siang hari). Hanya terdengar semilir angin saja yang terdengar. Bertiup menggoyang-goyangkan pohon-pohon besar itu. Beda, jika malam tiba suasana menyeramkan pun akan langsung mewarnai kebun itu.
Kuamati, sekali lagi dengan mata telanjangku sekeliling kebun itu. Sama. Tak ada yang patut ditakutkan apalagi dicurigakan. Terkecuali, jika malam tiba akan berbeda cerita yang tersambungkan dari mulut ke mulut warga kampung yang melewati jalan di perarealan kebun itu. Akan banyak cerita berbeda yang mengulik-ngulik telinga.
Memang kebun itu satu-satunya yang ada di kampung kami. Kebun milik Pak Yakublah yang masih ada. Masih menghijaukan kampung kami yang sudah gersang. Kering-kerontang. Apalagi ketika sebagian kebun-kebun yang menghampar luas di kampung kami dibabat habis oleh pemda. Digusur untuk pengembangan dan kemajuan kampung. Entah, itu untuk memperluas jalan tol maupun untuk pembangunan pasar modern. Walau nyata-nyatanya tak berpengaruh pada warga kampung. Tapi kami bersyukur kebun milik Pak Yakub belum terjamah oleh pemda. Jadi kebun itu yang dijadikan tempat untuk berteduh, tempat rekreasi murah-meriah dan juga memberikan manfaat untuk perempuan itu.
Lama, mengitari kebun itu—dan tak ada lagi yang aku lakukan kutinggalkan tempat itu. Apalagi aku sudah dua jam berdiam diri di sana. Tak ada maksud dan tujuan pasti aku mendatanginya. Namun biar bagaimana pun rasa penasaranku akan kebun itu sedikit berkurang. Tapi lain hal dengan perempuan itu masih mengusik benakku.
Akhirnya berita tentang perempuan yang selalu memasuki kebun itu. Kebun yang selalu dirimbuni berbagai pohon besar masuk juga ke telinga warga kampung khususnya para jamaah shalat subuh di masjid. Banyak dari mereka menguraikan cerita yang sama tentang perempuan itu. Walau masing-masing dari pengalaman saat mereka menemuinya dengan cara berbeda. Seperti Syamsul, teman masa kecilku hingga sekarang. Ia pernah cerita, kalau di suatu subuh, tepatnya usai subuhan yang membuatnya terkencing-kencing, saat ia berjalan gontai sepulang dari masjid, tiba-tiba saja ada ia disapa oleh perempuan itu. Lalu ia lari tungggang langgang meninggalkan perempuan itu.
"Oya, Wab kamu sering ditemui perempuan itu tidak?" tanya Syamsul kepadaku usai aku berzikir. Pada shaf depan aku mundur beberapa langkah menyampari dirinya yang ada di shaf belakang.
"Memangnya ada apa, Sul," jawabku kura-kura dalam perahu. Pura-pura tidak tahu. Walau sebenarnya aku tahu apa yang dimaksudkan ia kepadaku.
"Iya, aku pernah ditemui perempuan itu. Saat itu aku baru pulang dari masjid sehabis subuhan. Tapi saat aku melewati kebun Pak Yakub tiba-tiba darimana datang perempuan itu ia langsung menegurku. Karena saat itu masih pagi sekali dan suasana jalan yang dekat areal kebun itu gelap sekali. Aku langsung angkat kaki tanpa menghiraukan teguran itu. Kukira penghuni kebun itu." Syamsul akhirnya menceritakan apa yang ia alami kepadaku.
"Aku tidak tahu, Sul. Toh aku bertemu juga belum," ucapku kembali masih menutupi apa yang sebenarnya terjadi. Aku tak memberitahukan bahwa aku sering menemui perempuan itu.
Akhirnya pembicaraan aku dan Syamsul sampai ke teras masjid. Karena aku tak mau soal perempuan itu dibicarakan di dalam rumah Tuhan. Tak baik. Lagi pula menggangu para jamaah yang lain. Baik yang sedang berzikir maupun yang terlambat menunaikan shalat subuh.
Aku dan Syamsul sudah ada di teras masjid. Dan saat aku sedang asyik masyuk bicara dengan Syamsul tiba-tiba Pak Sayuti ikut nimbrung kepada kami berdua. Ternyata ia setali tiga uang. Ia juga mempunyai pengalaman yang sama dengan Syamsul. Pernah melihat perempuan itu masuk ke kebun Pak Yakub.
"Saya juga pernah kok melihat perempuan itu. Waktu saya dengan istri saya mau berangkat ke pasar. Tiba-tiba di kegelapan saat kami melewati jalan itu kami berdua melihat sosok bayangan manusia masuk ke kebun. Karena istri saya ketakukan akhirnya kami berdua tunggang langgang lari terbirit-birit meninggalkan tempat itu. Hingga esoknya kami berdua tidak melewati jalan itu lagi. Apalagi yang melarang istri saya itu. Akhirnya ya sudah kami melewati jalan yang lain walau jarak pasar ditempuh sangat jauh beda semestinya. Ketika melewati jalan kebun itu. Jaraknya cukup dekat dari pasar." Begitu Pak Sayuti menceritakan pagi itu berapi-api di teras masjid. Ia begitu semangat menceritakan pengalamannya ditemui atau melihat sendiri sosok perempuan itu.
Sudah lebih dari satu jam aku dan Syamsul mendengarkan Pak Sayuti menguraikan ceritanya. Aku hanya menjadi pendengar baik saja. Walau sesekali melemparkan senyum saat aku melihat ke arahnya. Aku tak bisa menutup raut muka Pak Sayuti saat menceritakannya. Begitu hebohnya. Hingga tak terasa fajar sudah menyongsong di bagian Timur. Seburat cahaya kemerah-merahan menyembul dari balik awan. Akhirnya cerita tentang perempuan itu pun langsung berhenti, Aku, Syamsul dan Pak Sayuti pun meninggalkan masjid. Kembali masing-masing ke rumah untuk melakukan aktivitas seperti biasanya.
Ahai, cerita tentang perempuan memasuki kebun Pak Yakub membuat kami menjadi penasaran. Apalagi ketika mendengarkan Pak Sayuti menggebu-gebu menguraikan cerita tentang perempuan itu. Aku jadi tambah penasaran dibuatnya.
"Iya, Pak sepertinya berita tentang perempuan yang setiap saban subuh memasuki kebun Pak Yakub sudah meresahkan warga kampung ini. Saya khawatir jika hal ini tidak dicari jalan keluarnya akan semakin panjang kejadiannya. Apalagi sejak perempuan itu selalu menemui warga kampung usai subuhan di jalan yang menghubungi pasar itu menjadi sepi. Banyak warga kampung mengambil jalan alternatif," kataku saat itu kepada Pak Luri sebagai ketua erte, ketua kampung di kediamannya.
Aku, Syamsul, Pak Sayuti dan bersama warga kampung lainnya pun berbondong-bondong ke rumah Pak Luri malam itu. Di sana aku dengan lainnya menyuarakan apa yang menjadi persoalan kami sebagai warga kampung. Apalagi hal tentang perempuan itu sudah membuat resah dan gelisah kampung ini. Alih-alih jika warga kampung tak sabar—dan ingin menyelesaikan dengan caranya sendiri bisa-bisa merugikan banyak pihak terutama pemilik kebun itu. Bisa-bisa ia dikira bersekutu dengan makhluk gaib. Ngipri. Itu yang dikhawatirkan warga kampung. Bisa jadi hal itu menjadi fitnah untuk Pak Yakub. Walau sebenarnya ia warga kampung asli di sini. Dan juga sudah diketahui kebaikannya kepada semua warga kampung.
"Iya, Pak Luri bagaimana seharusnya kita lakukan! Jangan sampai hal ini berlarut-larut. Karena perempuan itu, istri saya jadi tak mau melewati jalan yang menghubungi pasar itu. Istri saya malah menyuruh saya mengambil jalan lain," timpal Pak Sayuti menguatkan alibiku.
Saat itu suasana rumah Pak Luri pun ramai. Semua membicarakan tentang perempuan itu—yang sudah meresahkan dan mebuat gelisah seisi warga kampung. Dan yang lebih menyedihkan adalah keadaan masjid jika adzan subuh berkumandang seperti biasa sudah didatangi warga kampung kini sudah tidak lagi. Menjadi sepi. Apalagi mengenai shaf kini hanya dipenuhi satu shaf kurang. Tidak seperti biasanya sampai dua-tiga shaf dipenuh jamaah. Mereka lebih shalat subuh di rumah mereka masing-masing.
"Bukan itu saja sekarang keadaan masjid juga sepi, Pak!" seloroh Syamsul tak mau kalah memberitahukannya.
Pak Luri yang diberondong berbagai pertanyaan oleh warganya hanya mendengarkan dengan bijak. Ia tak mau gegabah memutuskan apa yang sudah menjadi persoalan warganya. Walau sebenarnya ia sudah tahu apa yang akan didengarnya. Tak lain persoalan perempuan yang selepas subuh mondar-mandir memasuki kebun Pak Yakub.
"Baiklah besok siang kita ke rumah Mak Odah. Saya harap hanya sebagian saja yang ikut saya agar pembicaraan malam ini bisa usai besok siang ketika kita ke rumah Mak Odah." Akhirnya Pak Luri membuka suara juga dari semua pertanyaan warganya.
"Lho kok ke rumah Mak Odah? Bukannya Mak Odah sudah meninggal di kampungnya. Karena rumah itu sudah lama tak ada penghuninya," celetuk salah satu warga kampung yang semakin penasaran dengan ucapan Pak Luri.
"Ya sudah besok siang usai bakda zuhur kita sebagian ke rumah Mak Odah. Baiklah karena hari sudah larut malam saya tutup pembicaraan ini. Semoga besok siang kita bisa menyelesaikan masalah ini. Terima kasih untuk semuanya." Begitu ucap Pak Luri mengakhir pembicaraan malam itu.
Semua pun meninggalkan rumah Pak Luri. Hanya aku, Syamsul dan Pak Sayuti yang masih tetap berada di rumah itu. Karena kami bertiga tidak perkenakan meninggalkannya. Musababnya, kamilah yang bertiga akan ikut serta esok siang bersama dirinya.
Akhirnya hari yang ditunggu pun tiba. Aku, Syamsul dan Pak Sayuti dan juga Pak Luri sebagai ketua kampung, kami pun menyambangi rumah Mak Odah. Lebih tepatnya gubuk yang hampir reyot dan rapuh, menjadi tempat perlindungannya dari hujan dan panas.
Setiba di rumahnya kami pun sudah disambut Mak Odah. Saat itu matahari sudah sangat terik, ada di tengah-tengah ubun-ubun kami ketika tiba di gubuk perempuan itu.
"Maaf Mak Odah siang-siang begini ke rumah Mak. Kami di sini mau silaturahim. Bolehkan Mak?" ujar Pak Luri ramah kepada Mak Odah. Dan Mak Odah pun menyambut dengan senyum senjanya.
"Oh, nggak apa-apa Nak Luri. Maaf rumah Emak kotor," jawab parau perempuan ringkih itu mempersilakan kami memasuki rumahnya.
"Terima kasih, Mak. Begini kami sebelumnya maaf jika mengganggu dan menyinggung perasaan Emak nanti."
"Nggak apa-apa! Emak paham kok. Kalian kemari untuk mengetahui keberadaan Emakkan?"
"Iya, Mak. Karena warga kampung di sini belum tahu kalau Emak sudah balik dari kampung. Dan saya juga minta maaf jika belum menyampaikan kepada warga yang lain. Kalau Mak Odah sudah kembali ke kampung ini."
Mak Odah yang kulihat saat itu hanya tersenyum. Kulihat senyumnya yang sudah mengeriput itu menandakan bahwa ia begitu sabar dan tabahnya menghadapi kehidupannya seorang diri. Sebatangkara. Tanpa ditemani oleh sanak-saudara satu pun.
"Oya, kamu anaknya Mak Kus ya? Awwab bukan, nama kamu?"
Aku yang mendengar suara itu seketika begitu familiar di telingaku apalagi jika aku mengingat suara itu pertama kali melewati kebun itu. Suara itulah yang menegur aku kala itu. Dan aku baru pertama kali ditegurnya ini malah kabur ketika ia mengetahui namaku pula.
"I-Iya, Mak! Saya Awwab anak Mak Kus," kataku geragapan.
"Mak Odah minta maaf jika Emak sudah membuat ketenangan kampung terusik atas kehadiran Emak kembali. Apalagi ketika saban bakda subuh Emak sudah keluar rumah dan mencari kayu bakar di kebun itu. Karena hanya kebun itu satu-satunya tempat Emak mencari kayu bakar. Apalagi semua kebun di kampung ini sudah tidak ada. Rata sama tanah akibat digusur. Itu saja! Bukan maksudnya menggangu kalian. Ternyata malah Emak dianggap setan atau hantu segala. Jika itu yang membuat resah dan gelisah atas kehadiran Emak. Emak minta maaf." Dengan suara lirih kami pun mendengarkan ucapan mulut dari perempuan itu.
"Bukan Mak Odah yang salah tapi kami! Sekali lagi saya mewakili warga kampung ini meminta maaf sama Emak ya. Semoga Emak sehat selalu. Biar nanti saya yang mengumumkan di masjid tentang keberadaan Emak sekarang. Kami begitu kami balik dulu ya, Mak."
Kami akhirnya pun meninggalkan rumah perempuan itu. Namun sebelum meninggalkan perempuan yang hany hidup sebatang kara itu Pak Luri memberikan sebuah amplop dan bingkisan yang kami bawa. Pempuan itu pun menanggapi dengan senang dan bersuka cita.
Seminggu sudah sejak sejak kedatangan kami ke rumah perempuan itu. Warga kampung kini tak lagi resah dan gelisah. Pun dengan keadaan masjid kini seperti semula keadaannya. Sudah ramai kembali dikunjungi oleh warga kampung terutama ketika adzan subuh mengumdang. Para jamaah masjid sudah ramai berkumpul. Pun bersamaan dengan menghilangnya perempuan itu dari kampung yang tak tahu dimana rimbanya. Namun sosoknya masih meninggalkan di kebun itu sesekali aku melihatnya ketika embun masih menggelambir di pucuk pepohonan—dengan kabut putih yang masih jelas tergambar jika mata memandang.
Subuh saat itu masih sangat terasa tercium. Tapi biarlah aku saja yang mengetahuinya. Hal ini tak perlu kuurai ceritakan kembali kepada warga kampung lainnya. Hanya kutelan sendiri. Biarlah pecah di perut asal tidak pecah di mulut hingga menjadi buah bibir warga kampung kembali. *
Kak Ian, bekerja sebagai pengajar Jurnalistik tingkat sekolah dan bergiat di komunitas RELI (Relawan Literasi) Jakarta. Sekarang berdomisili di Jakarta. Cerpen, cernak, puisi dan artikelnya telah dimuat di berbagai online, surat kabar lokal dan nasional. Beberapa kali memenangkan lomba menulis cerpen, cerita anak, artikel/opini dan puisi.