Gambar untuk Sebuah Petang dan 4 Puisi Lainnya

Kamis, 09 Maret 2017 | 14:43:43 WIB
Ilustrasi. (Debora Stewart/pinterest.com)
Gambar untuk Sebuah Petang
 
Kita memang tak pernah benar-benar siap,
Waktu, dengan tangannya, kita terperangkap.
Kita murid di kelas tujuh, dengan pelajaran
terlambat, atau belum saatnya diberikan.
 
Ada selembar fotografi, gugus geometri, yang
kau curi, dari perempuan lain yang mengelincir,
pada mimpi warna tua, yang miring-licin.
 
Tubuhmu, harus kumengerti sebagai rumus
sudut-sudut siku. Rumit, dengan angka-angka
berbaris lama, panjang di belakang nol & koma.
 
 
 
Yang Sembunyi di Dalam Mataku
 
Yang sembunyi di dalam mataku
Menatap pada tebing punggungmu
 
Karena ia terbuka, maka aku mengira
kau tantang aku berani menebaknya
 
Yang mengarang di tungku diriku
Mengapi tersebab tebas betismu
 
Karena langkahmu semakin tajam
Aku menjelaga, lekat ke silam sepi
 
Yang memelangi di dinding langitku
Cahaya ragu dari kembang gaunmu
 
Karena aku hidup yang tak bermusim
Aku tinggal ladang tak bertanaman
 
 
 
Aku Tak Akan Menyalahkannya
 
Cintaku adalah rasa asin pada lautmu. Matahari mengira ia bisa
menguapkan aku dari engkau, mengawankanku dari langit yang asing.
 
Ia keliru, tapi biar saja, aku tak mau menyalahkannya.
Cintaku adalah hara menyebati di tanah kebunmu. Matahari mengira
 
hanya ia yang menumbuhkan engkau dan memekarkan bunga
bungamu. Ia salah, tapi bisa saja, aku tak akan menyalahkannya.
 
 
 
Romantisme Badut
 
Apakah tangis? Tangis adalah tawa yang jujur. Dan tawa? Tawa adalah tangis yang
berpura-pura. Aku tahu sebab aku badut yang kau larang melucu.
 
Padahal sejak dahulu, aku hanya ingin menjadi badut bagimu, menjadi diri yang janggal, dan
kau tak lagi perlu payah mengerti aku, lau kau tertawa saja dan padamu semua sesal selesai.
 
*
 
Hidup bukan cuma bagi singgah iseng di tenda sirkus. Kau menolak ajakanku, lalu
pergi sendiri, membelu ketegangan dari tubuh-tubuh yang terampil mempermainkan bahaya.
 
Lalu muncullah aku dengan topi yang tak muat, dan hidung merah tomat, di sela-sela tepuk
tanganmu, melemparkan bola-bola yang tak cukup di dua tangan, lalu kau tertawa dan
padaku segala kesal dimulai.
 
 
 
Tentang Ular yang Berdiam di Dalam Apel
 
Ada seekor ular berdiam dalam tiap
buah apel yang dulu kita yang menanam.
Ini sudah musim panen, di kebun liar
kita. Kita masygul, kenapa semakin lebat
kecemasan?
 
Kita tak berani memetik.
Juga tak berani memungut yang jatuh.
karena tak ada lagi, di tangan, tempat
untuk sakit yang lain. Jejak sepasang
taring jadi luka-luka. Tak akan kering.
 
Hati akan jadi keranjang kosong
yang kita seret pulang. Kita sepasang
petani, berselisih jalan di jalan ke rumah
yang berbeda alamat dan arah.
 
Kita tak berani pergi lebih jauh lagi.
 
 
 
Kholil D. Rahman nama pena dari Khalilurrahman. Lahir di Bicabbi Dungkek Sumenep, Madura. Aktif di berbagai komunitas. Siswa SMA Muhammad Cengho Bicabbi Sumenep Madura. Sejumlah karyanya berupa puisi, cerpen, artikel, cerita anak, dan esai terbit di sejumlah media cetak.
 

Terkini