Bertamu ke Rumah Maria

Selasa, 07 Maret 2017 | 20:16:14 WIB
Ilustrasi. (Willem de Kooning/tate.org.uk)
TUBUHKU berdarah-darah dan aku tidak mau membuat masalah lagi. Tadi pagi aku mungkin masih bisa bersombong, tetapi barusan nyawaku nyaris melayang, dan suatu perasaan takut segera menyergapku. Anak-anakku masih sangat kecil, dan aku pun juga masih menyayangi istriku. Jadi, kuputuskan menyudahi semua ini. Kesombongan hanya untuk orang-orang yang ingin mati cepat. Aku tidak ingin mati cepat.
 
Aku mungkin masih bisa mencari sedikit peruntungan di kampung sepi ini. Untung saja, setelah berlari begitu lama, dengan mengerahkan segenap tenaga, dapat kuhindari serbuan massa yang marah gara-gara kucuri sepeda motor bagus di depan warung nasi. Aku tidak hafal kawasan situ, karena memang cukup jauh dari rumahku. Sengaja kucari target di titik yang tidak memungkinkan istriku tahu aku sampai mencuri hanya untuk menutupi ketidaksanggupanku membiayai kebutuhan dapur.
 
Aku dipecat sebulan lalu, dan istriku masih mengira aku bekerja sebagai satpam di sebuah pabrik benang. Pabrik itu seharusnya sudah sejak lama gulung tikar, dan ketika kenyataan ini terjadi, terpaksa aku kehilangan satu-satunya sumber kehidupan keluarga kecilku. Aku pontang-panting ke sana kemari mencari kerja, tetapi tidak ada kabar baik kudapat.
 
Karena tidak sabar, suatu hari kucoba mencuri benda berharga di pasar. Level yang terendah, sejenis makanan tertentu yang dapat dibeli oleh bocah kelas enam SD, seumur sulungku. Sekali dua kali berhasil, pada mulanya aku merasa berdosa, tetapi setelahnya tidak sama sekali. Lalu kucoba mencuri barang yang sedikit lebih mahal, dan aku bisa. Aku memang bisa mencuri. Kulakukan itu lagi dan lagi, sambil terus menaikkan level barang curianku. Hasilnya lumayan juga. Sementara menunggu panggilan kerja di luar kota, aku masih bisa mencuri untuk menambal kebutuhan kami.
 
Tentu saja istriku tidak harus tahu soal ini, apalagi anak-anak. Jadi, setiap hari aku masih berangkat kerja dengan kostum satpam. Betapa munafik. Seragam satpam yang kukenakan seakan memberiku rasa gerah dan gatal gaib, padahal seragam itu bersih dan baru disetrika. Barangkali ia menolak berbuat munafik, tetapi aku tidak bisa bila tidak munafik. Itu memang harus kulakukan, meski terpaksa, agar anak istriku tidak kecewa.
 
Aku sendiri berjanji, setelah semua itu selesai, maksudku setelah mendapat kerja di mana pun, aku akan berhenti mencuri. Itu memang sudah jadi semacam kesepakatan di antara aku dan sisi baik dalam diriku. Aku berjanji mengganti seluruh dosa mencuri ini dengan memberikan sebagian rezekiku kepada orang-orang tidak mampu. Itu pasti akan kulakukan jika kelak aku mendapat pekerjaan. Aku tidak tahu apa kata ulama di desaku, tetapi aku akan tetap melakukan sesuai tekadku ini.
 
Sayangnya, belum sampai tujuanku tercapai, aku tertangkap basah dan dihajar oleh sekelompok pria. Aku ditendang dan dilempari balok kayu sampai kepalaku bocor dan pandanganku agak berkunang. Sejenak aku yakin aku mati, tetapi aku masih hidup. Aku masih dapat merasakan sakit di badan dan kepalaku. Aku tidak tahu bagaimana akhirnya aku bisa lari dengan sisa tenagaku, menerabas hutan gelap dan hilang dari sasaran amuk warga.
 
Aku terus berjalan setelah yakin mereka berhenti mengejarku. Biar saja seesorang menelepon polisi, karena di hutan ini penyesalanku menumpuk sehingga bayang wajah istri dan anak-anak membuatku merasa sangat berdosa. Aku sadar dengan memberikan uang haram, sebetulnya sama saja kubakar mereka dengan api neraka. Sepanjang jalan aku mulai menangis dan tak peduli meski mungkin hantu-hantu gentayangan sedang ada di sekelilingku. Aku hanya terus memikirkan nasib anak istriku.
 
Harusnya memang aku tidak pernah mencuri. Meminjam uang lebih baik daripada mencuri. Menjadi pengangguran jujur lebih baik daripada maling. Lalu, timbullah suatu gagasan bahwa aku harus mengakui ini secara terhormat. Aku tidak ingin mati di sini, malam ini, jadi lebih baik kucari rumah seseorang dan kubiarkan dia memanggil polisi. Lebih baik berada di tangan polisi, daripada dihajar massa yang kalut.
 
Ketika menemukan suatu kampung, kukira aku masih bisa bertahan hidup, dan aku tidak akan mati sia-sia dan menimbulkan kesedihan lebih mendalam di hati anak istriku. Kalau dipikir-pikir, lebih baik mereka membenciku saja karena ketangkap polisi karena mencuri, daripada mendengar aku mati dihajar massa gara-gara mencuri. 
 
Dua hal itu, bagiku, amat lain artinya. Aku mati sebagai maling, dan aku dibawa ke penjara sebagai maling. Itu jelas berbeda. Jika aku mati sebagai maling, anak dan istriku sudah pasti sedih dan kecewa, dan aku tidak dapat meminta maaf kepada mereka sampai kapan pun. Sedangkan jika aku dipenjara oleh polisi, respons mereka memang begitu juga, tetapi aku masih punya waktu untuk meminta maaf, kelak jika bebas dari penjara.
 
Aku ingin memperbaiki semua.
 
Aku mengetuk pintu sebuah rumah, dan seorang perempuan cantik membuka pintu sambil memasang wajah penasaran. Aku bilang, aku sedang terluka. Dan memang siapa pun dapat melihat lukaku cukup lumayan. Darah mengalir dari kepalaku, dan tubuhku ini membiru akibat tendangan warga. Lalu perempuan cantik itu menyuruhku masuk ke ruang tamu, dan berjanji akan memberiku perawatan sebisanya. Barangkali dia pikir aku ini korban kecelakaan atau perampokan, sehingga tidak ada rasa takut di matanya.
 
Begitu pintu ruang tamu ditutup, aku merasa lega. Kupandangi suasana ruang tamu yang penuh barang pajangan berupa guci dan patung-patung serta souvenir dari banyak tempat. Aku tidak tahu benda-benda itu didatangkan atau dibawa dari daerah mana saja, tetapi yang pasti rumah ini terlihat seperti rumah orang berduit. Seandainya aku belum taubat, sudah pasti rumah ini menjadi sasaran yang empuk. Tidak ada satpam di depan sana, dan kondisi rumah-rumah tetangga di sekitarnya juga seperti rumah kosong tidak berpenghuni.
 
Barangkali karena kampung ini kampung terpencil, jadi tidak semua rumah terlihat betul-betul berpenghuni, padahal aslinya memang berpenghuni. Rumah ini sendiri kalau dari depan terlihat sepi, tetapi ternyata dihuni perempuan cantik dengan baju tidur cerah yang wangi. Dia pasti istri si pemilik rumah, dan sudah pasti mereka memiliki rumah ini sebagai semacam rumah peristirahatan, untuk mengusir penat hidup di kota besar yang bising dan kejam.
 
Rumah yang sebegini besar sebenarnya agak aneh dan mencolok ketika kita dapati di suatu kampung terpencil di dekat hutan. Tetapi aku yakin di sini ada pesawat telepon yang berfungsi dengan baik, sehingga nanti aku dapat menjamin si perempuan cantik itu agar tidak usah takut saat kuakui bahwa sebenarnya aku ini adalah pencuri yang nyaris mati dihajar massa. Karena ia dapat langsung menelepon polisi.
 
Aku sedang menyiapkan kalimat yang tepat agar perempuan itu tidak panik, ketika ia mendadak keluar dengan membawa baskom air hangat dan juga handuk kecil warna biru. Ia duduk dan bertanya siapa namaku. Kubilang bahwa namaku adalah Sapono, tapi sebelum kukatakan lebih lanjut kenapa aku terluka sebegini parah, perempuan cantik itu memperkenalkan diri sebagai Maria.
 
Handuk itu dia rendam di baskom air hangat, dan Maria mulai menangis karena tak tega melihat gigi depanku yang copot satu. Ia bilang, wajahku mengingatkannya kepada suaminya yang sudah almarhum ditembak pencuri. Waktu itu ada dua pencuri masuk ke rumah ini, dan kebetulan suaminya baru keluar dari toilet dan langsung berteriak. Salah satu pencuri itu membawa pistol, dan seketika suaminya ditembak tepat pada jidatnya.
 
"Suami saya mati. Otaknya berhamburan di lantai dekat pintu toilet seperti bubur!"
 
 Aku tidak tahu harus bicara apa, karena ini di luar dugaan. Dua orang pencuri pada masa lalu masuk kemari dan membawa pistol dan menembak kepala suaminya sampai otaknya berhamburan seperti bubur. Kurasa tidak ada lagi cerita yang lebih memilukan dari itu. Aku lumayan shock mendengarnya.
 
Jika suaminya alharhum, dengan siapa ia tinggal di rumah besar yang sepi ini?
 
"Saya sendirian kok, tetapi sudah biasa," katanya pendek.
 
Lalu Maria merawat luka-lukaku dengan telaten. 
 
Aku diam selama lima belas menit, dan kubiarkan Maria yang cantik ini berbicara sesukanya. Aku belum dapat menemukan cara untuk menjelaskan siapa aku sebenarnya kepadanya. Sesekali dia memandangiku dalam-dalam, dan kurasakan getaran aneh pada tubuhku, yang entah kenapa mendadak diliputi nafsu membara untuk mengajak Maria kawin. Aku tidak mengerti dari mana gagasan konyol semacam ini datang, tapi mungkin itu karena Maria terlalu cantik di mataku. Tentu saja aku tidak akan melakukannya.
 
"Anda sudah punya istri atau belum?" tanya Maria setelah hampir seratus persen ia rampungkan pekerjaannya merawat lukaku. 
 
Kusampaikan bahwa anakku ada beberapa orang dan yang tertua sudah kelas enam SD. Istriku sebenarnya lumayan cantik juga. Ia dengar itu dengan penuh kesabaran, lalu mulai mengemasi tisu-tisu penuh darahku yang tadi kupakai untuk mengusap beberapa luka yang tidak henti mengalirkan darah.
 
"Sekarang Anda sudah agak baikan, 'kan? Anda bisa istrirahat dulu di kamar, kalau Anda mau. Saya sudah siapkan kamar untuk Anda tadi sewaktu mengambil air hangat," kata Maria tenang.
 
Aku tidak bisa menerima tawaran itu, karena sebetulnya yang Maria lakukan tidak harus lebih dari ini. Tapi, ia memaksaku tidur di kamarnya, dan entah kenapa aku tak bisa menolak.
 
Maria juga masuk ke kamar yang sama. Setelah aku berbaring, ia ikut berbaring. Aku tidak tahu bagaimana aku mengantuk dan ketiduran, dan kemudian kurasakan ada sentuhan aneh di punggungku. Seingatku aku tidak melepas baju setelah dirawat, tetapi aku merasa badanku tidak berbaju dan suasana kamar sangat dingin. Saat kubuka mata, baru kutahu bahwa ternyata aku tidak tidur di kamar seseorang, melainkan di kuburan yang entah berada di mana. Aku tidak tahu siapa sebenarnya Maria, tetapi kukira warga masih dapat membunuhku dalam waktu dekat ini. *
 
Gempol, 5-9-2016
 
 
 
Ken Hanggara. Lahir di Sidoarjo, 21 Juni 1991. Menulis puisi, cerpen, novel, dan esai. Karya-karyanya terbit di berbagai media lokal dan nasional.
 

Terkini