Apa kamu yakin, masa kanak-kanakmu adalah yang paling indah dan menyenangkan?
Di hari Senin yang melelahkan, ibuku lagi-lagi menampakkan wajah gelisahnya di depan layar televisi. Ibu selalu gelisah dan mengkhawatirkan banyak hal. Mungkin karena usianya yang sudah tua, di matanya segala hal begitu menakutkan karena samar dan sedikit gelap.
Ia seketika memanggilku dengan suara paraunya yang mencekik leher. Aku yang baru saja menurunkan cucian kering ke dalam keranjang segera menghampirinya di ruang tengah. Ada apa lagi, Bu? tanyaku. Ibu menggeleng-geleng getir. Keriput-keriput di wajahnya terlihat semakin kusut masai. Lihatlah berita itu, ujarnya dengan masam dan dongkol.
Layar televisi itu memperlihatkan seorang wanita pembawa berita dengan rona wajah penuh keprihatinan yang (menurutku) tengah dibuat-buat. Bibirnya terlalu merah dan menyala-nyala. Kurasa, ia lebih pantas membawakan berita palsu penuh kontroversial tentang para lakon dunia hiburan ketimbang berita duka semacam sore hari ini.
Di bagian paling bawah layar televisi, tertulis kalimat yang sedang berjalan: Seorang bocah kembali diketemukan tak bernyawa dalam keadaan mengenaskan di dalam pembuangan air. Aku memerhatikannya dengan tekun. Bocah itu baru dua tahun, lebih muda setahun dari usia putriku. Wanita pembawa berita itu memberitahukan, ia diketemukan dengan pipi-pipi yang lebam dan membiru. Ada bercak darah yang mengering di bagian pahanya. Tubuhnya membengkak. Seorang ahli forensik bilang ia sudah mati tiga hari lalu.
Aku mendesis sungkawa. Memicing mata. Mengalihkan pandangan pada putriku. Ia sedang bermain-main bola karet di dekat pintu kamar tidur. Kucingku terduduk di sampingnya, menekuni bola yang menggelinding. Kepalanya menoleh ke kiri dan ke kanan dan matanya membulat. Sesekali, kaki depannya melesat ke arah bola. Ingin ikut bermain-main.
“Dunia macam apa zaman sekarang ini, Ros?” tanya ibuku. Aku tidak menjawab apapun. Bagiku, dalam puzle ingatan-ingatanku, dunia memang sudah sebobrok itu sejak bertahun-tahun lalu. Mereka lihai memangsa anak-anak dan menodai kenangan-kenangan masa kecil mereka. Ibu tidak tahu apa-apa tentang hal itu, karena aku tidak pernah mengatakan hal apapun padanya sejak dulu.
Bagi sebagian besar orang, mungkin saja masa kecil mereka sangat menggembirakan. Mereka boleh saja mengingat bagaimana asyiknya menaikkan layang-layang, atau bermain gundu, atau menyerok ikan di parit, atau berlarian dikejar anjing saat mencuri ketela pohon di ladang orang. Tapi bagi sebagian kecil orang, masa-masa itu bisa jadi adalah sebuah mimpi buruk yang terus menghantui mereka setiap saat dan membuatnya terkencing-kencing di celana atau berteriak-teriak gila.
Dulu, aku pernah tinggal di sebuah perkampungan yang tidak semua penduduknya adalah orang-orang yang menyenangkan. Juga bocah-bocah mereka yang berkulit hitam dan berbau matahari, dan ternak-ternak mereka: sapi, kerbau, kambing, ayam, dan bebek.
Walau aku anak perempuan, aku teramat senang ikut-ikutan bermain sepak bola bersama bocah-bocah lelaki yang berbau matahari itu. Di sana, lapangan bolanya tidak terlalu besar, tapi cukup luas dan melelahkan. Ilalang dan rumput-rumputnya juga tinggi. Kadang, saat aku berlari mengejar bola, kakiku akan menginjak kotoran kambing. Jika sedang lebih sial lagi, aku akan menginjak kotoran kerbau. Itu sangat tidak menyenangkan. Mengapa orang-orang itu tidak membiarkan kami tenang bermain bola tanpa dihantui kotoran ternak mereka?
Di kampung itu juga ada sebuah sungai kecil yang letaknya tak jauh dari lapangan sepak bola kami. Setiap musim hujan tiba, kami suka menengelamkan tubuh kami di sana. Hanya sebatas dada jika air sungai itu sedang tinggi-tingginya, tapi itu sudah cukup menyenangkan. Yang tidak membuat kami senang adalah saat melihat kerbau-kerbau turun dari bukit dan dimandikan bersama kami. Lalu bebek-bebek yang dilepaskan dan berenang hilir-mudik tak keruan, membuat jatah sungai semakin sempit bagi kami. Bau bebek lebih buruk dari bau kerbau. Bahkan, kadang-kadang, seorang kakek-kakek bisa saja datang dan ikutan berjongkok di dalam air dengan wajah mengejan. Serentak kami semua akan bangkit dan muntah-muntah. Setelahnya, kami terserang gatal-gatal selama seminggu karena ulah mereka.
Orang-orang di tempat itu memang jorok dan tidak memiliki toleransi yang cukup untuk membiarkan anak-anak menikmati permainan mereka. Seolah bagi mereka, anak-anak hidup di wilayah kekuasaan mereka, jadi anak-anak harus patuh dan menyetujui apapun yang mereka lakukan. Itu hal yang sangat bodoh. Sekali lagi, itu kenangan yang tidak terlalu menyenangkan bagiku.
Berita di layar televisi sekarang berganti tentang seorang guru perempuan yang dibui karena mencubit (sedikit) lengan muridnya. Aku jadi teringat pada kejadian tiga hari lalu. Ketika itu, aku sedang mengantarkan putra pertamaku ke tukang potong rambut di dekat rumah. Seorang pria sedang menunggu gilirannya dan aku tersentak saat melihat dirinya. Ia nampak mengenaskan.
Pria itu—mungkin hampir seusia bapakku—bertubuh kurus dengan wajah gusar dan malu-malu. Tapi bukan itu yang membuatku tercenung dan iba. Rambut-rambutnya yang sudah hampir seluruhnya putih itu dipotong secara acak-acakan. Bahkan ada beberapa yang membentuk serupa pitak yang tidak rata di beberapa tempat, hingga kulit kepalanya menyembul dengan leluasa. Mirip seperti lapangan berumput yang baru saja diporak-porandakan seekor banteng gila.
Aku hanya bisa diam saja tanpa ingin lagi memerhatikan dirinya, dan saat tukang potong rambut itu menanyainya perkara rambut-rambut yang menghilang itu, aku mendengarkannya baik-baik.
Saat aku masih bocah, aku takut pada guru-guruku sewaktu mereka marah atau sekadar menegur saja. Aku selalu berusaha mematuhi segala macam peraturan sekolah agar mereka tidak memasukkanku ke dalam ruang BP. Itu ruangan paling menyeramkan sepanjang hidup kami, para siswa. Gelap dan dingin. Guru BP layaknya seorang nenek sihir yang mengomelimu terlebih dahulu, sebelum pada akhirnya ia memberimu apel beracun dan memaksamu untuk memakannya bulat-bulat.
Aku masih ingat juga (hal yang selalu membuatku waspada pada peraturan sekolah), seorang kawan pernah dihantam kepalanya dengan sebuah buku panduan guru yang tebalnya hampir lima senti, hanya karena ia tidak bisa menyelesaikan tugas matematikanya dengan baik. Kawanku itu memang biang onar di kelas. Ia sering bercanda saat pelajaran sedang berlangsung. Ia juga sering menggangguku, merampas bukuku dan merobeknya jika aku tidak memberika jawaban untuk tugas-tugasnya. Kami sempat bersepakat membenci guru gila itu, tapi ketika di suatu siang yang panas berita kematiannya terdengar, kami serempak menangisinya dengan tubuh gemetaran karena sungkawa yang teramat dalam.
Melihat berita tentang guru yang dibui itu, ibuku geleng-geleng. Mendengus kesal. Ah, Ibu. Ini belumlah seberapa, batinku. Mungkin, di zaman Ibu masih sekolah, para murid akan berjalan sambil membungkuk-bungkuk dan menciumi punggung tangan saat melintasi guru mereka. Tapi jarang sekali terjadi di zamanku, apalagi di zaman sekarang saat seorang guru dipenjara atau digunduli ketika mereka menegakkan kedisiplinan. Jika saja ibu tahu apa yang dilakukan bocah-bocah masa kini (yang mengakui diri mereka lebih modern ketimbang ibu-bapak dan nenek-kakeknya) dalam merayakan kelulusannya, pasti ibuku akan pingsan dan mimpi buruk berhari-hari.
Putriku seketika merengek-rengek. Kulihat bola mainannya terjepit pintu dan kucing kami sedang berusaha mencakari bola itu, mungkin supaya terlepas. Aku menggendong putri kecilku, menenangkannya dalam pelukan.
Ibuku melihat. “Jaga anak kau itu baik-baik, Ros. Zaman sekarang semuanya sudah tidak aman buat anak-anak. Apalagi anak perempuan semacam dia.”
Ah, Ibu. Seandainya saja kamu tahu jika segalanya memang sudah tidak lagi aman sejak dulu. Sejak aku masih kanak-kanak. Kalau sudah begitu, apa kita semua masih saja menyalahkan zaman tanpa berbuat apapun?
Suatu sore, saat usiaku sebelas tahun, ada sebuah perayaan di rumahku. Adik ibuku baru saja dilamar kekasihnya. Keluarga kekasihnya itu datang ke rumahku dengan membawa hantaran yang sangat banyak. Aku senang sekali. Setelah acara itu selesai dan rumahku kembali sepi, ibuku berkata: jangan dimakan dulu kue-kuenya, tunggu Ibu dan Bapak pulang dari toko kain. Aku dan adik-adikku mengangguk.
Ibu dan bapakku belum pulang juga hingga malam. Aku dan adik-adikku sudah mengantuk. Kami tidur bersama di kamar. Adik ibuku sudah pulang ke kos-kosannya, sementara nenekku masih menunggu ibu-bapak di ruang tengah. Ia melihat televisi. Aku cepat terpejam ketika itu. Lalu, tiba-tiba kurasakan sebuah keganjilan. Aku membuka mata perlahan, dan masih berat. Samar-samar, aku mendengar suara tawa kecil bocah-bocah. Lalu kaki-kaki yang lari terburu-buru. Aku tidak tahu siapa mereka. Yang aku tahu, celana dalamku sudah melorot dan kakiku terbuka lebar.
Aku tersentak dan menggigil. Hampir menangis. Nenekku ternyata tertidur di atas kursi goyangnya. Televisinya masih menyala, menyiarkan kelompok Srimulat yang sedang berkelakar, dan pintu depan rumah terbuka lebar-lebar. Sejak malam itu, aku jadi pendiam. Ibu tidak tahu itu. Aku takut bercerita. Ibu juga tidak tahu, jika karena kejadian itu, aku sudah berkali-kali menggoreskan pisau dapur ke lenganku. Aku masih sebelas tahun, dan ingin segera mati saja ketika itu. ***
Sidoarjo, 2016
Ajeng Maharani. Seorang ibu rumah tangga dan penikmat sastra yang lahir di Surabaya. Dapat dihubungi via surel: ajengmaharani1980@gmail.com