KAMU sedang berulang tahun. Aku yang mengantarmu pulang. Seragammu penuh tepung, dan raut wajahmu lebih mirip para pemain pantomim. Kamu tiba-tiba seperti nenek-nenek yang seluruh rambutmu menjadi putih, beruban.
Kamu duduk dibelakangku. Aku yang menyetir motor—setiap hari seperti itu, kan?
“Jalannya lambat bener sih? Kamu tega aku jadi tontonan banyak orang?” Katamu, mengomel. Padahal sudah kukorbankan sweaterku untuk kamu pakai. Kamu-pun sudah cuci muka, supaya wajahmu tidak mirip para lakon pantomim. Kepalamu-pun telah dibungkus helm.
“Nona Putri bawel sekali hari ini?” Ledekku padamu. Satu cubitan kecil mendarat di pinggangku. Aku berpura-pura kesakitan.
“Biar bawel, asal kamu cinta aku!” Ucapmu, menanggapi.
“Siapa yang bilang?” Lagi-lagi aku menggodamu dan aku tidak tertarik mempercepat laju motor yang kita—aku dan kamu—kendarai.
“Aku!” Kamu mempertegas, “Yang bilang Alin! Mau apa?”
“Emmm... Kalau itu salah, bagaimana?”
“Nggak ngaku nih?”
“Boleh berpikir dulu?” ujarku sambil melirik wajahmu dari spion motor. Aku tahu kamu sudah pasang wajah jengkel.
“Boleh. Tapi aku mau jadi Spiderman aja. Aku bisa nyelametin dunia dulu. Nungguin kamu mikir kan lama!”
“Cantik cantik kok jadi Spidermen?”
“Hahahaha... Kata siapa cantik?” Kamu malah balik bertanya. Seperti balas dendam atas ucapanku tadi.
“Aku!” Jawabku mantap. “Aku yang bilang! Bagas Saputro, calon mantunya mamah.” Pipimu membulat, dan senyummu mengembang. Seperti roti yang dioven dan ditaburi banyak gula, diisi banyak selai. Terasa manis, sungguh!
Aku menunggu balasan suara darimu, tapi kamu malah diam. “Harga kacang murah amat yak?” Kamu balik menatapku lewat spion. Melempariku senyuman yang kataku manis. “Tersihir ya?” aku kembali menggodamu. Kamu mengangguk, tersipu-sipu.
Kita berdua telah menyusur jalanan kota ketika matahari hampir lengser dari tahtanya, hingga sampai di depan rumahmu.
“Kalau udah sampe, kabarin yah!” Katamu, turun dari motor sambil melepas helm yang terpasang di kepalamu. Aku malah terpaksa tertawa, melihat muka kamu masih belepotan tepung yang hampir mengering. Tapi lekas aku meredamnya.
“Kabarin siapa?” aku sengaja.
“Mulai lagi deh..!” Kamu melipat kedua tangan, sebal sungguhan.
“Ampun deh..” aku mengacak-acak rambutmu yang memutih karena tepung. “Aku pamit ya!
Kamu manggut-manggut. “Hati-hati ya!”
“Hatinya siapa?" Aku belum pernah kehabisan akal untuk menggodamu. Aku suka melihat mimik wajahmu yang jengkel, sebal, uring-uringan yang semuanya karena aku. Lekas aku menyatukan kedua tanganku. Menelungkupkan tepat didepan mukaku, meminta ampun.
“Nggak usah ngebut.” Kata-kata itu hampir kuhapal. Aku suka rautmu yang mengkhawatirkan aku, mirip ibuku yang tiap pagi juga berkata yang sama.
“Nggak suka ngebut kok. Sukanya Alin!” Ujarku, menstarter motor siap-siap kabur kalau-kalau kamu mendaratkan cubitan lagi kepadaku. Kamu senyum. “Salam ke mamah ya!”
“Gimana bunyinya?” tanyamu.
Mesin motor, kumatikan lagi. Aku berdehem, seperti Pak Eko—guru Bahasa Indonesia— yang selalu berdehem lebih dulu sebelum mulai pelajaran. “Ehm, bilangin mamah....”
Kamu mengeluarkan buku catatan kecil, bergaya seperti waiters di sebuah cafe yang biasanya aku dan kamu kunjungi. “Aku nitip salam buat anaknya yang paling bawel, cerewet. Tapi cantik. Selamat ulang tahun!”
“Salamin juga ke mamah, suruh larang anaknya itu buat jadi Spiderman!”
Kamu mengangguk-angguk. “Ongkos kirim salamnya mau dibayar sekarang atau ngutang dulu?”
“Gratis aja deh, dari calon mantu soalnya!” kataku bangga.
“Nyebelin. Awas kalau kangen, nggak menerima keluhan via apapun.” Katamu, serius. Aku hanya bersiul-siul pura-pura tak dengar. Kamu dan aku sama-sama tertawa.
***
Belum begitu malam. Baru pukul 18.49 wib. Sepotong martabak manis rasa coklat kacang barusaja mendarat ke lidahku. Aku mendapat pesan dari kamu.
Bagas, 18.51 wib—Selamat malam nona. Lagi rindu nih! Gimana dong?
Kedua tanganku masih memegang handphone. Aku menarikan jemariku diatasnya, dan beberapa kali senyum-senyum sendiri. Tidak sadar, aku mendengar deheman perempuan mantan pacanya papah. Mamah duduk di sebelahku, persis.
Belum sempat kubalas. Sudah datang lagi pesan berikutnya, berselang dua menit. Dari kamu.
Bagas, 18.53 wib—Nona, sudah disampaikan belum ke mamah?
“Bagas titip salam? Gimana gimana?” Mamah selalu kepo nomor satu sejagad raya.
“Iiiih, mamah apaan sih...” Mamah malah semakin menggodaku dan handphone-ku bergetar lagi. Dari kamu.
Bagas, 18.57 wib—Nona, balaslah pesanku. Rinduku semakin bertumpuk! Sungguh!
“Ciyeeeee...” Mamah malah menggodaku. Mukaku me-merah, seperti udang rebus. Serius. Ah, apalagi ada kamu. Pasti lebih parah.
Bagas,19.00 wib—Nona, Selamat berulang tahun! Terimakasih mengizinkanku, menggenapi hari-harimu. Dari Bagas Saputro, calon mantunya mamah. Aku bawakan kado buat Nona. Bisa buka-kan pintu depan? Keburu menjamur nih kalau kelamaan?
Lagi-lagi aku senyum sendiri. Tapi kepalang ketahuan mamah. “Kayaknya ada tamu di depan...” mamah beranjak dari sebelahku, hendak membukakan pintu. Buru-buru aku berlari mendahuluinya.
“Alin aja...” kataku, sambil mencium pipi kiri mamah. Sambil memberi sinyal agar mamah tak meledekku atas kedatanganmu.
***
Aku berdiri di ambang pintu. Aku sudah membawakan setangkai mawar merah untukmu.
Pintu terbuka. “Buat Nona...” Sambutku atas kedatanganmu. Kamu mengajakku duduk di kursi, teras rumahmu.
“Setangkai aja nih? Ah, romantisnya dikit!” Protesmu.
“Biarin, yang penting cinta-nya banyak...” Aku membela.
Aku menyerahkan box warna hitam kepadamu. “Boleh dibuka sekarang?” katamu meminta persetujuan.
“Kalau aku mikir dulu, ntar kamu malah jadi Hulk lagi!” Ujarku, kamu malah menepuk jidat.
“Jangan jadi Spiderman yah! Jadi Nona-ku aja.” Pesanku. Kamu ingin menyela, buru-buru aku tahan.
“Nggak menerima protes, via apapun. Via langsung ataupun tidak langsung!” aku tertawa.
Dress berlengan, se-betis warna hitam dengan pita warna emas di bagian pinggang akan kelihatan manis apabila kamu kenakan. Kamu mengembangkan senyum, sembari membuka kado dariku. Kufikir kamu memang tak perlu protes. Kamu pasti menyukainya. ***
*Terinspirasi dari Novel karya Pidi Baiq
Nur Holipah. Lahir di Banyuwangi, 11 Desember 1995. Sedang menyelesaikan pendidikan di Universitas Negeri Malang. Menulis antologi cerpen berbahasa Using “Jala Sutra” 2015. Beberapa cerpennya termuat di Malang Post dan Radar Malang.